Menerima seseorang di dalam hati kita itu tidak mudah.
Apalagi berharap jika dia menerima kekurangan kita sebelum dia mencintai kita.
Karena itu, jika berharap seseorang ingin menerima kekurangan kita, harusnya kita lebih dulu berdamai dengan ketidaksempurnaan kita.
Mencintai diri sendiri lebih dahulu adalah langkah awal untuk mulai mencari seseorang yang akan mencintai kita nantinya.
Tanpa satu alasan pun, hanya cinta.
-Naina Nirmala Kharisma
Rion tersenyum saat membaca buku harian yang terbuka di atas meja. Malam sudah larut setelah insiden lamaran yang menghebohkan siang tadi. Dia duduk sebentar, mengambil pena untuk membalas isi curahan hati si kecilnya itu, tepat di bawah baris terakhir. Sesekali menoleh pada Naina yang sudah tertidur pulas di sana.
Sepanjang kamu mencari, kupastikan aku selalu ada di sampingnya.
-Abangmu, Kesayanganmu
Rion menutup buku cantik dengan cover Cha Eun Woo, idola favorit adiknya itu. Dia menghampiri kasur, duduk di tepi yang bersisa. Naina tak terusik. Rambut legamnya terasa lembut saat Rion mengusap dan mengisi sela jemarinya.
“Tetap tersenyum seperti selama ini, Nai. Abang janji akan jaga Nai, selamanya.”
Rion meninggalkan jejak kecupan di dahi Naina, lalu melangkah keluar untuk masuk ke kamarnya. Membersihkan diri di toilet sebelum beranjak naik. Menyandarkan lelah seharian sambil menatap langit-langit kamar.
Pesan masuk muncul di layar ponsel-nya. Dari Ferry.
[Lo bilang, lo nggak mencintai adik gue, kan? Punya perempuan lain yang lo cintai? Silakan menikahi dia! Selanjutnya, gue akan bikin lo ngerasain gimana sakitnya kehilangan itu.]
Rion menghela napas gusar. Pesan ancaman dari Ferry itu menjadi awal dirinya berhati-hati untuk dekat dengan wanita kedepan nantinya.
‘Kalau kamu tau apa yang terjadi sama Fira, apa kamu bisa memaafkan dirimu sendiri? Semua kesibukan, arogansi, dan egoismu membuatnya takut dan merasa terasing. Karena itu, biarlah dia tetap menjadi seorang adik yang polos dan baik dalam ingatanmu. Aku nggak akan mengusik masa lalu lagi.’
Rion meletakkan ponsel, kembali menyamankan tidur.
Hari berlalu, cinta dan kasih sayang Rion takkan berubah pada Naina. Sampai suatu saat jika dia benar jatuh cinta, mungkin dia akan bimbang jika harus terus terikat pada adiknya ini.
*
Present Day, Agustus 2021.
“Ini apa, Nai?”
Naina menunduk dalam, sesekali menyikut lengan Rion ketika disidak ibunya. Pasalnya, mereka kembali setelah senja padahal, dia mendengar dari dokter bahwa pemeriksaan Naina telah lama selesai sejak siang. Setibanya di rumah pun, Ranti mendekati Naina, memperhatikan setiap inchi badannya. Dia menemukan bulu kucing yang menempel di dress putrinya itu.
“Kamu ke taman lagi? Main kucing?! Udah berapa kali mama bilang, itu akan berbahaya buat pernapasan kamu!”
Naina cemberut, Rion juga belum menyahut. Dibanding papanya yang tegas, mama mereka ini jauh lebih cerewet. Naina diminta untuk pergi ke kamar dan beristirahat, tersisa Rion yang belum diizinkan pergi untuk mendapatkan teguran keras sang mama.
“Tadi dia udah check up?”
Rion mengangguk tipis. “Udah, Ma.”
“Bukannya kamu ajak pulang, malah ngajak dia main ke taman? Kamu niat nggak, sih, jagain adik kamu?”
Belum ada sahutan. Ranti memegang sisi rahangnya, melihat wajah Rion yang muncul lebam. Saat pergi ke market, Ferry memukulnya dan hampir saja menabraknya. Lengannya juga sedikit lecet karena ulah brutal kakak dari mantan kekasihnya itu.
“Kamu abis berantem? Bukannya kamu tadi seharian di kantor? Ini baju aja belum dibuka.”
Ranti nampak kecewa, sejak tadi menginterogasi Rion untuk apa yang terjadi seharian tadi setelah mengantarkan Naina check up. Rion tak memiliki bantahan apa pun.
Hening, tanpa kata.
"Ma, apaan, sih? Dimarahin gitu banget. Itu dua anak kita bukan bocah lagi, loh!"
Wisnu menyahut. Tadinya berada di dapur, duduk pada kursi counter untuk mencicipi kopi buatan sang istri. Dia beranjak ke ruang tengah, melihat putranya itu masih tertunduk dalam. Dia pun mengambil duduk tepat di sofa seberang.
"Ya apa bedanya sama bocah, Pa?” gerutu Ranti."Wong dua-duanya masih numpang sama orangtua. Belum merit. Nggak jauh beda sama bocah. Apalagi kalau kelakuan nggak bisa diatur begini."
Ranti melengos pergi setelah memarahi putranya itu. Tersisa Rion menghela napas panjang, lega karena ayahnya tiba dan menghancurkan suasana menegangkan tadi.
"Bagaimana pekerjaan hari ini? Apa ada masalah?" tanya Wisnu, mengalihkan kegelisahan hati putranya tersebut.
"Nggak ada, Pa. Cuma memang aku lagi pegang tender dari Bu Linda soal produk kosmetik herbal itu. Minta dibuatin set iklan, katanya mau ambil durasi di televisi juga."
Keduanya berbincang sebentar, mengevaluasi pekerjaan hari ini. Setiap harinya, Wisnu memang melakukan hal serupa. Ini dilakukan agar Rion bisa lebih mengenal tiap seluk beluk tanggung jawabnya di perusahaan Kharisma Advertising jika tampuk kepemimpinan diserahkan penuh padanya.
"Oh iya, besok, coba siapkan satu posisi di bagian lapangan untuk anak baru, ya!" kata Wisnu, sebelum beranjak.
"Posisi apa, Pa?"
"Site Supervisor. Namanya Yudha, anak temen papa yang baru lulus kuliah dari Jogja."
"Baik, Pa."
"Sekalian dekatin dia juga."
Rion memipihkan pupilnya, mengernyitkan dahi. "Siapa? Aku?"
"Ya iya kamu. Kamu ini, udah segede ini, kepala tiga, tapi nggak punya temen ngobrol."
Wisnu ngeloyor pergi. Jangankan berteman, sedetik saja menganggur, mamanya akan menghubungi untuk diminta menjaga Naina. Kapan dia akan berteman?
Keesokan harinya, di Kharisma Advertising, Rion menyambut anak dari teman papanya itu. Yudha Arteza namanya, berperawakan tinggi tegap dan mempunyai nilai plus pada wajahnya. Rion mengulurkan tangan, menyambut Yudha ketika mengantarkan ke mejanya.
"Selamat bekerja, Yudha! Semoga betah."
"Terima kasih, Pak Orion."
Yudha meninggalkan ruang kerja Rion. Lantas, si sulung Keluarga Kharisma itu kembali tenggelam dalam tugas. Mulai serius sampai akhirnya jam makan siang nanti, biasanya Naina akan datang dan menggangunya.
*
Siang harinya, Naina selalu diam-diam keluar rumah untuk menemui abangnya itu di kantor untuk mengajak makan siang. Dia lebih memilih taksi agar tak dimata-matai jika nantinya, dia sedikit bandel untuk singgah di tempat lain.
Setibanya di pelataran gedung berlantai lima itu, Naina berjalan melenggang untuk masuk. Dia disambut ramah oleh resepsionis muda di meja depan.
“Siang, Mbak Naina.”
"Pak Rion masih di ruang kerjanya, kan?" tanya Naina, sopan.
"Masih, Mbak."
"Baik, terima kasih."
Naina menuju lantai sudut untuk masuk lift. Saat hendak tertutup, seseorang menekan tombol hingga pintu itu kembali terbuka. Naina bertabrakan mata dengan pria asing yang tak dikenalnya itu. Tentu Naina sangat hapal wajah para penghuni kantor, mengingat dia selalu mondar-mandir hanya untuk menempel pada Rion.
Pria itu tak lain adalah Yudha.
Ting! Pintu lift kembali tertutup. Lantai 5 menjadi tujuan mereka. Naina bersandar ke sudut, gugup saat berada di samping pria tampan ini. Parasnya yang campuran Asia timur itu membuatnya berdebar-debar. Kulit putih bersih dengan potongan undercut yang maskulin. Matanya yang sedikit sipit di bawah alis tebalnya.
'Gila! Ganteng banget! Oppa Korea. Anak baru, ya? Belum pernah liat. Minta info dari Bang Rion, deh, buat bantuin pedekate,' gumamnya.
"Kamu kerja di sini?"
Naina terkejut saat pria itu mengajaknya bicara. Senyumnya terlalu manis untuk ditolak ketika dia mengulurkan tangan pada Naina.
"Aku Yudha Arteza, baru mulai kerja hari ini. Kamu di divisi mana, ya?"
Pria tampan lagi? Naina memang selalu jatuh cinta dan terobsesi pada pria baru. Berharap bisa menemukan tambatan hati, syukur-syukur dapat yang tampan. Itulah yang selalu dia gaungkan dalam hati.
"Aku Naina," jawabnya, menyambut uluran tangan Yudha.
Ting! Pintu terbuka. Keduanya keluar dari lift dan berjalan santai sambil mengobrol. Sempat keduanya terhenti di dekat sisi dinding kaca untuk menikmati pemandangan di luar sana.
"Ruangan kamu di tingkat ini juga? Ini ruangan pak manajer," kata Yudha, santun.
"Rion itu abangku."
“Oh, kamu anaknya Pak Wisnu? Aku nggak tau.”
Naina sedikit menunduk karena pria ini terus menatap matanya saat berbicara. Suara baritonnya yang membuat Naina gugup. Beda aura dengan Rion yang peranakan kebulean, Naina tertarik dengan paras tampan chinese ala Cha Eun Woo ini. Dia pun menyodorkan ponsel pada Naina untuk meminta kontaknya.
"Nanti aku chat, ya! Kapan-kapan kalau ada waktu juga, kita bisa keluar bareng," kata Yudha, lalu pergi untuk menyelesaikan urusannya.
Naina meloncat-loncat kecil. Hatinya berbunga-bunga saat ada yang mengajaknya bicara lebih dulu. Wajar, Naina sangat cantik. Pria itu mungkin saja bisa tertarik. Hanya saja, sebagian besar dari mereka akan mundur setelah mengetahui penyakit yang diderita gadis ini.
Walaupun nantinya ada yang bertahan, pasti karena ingin memanfaatkan kekayaan keluarga Kharisma, seperti Alvin kemarin. Tak ada yang mencintainya dengan tulus.
Naina berjalan santai menuju ruang kerja Rion. Sebentar lagi jam makan siang, dia berniat mengajak abang kesayangannya itu untuk makan di luar.
"Abang!"
Rion terkejut mendengar panggilan keras Naina. Tadinya, dia sedang berdiri di dekat rak buku untuk mengambil salah satu dari deretan buku bisnis itu.
"Nai?"
Naina berlari tergesa-gesa. Buku di tangan Rion pun terjatuh saat adiknya meloncat naik dan menggantungkan lengannya di bahu Rion. Kakinya memeluk erat pinggang kokoh pria itu. Rion pun menyanggah tangannya di sisi dinding karena Naina meloncat ke gendongannya.
"Nai seneng banget, Bang!"
"Kalau seneng, langsung berubah jadi monyet gini, ya? Gelantungan segala!"
"Bang! Tadi Nai ketemu cowok ganteng!"
Naina turun dari gendongan, lalu mengajak Rion untuk duduk di sofa. Dia pun menceritakan bahwa pria bernama Yudha itu mengajaknya berkenalan lebih dulu.
Antusiasmenya menunjukkan bahwa dia tertarik pada pria yang mengajaknya berkenalan tadi. Sudah tiga tahun berlalu sejak kejadian gagal lamaran dengan Agus, Naina kembali berani membuka hati untuk petualangan cintanya.
“Udah tukeran nomor hp juga,” ujarnya, menunjukkan kontak Yudha di ponsel-nya.
Rion tersenyum, memandang teduh pada raut bahagia adiknya itu. “Jangan senorak itu, Nai! Kamu itu cantik. Cowok mana pun wajar kalau suka sama kamu.”
"Tapi yang mau jadi suamiku nggak ada, kan?”
Kembali, Naina menatap wajah Rion dengan tegar. Diusapnya rahang halus Rion setelah pria itu bercukur pagi tadi. Aroma krim itu saja sangat tercium ketika berada di dekat bibirnya.
“Suatu saat akan ada yang mencintai Nai dengan tulus.”
Naina lebih mendekat, memeluk erat dan menempel di d**a bidang kakaknya itu. "Tapi ini, baiknya dari awal, aku jujur aja soal penyakitku, kan? Jadi biar tau, dia beneran masih mau deketin aku atau nggak. Daripada kelamaan, nanti aku udah baper duluan, eh ditinggalin."
“Yudha itu anak temen papa. Kemarin papa juga minta abang buat temenan sama dia. Kayaknya memang papa ada maksud tertentu, nih.”
“Buat jodohin aku sama Yudha Oppa?” Naina sangat antusias.
“Who knows? Jalanin aja, ya.”
Naina mengangguk. Tak lama, chat dari Yudha masuk ke ponsel-nya. Naina begitu bersemangat untuk hatinya yang disambut. Rion masih memperhatikan. Diusapnya puncak kepala Naina, lalu berkata, "Tetap hati-hati, Nai. Kalau ada apa-apa, kabarin Abang!"
"Iya. Makan siang, yuk!"
Naina mengajak Rion untuk turun keluar. Tak ingin makan di kantin, Naina ingin makan di luar, entah cafe mana lagi yang jadi buruannya.
Di pelataran, seorang pengendara sepeda motor itu membuka helm-nya. Ferry mengurai senyum sinis, mengirimkan pesan pada seseorang lewat ponsel-nya.
[Dua minggu lagi, Clara Hotel jam 7 malam. Kabari aku kalau dia sampai di sana.]
Kembali menyimpan ponsel, lalu menatap ke arah lantai 5. Seorang pria berdiri di sana, membuat simbol oke dengan menautkan ibu jari dan telunjuknya. Pesan itu terkirim padanya.
Ferry kembali memasang helm-nya, putar arah meninggalkan bangunan Kharisma Advertising.
Bahkan setelah tiga tahun berlalu setelah kematian Fira, dendam masih berakar di hatinya.