Rion duduk bersandar di balik jeruji. Dia menjadi tertuduh untuk tindak bunuh diri Fira akibat laporan Ferry. Semalaman sudah dia mendekam di balik sel dingin itu. Tak ada rasa takut karena yakin, papanya pasti mengeluarkannya. Hanya ada rasa sesal yang membuncah dari hati ketika mengingat kembali Fira yang tergantung untuk mengakhiri hidupnya.
'Maafin aku, Fir. Maaf, harusnya aku bantu kamu selesaikan masalah itu, bukan ninggalin kamu dalam keadaan terpuruk,' lirihnya.
Menangis sebab mencintai wanita itu. Hanya tinggal bayangan dan kenangannya saja. Senyum cantik Fira melekat di ingatan ketika memejamkan mata, lalu pelan-pelan air matanya luruh.
"Orion Narendra Kharisma!"
Petugas lapas itu memanggil Rion yang masih berstatus tersangka sampai laporannya diproses. Rion bangkit, dibimbing keluar untuk menemui seseorang yang menatapnya penuh amarah.
Ferry, kakak kandung dari kekasihnya itu berusaha menahan amarah karena tak ingin membuat keributan di kantor polisi.
"Gue tau pasti sebentar lagi lo bebas karena kekuasaan bokap lo. Tapi sampai kapan pun, gue nggak akan lupakan semua ini," kecam Ferry.
Rion belum menyahut, pelan-pelan menyusun kata untuk menjawab pertanyaan abang dari mantan kekasihnya tersebut.
"Apa kalau kukatakan Fira mengkhianatiku dan tidur dengan pria lain, kamu akan percaya?"
Kali ini, Ferry tak bisa menahan rasa sakit ketika perkataan Rion itu seperti menghina harga diri sang adik. Saat ditegur petugas lapas, Ferry berusaha menenangkan diri. Wajah dingin Rion membuatnya kian terbakar.
"Lo sendiri yang mutusin dia dan nggak mau ngelamar dia setelah lo tau dia hamil, kan? Manusia sampah kayak lo, apa lo pikir bisa gue maafkan? Setelah lo tidurin adek gue, lo buang dia gitu aja?"
Rion bungkam. Hatinya mendadak nyeri membayangkan tragisnya garis hidup Fira. Demi wanita itu, begitu tenang dirinya menghadapi Ferry. Terbiasa dengan semua masalah dan tanggung jawab, pribadinya terbentuk menjadi lebih tenang meski hati terkadang dingin.
"Aku nggak mencintai adikmu, makanya aku nggak mau menikahinya. Aku sudah punya pilihan sendiri."
Ferry menahan amarah dengan erat jemarinya.
"Adikmu gadis yang baik. Dia hanya terlalu mudah percaya dan aku juga nggak sadar semua terjadi secepat itu. Aku minta maaf. Setelah ini, salahkan aku sesukamu, tapi jangan ragukan karakternya. Kamu cukup bela dia saat orang-orang membicarakan hal buruknya ini nanti!"
Ferry mematung saat Rion pergi meninggalkannya. Rion terhenti sebentar untuk memastikan Ferry bisa lebih mengerti. Kematian Fira menjadi racun yang menjerat Ferry dalam kebencian pada sahabatnya ini.
"Lo akan bayar semua ini, Rion!"
Rion menarik napas pelan, lalu menghela kasar sambil berlalu mengikuti arahan petugas lapas untuk kembali ke selnya.
Kemarahan Ferry menjadi awal dari segala kebenciannya.
Selang sehari berikutnya, Naina datang menjenguk bersama Wisnu dan seorang pengacara. Uang adalah segalanya. Rion dibebaskan dengan jaminan oleh kekuasaan sang ayah.
"Bang Rion!"
Segera Naina larut dalam pelukannya. Betapa dia sangat takut melihat Rion dibawa pergi dari hadapannya dengan tangan terikat borgol.
"Abang sehat, kan?" cemas Naina, memegang sisi bahu Rion untuk menanyakan bagaimana kesehatan pria itu.
"Sehat, kok."
Mobil itu melaju meninggalkan gedung lapas di mana Rion tak ingin kembali ke sana jika memungkinkan.
Sang adik masih menggenggam erat jemarinya, seakan tak ingin berpisah dari abangnya ini.
"Setelah ini, sebaiknya kamu harus lebih berhati-hati!" tukas Wisnu, membuyarkan hening mereka. "Ini bukan waktunya kamu bermain cinta-cintaan. Kamu tau kalau prioritas kita Naina, kan?"
Rion mengangguk. Ya, dia juga enggan jatuh cinta dan berhubungan dengan gadis mana pun saat ini. Seakan trauma telah dikhianati sejauh itu.
"Kita akan mulai Carikan calon suami untuk Nai."
Keduanya terkejut mendengar usul tegas Wisnu. Lantas, pelan-pelan Naina menunduk, menyadari bahwa dia pun sangat ingin memiliki kekasih dan menikah. Rion mengusap kepalanya, tersenyum tipis. "Aku nggak punya temen baik yang bisa kukenalkan. Tapi kayaknya ada relasi bisnis di kantor yang cukup baik orangnya. Nanti aku coba tanya dia."
"Papa juga sudah hubungi beberapa rekan bisnis papa," ujar Wisnu, lantas dia tersenyum haru pada putrinya. "Bersiap-siap, Sayang, papa akan carikan pria baik untuk menikahi kamu dan menjaga kamu nantinya."
Naina hanya menunduk malu. Dia merasa sangat bahagia. Setidaknya, akan ada hal yang berubah dari hidupnya, kelak. Memiliki sandaran baru, dan juga jatuh cinta.
*
"Masih lama, Nai?"
Rion menanti adiknya itu yang masih asik di depan cermin. Butuh lebih dari setengah jam dia berdandan. Pasalnya hari ini, Wisnu telah merencanakan pertemuan dengan salah seorang relasi bisnisnya, dan akan membawa putranya untuk dijodohkan pada Naina. Bagi para pebisnis kaya, pernikahan anaknya bisa menjadi ladang bisnis untuknya.
"Nai udah cantik, belum?"
Rion mendekati Naina, menatap adiknya yang kurang pintar berdandan. Tapi tanpa berdandan pun, Naina memang sudah sangat cantik dengan tampilan sederhananya.
"Sebentar!"
Rion mengambil lipstik di atas meja rias, lalu sedikit membungkuk sambil meraih dagu Naina. Wanita itu tersenyum, menikmati perhatian dan wajah Rion dari dekat saat memoles lipstik di bibirnya.
"Jangan pucat banget gini! Kamu harus keliatan cantik!" ujar Rion.
Selesai. Rion membawa Naina yang sudah tampak cantik dengan dress ungu selutut itu berhias flatshoes di ujung kakinya. Rion menggenggam jemarinya untuk mengantarkannya ke ruang tengah di mana sang ayah sudah menunggunya.
"Aku boleh ikut, Pa?!" tanya Rion, bersemangat untuk melihat calon suami Naina.
Wisnu mengangguk, merapikan pakaiannya sebelum bangkit. "Ya, bersiaplah! Kamu pun harus melihat apa pria itu baik nantinya untuk adikmu."
Setengah jam berlalu, Keluarga Kharisma bersiap melakukan pertemuan dengan sosok pria yang disodorkan salah seorang rekan bisnis papanya untuk menjadi menantu pertama di keluarga kharisma yang tajir melintir itu.
*
Naina mengurai senyum keki, sementara Rion sejak tadi memperhatikan pria yang akan dijodohkan dengan Naina ini. Bukan karena dia tidak tampan dan bertubuh tambun, tapi karena minat makannya tak berhenti sejak tadi. Mereka melakukan jamuan di salah satu restoran mewah berkelas di mana cukuplah merogoh kocek dalam untuk per porsi hidangan. Tapi tentu uang bukanlah masalah bagi para pebisnis kaya raya ini.
"Kayaknya kita bisa mulai memikirkan tanggal pernikahan mereka, Pak Wisnu. Ini anak saya sudah tak sabaran ingin menikah," tandas pria setengah plontos rekan bisnis papanya Naina ini.
Wisnu pun tak menyangka, putra dari teman bisnisnya ini tak cukup rupawan untuk dijodohkan dengannya.
"I-iya, nanti kita bicarakan lagi kelanjutannya. Dimakan dulu!"
Ranti pun memberi kode, sambil menyikut lengan suaminya sebagai ungkapan tak setujunya untuk memiliki menantu yang hobi makan ini.
Sejak tadi Rion hanya menahan senyum, memperhatikan bagaimana Naina merinding saat dia menghabiskan dua porsi nasi hanya dalam waktu lima belas menit. Melayang sudah angannya mendapatkan calon suami idaman.
"Nai ke toilet dulu, permisi."
Rion menggeser duduknya, ikut beranjak untuk menyusul langkah Naina meninggalkan suasana dinner itu. Rion tersenyum, melihat adiknya itu memencak kesal dengan bibir mengerucut. Sesekali dia berbalik karena tahu, Rion sedang mengikutinya.
"Serius itu, papa mau jodohin aku sama si Seno itu?" geram Naina, lalu dia duduk di bangku lobi menuju toilet.
Rion tergeletak tawa melihat ekspresi manyun sang adik. "Selama ini nge-drakor mulu. Pasti ekspektasinya bakal dijodohin sama cowok ganteng kayak Lee Min Ho, kan?"
Naina menepuk lengan Rion. Tentu kakaknya ini tahu adiknya penggila drama Korea. Pun ada banyak poster oppa ganteng yang tergantung di kamarnya.
"Cha Eun Woo, Bang! Udah berapa kali Nai bilang? Perasaan taunya cuma Lee Min Ho mulu. Padahal udah gede-gede banget itu poster ganteng Eun Woo aku gantung di dinding kamar."
Raut cemberut Naina sangat menggemaskan. Rion menekuk lututnya agar sejajaran tinggi dengan Naina yang duduk di sana. Diusapnya pipi chubby itu yang kini memerah sebab blush on.
"Adikku ini cantik, masa dapetnya yang begitu, sih? Nanti Abang ganti cariin juga, ya!" ujarnya menenangkan, sambil mengusap kepala Naina.
Hanya pelukan yang diberikan untuk mengembalikan senyum gadis itu.
Ini juga bukan pertemuan yang pertama untuk mengenalkan beberapa calon yang disodorkan relasi bisnis Wisnu saat mendengar pimpinan Kharisma Advertising itu sedang mencari calon menantu. Apalagi memang saat mereka mendapatkan foto Naina yang sangat cantik. Gadis itu memang memiliki senyum yang manis, tentu tak ada yang menolak untuk memperistrinya. Naina hanya memiliki satu kekurangan, yaitu penyakit yang sejak lama menghuni tubuhnya terkait asma dan gangguan sistem pernapasan yang lain.
Minggu berikutnya, Keluarga Kharisma kembali mendatangi jamuan makan malam. Rion memeluk erat lengan Naina untuk menguatkan. Ini sudah keempat kalinya dalam satu bulan, sang ayah mempertemukannya dengan calon suami pilihan beliau.
"Semangat dong, Nai!" hibur Rion, setelah mereka turun dari range rover hitam itu menuju restoran pertemuan mereka.
"Kali ini apa lagi? Aku nggak mau, ya, kalau dapat yang setengah licin kepalanya kayak kemarin. Atau yang kumisnya tebal banget kayak Pak Raden itu. Nggak mau, pokoknya."
Tak tahan membayangkan wajah Naina yang pias saat dihadapkan dengan pertemuan itu. Rupa para pria itu memang sangat jauh dibanding yang dia harapkan.
"Pa! Nggak ada yang gantengan dikit, ya, kayak Bang Rion, gitu," keluh Naina. "Yang agak bule-bule gini."
Ranti tersenyum mendengar keluh putrinya itu. Sebentar mereka terhenti di depan pintu, lalu papanya berkata, "Kalau sama yang ini, kayaknya kamu bakalan suka."
Setibanya di sana, seorang pria tampan berkulit putih itu menyambut kedatangan keluarga Kharisma. Ayahnya mengulurkan tangan sopan lebih dahulu, lalu mempersilahkan mereka duduk.
''Ganteng, Bang!" bisik Naina, tepat di samping Rion.
Apakah kali ini perjodohan itu berhasil?
Gugup, Naina menyambut uluran tangan calon yang dikenalkan ayahnya itu.
"Aku Alvin, salam kenal."
"Ya. Aku Naina."
Sedikit Naina tertunduk malu. Perbincangan selama jamuan itu terus berlangsung. Sejak tadi, Rion memperhatikan bias manis Naina yang sangat kasmaran ketika pria bernama Alvin itu dengan cepat membius Naina dengan ketampanan dan tutur bahasa lembutnya.
'Apa ini waktunya, Abang lepasin kamu, Nai?' batin Rion.