Rion merasa bersalah telah menyakiti Naina, sang adik hanya demi Fira yang dicintainya. Keegoisan itu membuatnya hilang akal. Dua hari berlalu, Rion menjaga Naina dengan sepenuh hati, mencium tangannya di mana pergelangan itu ditusuk jarum infus.
“Nai, bangun! Maafin abang.”
Rion menunduk sedih, menatap adiknya yang belum kunjung sadar. Dokter mengatakan kemungkinan dia jatuh koma jika tak bisa melalui kondisi kritis itu.
“Nggak. Nai bukan beban buat abang. Nai kesayangan abang. Abang minta maaf, tolong bangun.”
Wisnu menatap putranya itu, lalu pergi.
Sejak hari itu, Rion menjaga Naina sepenuh hati. Seminggu Naina terbaring koma hingga dia membuka mata, Rion masih berdiri di sisi pintu. Pelupuk mata Naina terbuka, mulai mengangkat tangannya untuk memanggil sang kakak.
“Nai mau bicara sama Bang Rion?” tanya Ranti, sang mama sambil mengusap dahinya.
Sejak tadi Rion belum berani mendekat, takut dengan tatapan sinis Wisnu. Sejak kecil memang pria itu sangat mengasihi putrinya. Mengurung dari kejamnya dunia luar sebab Naina terlalu lemah untuk keluar sendiri. Rion adalah sang kakak yang harusnya menjaga, membentengi adiknya di setiap detiknya.
“Bang.”
Memberanikan diri, Rion mendekati kasur Naina. Adiknya itu tersenyum, menyambut genggam hangat jemari kokoh pria tampan itu. Dia merindukan sentuhan Rion di kepalanya.
“Maaf, Bang. Maaf udah jadi beban untuk Abang.”
Rion menggeleng, meraih tangan Naina, lalu berkata, “Nggak. Maafin abang, Nai. Abang janji akan jagain Nai seumur hidup abang. Abang akan bahagiakan Nai. Maaf, ya!”
Suami istri itu terhenyak, saling pandang saat Rion mengutarakan janji hingga membingkai senyum di bibir abang-adik itu.
*
“Kak Rion becanda, kan?!”
Fira memekik keras saat Rion mendatangi rumahnya, meminta maaf telah mengecewakan sang kekasih.
“Maaf, Fir. Aku nggak bisa. Kamu liat apa yang terjadi sama Nai, kan? Aku nggak bisa kalau harus ninggalin dia.”
“Ninggalin apa, sih?!”
Fira masih tak mengerti sampai sekarang, bagaimana kedua orangtua dari pacarnya ini begitu mengikatnya untuk terus menjaga sang adik yang penyakitan sejak kecil.
“Sampai kapan Kak Rion begini? Kakak punya hak untuk hidup Kakak! Nai itu sakit! Bukan Kak Rion yang harus bertanggung jawab selama hidupnya!” pekik Fira.
Setengah menunduk, Rion berkata, “Maaf. Kita nggak bisa menikah, Fir.”
Sempat Rion menangkap tatapan bengis temannya, Ferry dari lantai atas kamarnya. Betapa berangnya dia sambil meremukkan kaleng bir di tangannya. Akan tetapi, Rion tak punya pilihan untuk menolak ajakan menikah adik Ferry itu.
“Nggak! Aku nggak mau! Pokoknya Kak Rion harus nikahi aku bulan depan,” pekik Fira, bersikukuh.
Tak peduli bagaimana Fira meronta, Rion pergi meninggalkan rumahnya.
Keputusan yang diambil terasa berat, Rion pun tak tega melihat gigihnya Fira memintanya kembali. Hari berikutnya, seharian dia berdiri di depan kantor, menatap ke lantai ruang kerja Rion. Pria itu menunduk, mengeratkan jemari pada ponsel-nya.
[Fir, maaf. Aku nggak bisa. Kamu bisa dapat yang lebih dari aku. Tolong.]
Sent! Meski jauh, Rion menatap bulir air mata yang jatuh di pipi Fira. Wanitanya itu menangis terisak, tetap menunggu sampai Rion menemuinya.
Meski cinta, Rion tak bisa memilih untuk meninggalkan Naina demi Fira. Mungkin selamanya, dia harus mengabdi untuk diri Naina.
‘Maaf, Sayang. Bahkan meskipun aku pergi padamu, aku nggak akan bisa hidup kalau terjadi apa-apa pada Naina. Bahkan orangtuaku juga seakan mengambil kebebasanku untuk Nai. Aku sayang adikku. Maaf karena memilihku menjadi orang yang kamu cintai.’
Hujan mulai turun dengan deras. Meski gelap, Rion melihat Fira berdiri menungguinya. Benarkah dia dicintai sedalam itu?
*
“Bang!”
Rion menoleh ke sisi pintu, melihat Naina berdiri di sana. Adiknya itu mendekati, lalu duduk di sampingnya. Tadinya, Rion sedang mengumpulkan semua barang-barang yang pernah diberikan Fira padanya. Mulai dari jaket, topi, juga hadiah-hadiah kecil lainnya.
“Maaf,” kata Naina, mengusap punggung tangan Rion.
“Nggak apa-apa. Kasian juga Fira kalau abang minta dia nunggu lagi. Kayaknya dia beneran mau nikah cepat. Abang nggak bisa didesak terus.”
“Semua ini karena Nai, kan?”
Rion menggeleng, menyentuh sisi kepala Naina untuk mencium dahinya. “Nggak apa-apa. Jangan merasa bersalah! Abang janji akan bahagia setelah Nai ketemu orang yang bisa jagain Nai melebihi abang.”
“Nggak ada yang bisa mencintai Nai melebihi Abang.”
Wanita itu berlabuh di pelukannya. Jantung Naina berdetak kencang, menyadari kasih sayang Rion sangat tulus sebagai kakak.
Hari berikutnya, Rion bersyukur karena Fira tak keras kepala lagi. Dia memberanikan diri untuk mendatangi rumah itu, membawa kotak berisi barang-barang pemberian Fira.
“Non Fira dari tadi di kamarnya, ndak mau keluar. Bibi takut ngetuk,” kata si Bibi setibanya Rion di rumah Fira.
“Ferry ada, Bi?”
“Ndak ada, Nak. Pergi udah dua hari ini, ke Jepang. Papanya sakit keras di sana. Coba bantu bibi bujuk Non Fira makan, Nak.”
Rion mulai khawatir jika Fira jatuh sakit karena kejadian lalu. Bergegas dia naik ke lantai dua kamar mantan kekasihnya itu. Ya, dia telah memutuskan hubungan demi menjaga sang adik.
Tepat ketika knop pintu dihentaknya, lutut Rion melemas melihat Fira tergeletak di lantai dengan nadi yang teriris belati dipegangnya. Darah segar mengalir membanjiri lantai putih. Wanita itu tak sadarkan diri lagi.
“Fira!”
Tangan Rion gemetar, memeluk erat tubuh mungil sang kekasih. Wanita yang ditinggalkan demi sang adik, kini meregang nyawa setelah upaya bunuh diri yang dilakukan.
“Maaf,” bisiknya.
*
Bagai buah simalakama. Rion tertekan saat dua wanita itu dalam bahaya saat dia harus memilih salah satunya. Sejak tadi dia menghubungi Ferry, kakak kandung Fira untuk mengabari keadaan sang adik. Nihil. Ponsel-nya tak aktif. Dia menunggu dokter memberi kabar terkait keselamatan Fira.
“Gimana, Dok?” tanya Rion setelah dokter itu menemuinya.
“Alhamdulillah, kondisinya mulai stabil. Untung saja cepat dibawa ke sini.”
Setelah itu, Fira dipindahkan ke ICU. Infus dan kantongan darah masuk melalui pergelangan tangannya. Wanita ini nekat mengakhiri hidupnya hanya karena Rion menolak untuk menikahinya.
“Maaf, Fir. Tolong jangan seperti ini! Kamu bisa temukan pria yang lebih baik dariku nantinya.”
Saat Rion menghabiskan waktu demi menunggu Fira, sejak tadi Wisnu menghubunginya. Dua hari Rion tak pulang untuk menjaga Fira yang terbaring lemah dan belum sadarkan diri. Dia hanya merasa bertanggung jawab untuk apa yang terjadi pada Fira.
“Mau sampai kapan kamu di sana?! Pulang, kamu, Rion! Papa sama mama mau berangkat ke Tiongkok, ada pertemuan yang harus papa tangani!” pekik marah papanya itu membuatnya terhenyak.
Rion belum menjawab sepatah kata pun.
“Bukan mengurusi perusahaan, malah sibuk pacaran aja! Papa sudah minta kamu putuskan wanita itu, kan?! Kamu bisa menikah nanti saat kita bisa menemukan pria yang bisa menjaga Naina! Kenapa itu saja nggak bisa kamu pahami?”
Rion menghela napas, memijat pelan sisi dahinya. “Iya, Pa. Aku pulang.”
Menutup ponsel, lalu disentuhnya pelipis wanita itu. Hatinya masih berkecamuk hebat.
“Kapan terakhir kali papa tanya apa yang kuinginkan?”
Digenggamnya tangan Fira, menciumnya sesaat, “Sayang, bangun! Maafin aku, ya!”
Menit berlalu, tangan Fira mulai bergerak. Kelopak matanya terbuka, menerbitkan senyum di bibir Rion.
“Syukurlah, terima kasih, Tuhan,” lirih Rion, mencium lembut jemari gadis itu.
“Kak Rion.”
“Iya, Fir?”
Lama bibirnya terbuka, menikmati usapan jemari hangat Rion di sisi kepalanya, “Kita nikah, ya?”
Rion belum menjawab. Haruskah dia memberi harapan palsu agar wanita ini tak nekat lagi? Menyadari raut ragu Rion, Fira melepaskan tangannya. Dia berpaling tanpa suara. Pelan-pelan air matanya menetes.
“Pergi, Kak!”
Rion bungkam, beranjak dari duduknya untuk pergi meninggalkan ruangan itu.
*
“Bang Rion kangen Fira?”
Rion terkejut saat Naina mengusik lamunannya. Wanita itu bangkit setelah meletakkan kepalanya di pangkuan Rion. Siang hari terasa sejuk saat beringin itu mengeluarkan oksigen sebagai hasil fotosintesisnya. Udara siang yang sangat baik untuk kesehatan paru-paru Naina.
“Kata bi Inem, Fira udah baik-baik aja, kok,” ujar Rion tersenyum, menyentuh kepala Naina.
“Ini udah kedua kalinya Bang Rion kehilangan orang yang Abang cintai cuma buat jagain Nai.”
Rion menggeleng, menenggelamkan Naina dalam pelukannya. “Nggak gitu. Papa cuma takut abang nggak bisa jaga Nai lagi kalau abang punya pacar.”
“Harusnya papa cariin Nai suami aja. Jadi Bang Rion nggak perlu jaga Nai begini.”
Rion melepaskan pelukannya, lalu berkata, “Nggak. Abang juga nggak bisa lepasin Nai ke sembarang cowok. Abang takut dia nggak bisa jaga Nai.”
“Bang!” Naila memegang pipi Rion. “Nai ini bukan pasien sekarat. Kalau asma Nai nggak kambuh, Nai masih bisa aktifitas kayak biasa. Kalian aja yang khawatir berlebihan. Nai kadang bosan hidup gini.”
Rion tersenyum, Naina bangkit dari duduknya. Dia melompat-lompat kecil sembari menarik dan menghela napas teratur. “Liat! Nai baik-baik aja. Ini bengeknya nggak kambuh, kok. Serius!”
Rion menyamankan punggungnya, melihat senyum indah Naina saat dia berjalan jinjit-jinjit di atas rerumputan hijau.
“Sebenarnya, Nai juga pengen hidup normal, Bang. Pengen punya temen, punya cowok, pacaran. Pengen-”
Wajah Naina memerah. Rion beranjak dari duduknya, penasaran dengan rona manis adiknya itu.
Naina mengaduh saat Rion mengantukkan pelan dahi mereka. “Pengen apa?”
Naina mengerucutkan bibirnya, menunduk malu. “Pengen ciuman.”
Tawa Rion tergelak, lalu mengusap kepala Naina sebelum dia duduk di sisi pohon beringin. Bersandar tenang sambil memainkan ponsel-nya. Tak dia sadari sejak tadi Naina memperhatikan.
Rion, pria ini sangat tampan. Kulit putih bersih dengan raut wajah kebaratan. Bibirnya mungil dan hidung mancungnya. Persis actor tampan Hollywood. Wanita mana yang tak menggilainya?
Rion terkejut saat Naina mendekat, merangkak tepat ke arah wajahnya. “Bang Rion pernah ciuman?”
Rion meneguk ludah saat diinterogasi adiknya sedekat ini. Garis bibirnya tertarik ke kiri, mendorong dahi Naina dengan telunjuknya.
“Jauhan dikit, Nai!” katanya.
“Jawab aja, sih! Aku, kan, pengen tau gimana rasanya ciuman. Huh!”
Naina menggerutu, lalu berbaring di rerumputan tepat di samping Rion. Dilihatnya Rion saksama, sorot dari bawah saja, pria itu tak kehilangan ketampanannya.
"Apaan, sih!" keluh Rion, meletakkan ponsel-nya karena merasa tak nyaman ditatap adiknya ini.
"Nai pengen banget punya suami yang seganteng Abang, yang tulus sayang dan cinta sama Nai juga."
Rion terhenyuh. Apakah itu mungkin? Naina sangat cantik meski bias wajahnya cukup pucat. Pun sebenarnya dia tak sebegitu menderita jika bisa berhati-hati dengan keadaannya. Pasalnya, sang ayah yang begitu protektif hingga mengurung putrinya itu. Tak bisa hidup sebebas umumnya.
"Nai pengen ngerasain gimana ciuman itu. Tiap hari nonton drakor aja, jadi pengen," kata Naina, meraba bibir lembutnya.
Rion menatap miris. Dia lebih mendekat untuk melihat wajah sang adik. Naina terkejut ketika jemari Rion mengusap bibirnya.
"Jangan kasih bibir ini ke sembarang cowok! Jangan mudah ketipu sama gombalan cowok b******k. Oke?"
Naina belum bicara. Jelas tadi wajahnya tampak merah saat Rion meraba bibirnya. Candu.
"Bang! Nai pengen ciuman!" gemasnya sambil menutup wajahnya, meringkuk mengalihkan pandangan dari Rion.
Adiknya ini sangat kasmaran. Rion tersenyum, mengusap lembut kepalanya.
"Nanti abang carikan calon suami yang pantas untuk Nai, yang bisa jagain Nai melebihi abang."
Suasana siang mendadak melankolis saat angin sepoi menerpa permukaan kulit mereka.
Pesan masuk singgah di ponsel Rion. Dibacanya baris cemas yang dikirimkan Bi Inem, si bibi pengasuh di rumah Fira.
[Nak Rion, Non Fira kabur dari rumah sakit.]
Rion terlonjak kaget, lalu meminta izin pada Naina untuk meninggalkannya. Terburu dia mengendarai mobil, menginjak gas sedalam mungkin agar bisa sampai di rumah sakit. Dia takut Fira nekat lagi karena Rion menolak permintaannya lagi.
"Please, Fir, tolong baik-baik aja."
Rion mengernyitkan dahi saat mobilnya sempat menabrak sisi jalan. Untungnya, dia segera melaju meski dahinya tadi sempat terbentur. Dia hanya memikirkan Fira.
"Gimana, Bi? Udah ketemu?" tanya Rion saat setibanya di rumah sakit, Bi Inem menyambutnya.
"Belum, Nak. Ini gimana?"
Rion berkeliling rumah sakit untuk mencari Fira. Sempat dia terhuyung ke sisi pintu lift. Untung saja seorang wanita cantik itu menahan bahunya agar tak jatuh.
"Makasih, Mbak!"
Rion kembali berlari meski tubuhnya mulai melemas. Kurang tidur, stres, Rion bahkan hampir pitam.
Sepintas dia melihat seorang wanita berseragam pasien itu berdiri di dekat tangga dengan seorang pria yang tak dikenalnya. Meski samar, Rion yakin bahwa wanita itu adalah kekasihnya.
"Fir?"
Saat Rion mendekat, langkahnya terhenti. Wanita itu sedikit berjinjit untuk memeluk pria itu. Siapa dia?