1. Godaan Cogan
“Selamat pagi!”
Sapaan itu bagaikan datang dari surga saat ada seorang pria dengan paras yang luar biasa, menyapa Haya tepat saat ia keluar dari pintu rumahnya. Mata Haya seketika membulat saat melihat pria dengan hidung yang mancung, bibir tipis dan dua bola mata teduh yang membuat jantungnya berdebar.
“Oh, jantungku.. wahai hatiku yang rapuh.. berhentilah berisik. Aku masih ingin mendengar suara merdu yang indah dari abang ganteng yang ada di sana!”
Haya terlena dengan paras yang tampan itu. Pria yang entah muncul dari mana dan tiba-tiba sudah ada di taman depan rumahnya, sedang menyiram tanaman dengan cahaya mentari pagi yang menyoroti tubuhnya. Seakan cahaya dari surga yang tengah menurunkan malaikatnya ke muka bumi. Apa lagi di saat pria tampan itu tiba-tiba menghampirinya dengan senyuman cerah yang terukir di wajah indahnya itu.
“Hai, kamu penghuni baru di sini ya?”
Pria itu bertanya dengan suaranya yang begitu lembut di teringat Haya, suara yang seakan membelai dengan halus dan begitu menengkan jiwa.
“Aduh, hatiku. Diam dulu, kenapa terus berdetak. Aku sungguh ingin mendengar suara malaikatku itu dengan jelas!”
Haya dengan pikirannya yang masih kotor itu hanya terdiam, sibuk akan suara hati dan debaran jantungnya yang nyaris memekakkan telinga. Lalu, suara samar pun kembali terdengar. Namun, itu bukan suara dari sang pria tampan yang paling ingin ia dengar.
“Kalau jantungku berhenti berdetak, bukankah artinya aku akan mati?”
“Hmmm…. Tapi, jika malaikat mautnya setampan dia. Aku, rela di bawa kemana pun!”
Suara pikiran yang terus menodai pikiran pria itu pun terus bergejolak di dalam kepala kecil Haya yang terus tersenyum dan menatap wajah pria tampan yang ada di hadapannya tersebut.
“Permisi.. Apa kamu baik-baik saja?”
Tiba-tiba, tangan kekar yang sedikit basah dan terasa dingin itu, menyentuh bahu Haya dan sedikit menghentaknya, mencoba menyadarkan Haya yang sedari tadi hanya terdiam tanpa bahasa.
“Ibu bagaimana ini, dia terus terdiam sambil tersenyum seperti ini dari tadi!”
Pria itu tampak panik dan memanggil sang ibu yang kala itu sedang menyapu rumahnya.
“Ah, malaikat maut!!!”
Seketika di saat Haya yang melamun itu menyebutkan malaikat maut. Sang pria tersebut semakin histeris memanggil sang ibu.
“Ibu… Dia bilang malaikat maut!”
Terbang bersama sapu yang dibawanya, ibu penyihir itu. Eh, ibu kos tersebut pun langsung menghampiri Haya.
“Cepat, cepat bawa dia ke surga!”
“Eh.. bawa ke kamar, Nak!”
“Cepat!!”
Sang ibu kos yang panik itu langsung meminta anaknya untuk menggendong Haya dan membawanya masuk ke dalam rumah mereka yang terletak tepat di samping rumah kos yang Haya tempati.
Sementara kepanikan menjelma antara ibu kos dan putranya tersebut. Haya justru merasa jika saat ini dia benar-benar sedang ada di surga.
“Tuhan, seperti ini kah, malaikat maut menjemputku? Digendong bagaikan seorang putri?”
Di dalam hati Haya, terasa kedamaian yang luar biasa. Pipinya terasa kaku dan giginya terasa kering karena terus tersenyum, menatap malaikat maut yang sedang menggendongnya tersebut. Hidung Haya yang secukupnya itu pun kembang kempis karena bahagia. Haya terlena dengan pesona malaikat tampan yang membuatnya lupa dunia tersebut.
Adalah Delvin yang saat ini kebingungan dengan kondisi Haya yang ia temui. Ia yang sebelumnya terus berada di luar kota tersebut memang sering mendengar bahwa penghuni di rumah yang mereka kontrakkan itu sering mengalami hal yang aneh, salah satunya adalah kesurupan dan Delvin pun mengira saat ini Haya tengah kesurupan.
“Pa-panggil Pak ustadz!”
Secepat kilat sang ibu pun langsung memanggil sang ustadz seperti yang Delvin minta. Untung saja, pak ustadz tersebut masih ada di rumah dan belum pergi ke sawah. Karena ustadz juga manusia yang perlu makan dan tidak cukup hanya dengan ucapan “terima kasih” saja setiap kali ia dipanggil bila ada yang kesurupan. Pak ustadz juga harus makan dan bertani adalah salah satu hal yang ia jadikan sebagai profesi tetapnya.
Pak ustadz ini juga sangat tampan, masih berusia kisaran 30 tahun dan masih single. Suaranya merdu yang sering menyuarakan adzan di masjid terdekat. Sebagai seorang petani, pak ustadz pun memiliki tubuh yang kekar dengan ototnya yang terlihat di balik baju koko yang ia kenakan. Terkadang tak jarang pula ada yang sengaja kesurupan demi bisa melihat wajah pak ustadz yang tampan itu.
Maaf, tampaknya sang author salah fokus. Tidak seharusnya kali ini membahas tentang pak ustadz tersebut. Kita kembali pada kondisi genting yang saat ini sudah membuat Delvin dan ibunya panik.
“Mana, mana yang kesurupan?”
Begitu tiba sang ustadz langsung tergopoh-gopoh masuk ke dalam rumah tersebut. Ia menatap ke arah Haya yang kala itu masih tersenyum dengan lebar menatap ke arah wajah Delvin yang terus panik melihat ke arahnya sambil menepuk pundak Haya untuk menyadarkannya.
“Ada apa ini, kenapa dia seperti ini?”
Pak ustadz tersebut tampak panik dan ia langsung mengangkat kedua tangannya, menengadah dan memanjatkan doa kepada yang maha kuasa.
“Bismika Allahumma ahya wa bismika maut.”
“Aamiin.”
Serentak semua meng-amin-kan apa pun yang sang ustadz itu katakan. Hingga sang ibu kos pun sadar bahwa itu adalah doa tidur dan langsung mengomel dengan suaranya yang nyaring.
“Bapak mau buat Haya tidur tenang di alam baka?”
“Eeeh… Maaf!”
Pak ustadz yang menyadari kesalahannya itu pun mulai memperbaiki doanya kembali. Ia menghela napasnya yang panjang, memejamkan kedua matanya dan tentu saja, menengadahkan kedua tangannya untuk membaca doa lagi. Kali ini semua orang berharap bahwa pak ustadz tak lagi salah memanjatkan doa.
“Allahumma barik lanaa fiima razaqtanaa waqinaa ‘adzaa bannar.”
“Aamiin.”
Kali ini semuanya juga turut meng-amin-kannya. Namun, respon mereka pun sedikit terlambat dengan keheningan untuk beberapa saat setelah bersama-sama menyebutkan kata “aamiin” tersebut.
“Itu kan doa makan!” celetuk Delvin yang saat ini kepalanya mulai terasa sakit. Tidak habis pikir dengan apa yang sedang terjadi saat ini.
Niat hatinya untuk menyapa Haya untuk membuatnya bisa merasa betah di kontrakannya itu. Sebab, ia sendiri tahu rumor apa yang beredar dari rumah kosan tersebut. Ia berharap Haya tidak seperti penghuni lainnya yang kabur begitu saja dan sekarang, malah kejadian seperti ini pula yang terjadi. Haya seperti kesurupan dan pak ustadz sudah tak lagi konsentrasi.
“Ah, maaf.. sepertinya saya lapar jadi tidak konsentrasi,” dalih pak ustadz dengan senyumannya yang merekah.
“Nanti saya buatkan nasi goreng sambal terasi dengan telor mata sapi dan kerupuk emping!”
Begitu mendengar hal tersebut tiba-tiba saja Haya yang sebelumnya tidak sadarkan diri langsung terbangun dengan berteriak, “Haya juga mau nasi goreng Bu!!!”
Bersamaan dengan bunyi perut Haya yang mendadak keroncongan membuat semua cukup bernapas lega dengan hal tersebut.
“Oh, tampaknya Haya cuma kelaparan saja Bu!” sahut pak ustadz yang pada akhirnya mendapatkan sarapan pagi yang gratis.
Bagi Haya yang seorang anak kos, selain godaan pria tampan ada satu lagi godaan yang sudah pasti tidak akan mampu ditolak, yaitu makan gratis.
Meski semula Haya berniat untuk merelakan uang sewa kosannya itu. Kini Haya pun mengurungkan niatnya begitu ia melihat wajah tampan yang merupakan anak ibu kos.
“Godaan makhluk halus tidak ada apa-apanya dibandingkan godaan abang ganteng!”
Haya yakin dengan keputusannya, apa lagi masakan ibu kos juga rasanya juara. Semua karena makanan itu gratis dan sambil melihat abang ganteng yang sedang menyeruput jus apel segar buatan ibunya itu.
“Duh, pengen jadi sedotannya!” benak Haya dengan pikirannya yang semakin lama semakin kotor.
Bersambung…