Los Angeles, California.
Setelah pesawat landing dengan sempurna, Miller, Ethan, Lucas dan para anak buahnya berjalan keluar dari pesawat, meninggalkan Rhys dan Abigail yang masih bergeming dengan pikiran mereka masing-masing.
Rhys menghela napas cukup panjang seraya mengusap wajahnya kasar. Pria dingin yang paling membenci suasana seperti ini, segera berdiri dari tempatnya, dan berjalan menghampiri Abigail yang sedang menatap keluar jendela pesawat.
"Bisa kau tidak mendiamkan ku seperti ini? Aku paling benci diabaikan!" protes Rhys.
"Mengapa kau tidak mengatakan padaku jika kau yg sudah meniduriku?" pertanyaan Abigail yang secara tiba-tiba itu, membuat Rhys sedikit terkejut. Ia sudah tahu, jika pertanyaan itu cepat atau lambat, akan dipertanyakan oleh Abigail.
Pria itu mendudukkan tubuhnya diatas sofa tepat disamping Abigail.
"Aku hanya ingin, kau yang lebih dulu mengetahuinya," sahut Rhys dengan jujur.
Abigail seketika mengalihkan pandangannya, dan menatap Rhys dengan kerutan dahi yang saling terpaut. "Apa kau sudah gila?" pekik Abigail. Napasnya terlihat naik turun dengan cepat, seakan menahan rasa amarah yang sangat memuncak.
Rhys yang merasa frustasi, kembali menghela napas kasar. "Ya, aku gila karena merasa bersalah telah merenggut keperawananmu. Kau gadis baik-baik, tapi kau harus memberikan kehormatanmu untuk pria sepertiku, dan bodohnya lagi kita dalam keadaan tidak sadar! Aku benar-benar sangat menyesalinya!" tutur Rhys.
"Kau benar-benar b******n, Rhys!" umpat Abigail dengan delikan yang sangat tajam
"Aku memang b******n, Abi. Aku hanya merasa bersalah. Benar-benar merasa bersalah. Aku mohon, jangan terlalu menyudutkan ku seperti ini," suara bariton Rhys seketika melunak. Ia pun menundukkan kepalanya.
Pria itu benar-benar tak tahu lagi harus berbuat apa? Yang jelas, rasa bersalahnya semakin besar saat mengetahui, jika Abigail adalah anak dari orang yang sudah mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan Rhys.
Jika saja bukan karena itu, Rhys tidak akan sampai melunak seperti sekarang. Pria itu mengangkat wajahnya, lalu memberanikan diri menatap Abigail yang kini sedang menangis dalam diam. Mata sayu wanita itu terus menatap Rhys dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Aku bahkan tidak tahu, apa yang harus aku lakukan sekarang? Kau pria b******n yang sudah merebut kehormatan yang selama ini aku jaga, dan hanya kau juga lah, pria yang saat ini dapat aku percaya untuk menyelamatkan hidupku," tutur Abigail yang mulai nampak frustasi.
"Aku akan bertanggung jawab, Abi. Aku sangat merasa buruk, jika kau berlaku seperti ini," ujar Rhys.
"Arschloch!!" umpat Abigail dalam bahasa Jerman.
"Ya, aku memang b******n. Maafkan aku, Abi!" timpal Rhys yang juga mengerti arti dari umpatan yang Abigail lontarkan.
Wanita itu berdiri dari posisinya dan berjalan melewati Rhys yang masih menundukkan kepala di tempatnya.
"Hah ... harga diriku sebagai ketua Sygma benar-benar hancur karena wanita yang membuatku menggila!" gerutunya pada diri sendiri.
***
Rhys dan Abigail kini tiba di sebuah hotel mewah di pinggiran kota California, bertulisan Eighty Hotel. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Abigail dan Rhys keluar dari dalam mobil saat seorang valet sudah membukakan pintu mobil, lalu pria berseragam itu membungkukan tubuhnya saat Rhys keluar dari dalam.
Pria berwajah datar itu melempar kunci mobilnya, dan dalam gerakan cepat valet itu menerimanya. Rhys segera berjalan masuk, dengan Abigail yang mengekor dibelakangnya. Seluruh karyawan yang berpapasan dengan Rhys, menghentikan kegiatannya dan segera menundukkan kepala untuk memberi hormat.
Rhys tak membalas, pria itu terus melangkahkan kaki dengan wajah dinginnya menuju sebuah lift khusus untuk CEO. Pria itu menekan tombol panah ke atas dan pintu lift pun terbuka. Ia bergegas masuk, diikuti Abigail dari belakang.
Setelah pintu lift tertutup dengan sempurna, Rhys menyentuhkan punggung tangan kirinya ke atas tombol angka dalam kapsul lift tersebut hingga keluar serangkaian angka yang akan keluar jika sidik jari Rhys tersensor.
Pria itu memasukkan serangkaian numerik dan lift pun tiba-tiba melaju turun. Abigail yang melihat segala yang dilakukan pria di depannya hanya mengerutkan kening. Berbagai pertanyaan mulai menggerayami pikirannya. Namun, egonya yang besar tak mengijinkan Abigail untuk memulai pembicaraan.
Ting ...
Terdengar dentingan lift begitu nyaring, tanda jika lift sudah tiba di lantai yang dituju. Saat pintu lift terbuka, mereka langsung disuguhkan sebuah pintu kaca transparan yang terkunci. Rhys dan Abigail pun keluar dari dalam lift dan berjalan menuju kaca tembus pandang itu. Rhys menaruh kelima jarinya pada kaca dihadapannya, dan dalam waktu sepersekian detik pintu pun terbuka.
Abigail membulatkan matanya dengan sempurna, melihat segala bentuk keamanan berteknologi tinggi pada tempat tersebut. Rhys lebih dulu berjalan ke dalam ruang tersebut, tetapi tidak dengan Abigail.
Wanita itu masih berdiri termangu di tempatnya. Menatap takjub pada ruang yang akan menjadi tempat persembunyiannya. Lampu putih kebiruan yang menyinari dinding-dinding ber-cat putih, dengan sebuah tempat tidur berukuran king size berada ditengah ruang tersebut.
"Kau tidak akan masuk?"
Suara bariton Rhys yang terdengar nyaring dalam ruangan itu, menyadarkan Abigail dari pikirannya. Wanita itu mulai melangkahkan kakinya ke dalam, dan menghampiri Rhys yang sedang duduk diatas sofa.
Saat Abigail mencium aroma maskulin menyeruak kedalam indra penciumannya, seketika ia memejamkan matanya. Bayangan saat dirinya mabuk dan melakukan hubungan intim itu, terlintas begitu saja dalam pikirannya.
Ia membuka matanya dengan cepat, lalu menoleh menatap Rhys yang sedang melihat kearahnya dengan tatapan menyelidik.
"Aku ingat tempat ini!" gumam Abigail.
"Kau ingat?" tanya Rhys memastikan.
"Harum maskulin ini, aku sangat mengingatnya. Dan sialnya, aku merasa tenang saat mencium harum ruangan ini," gerutunya.
Wanita itu seketika berjongkok dan membenamkan wajahnya pada kedua lututnya yang terlipat.
"Aku sangat membencimu, Rhys. Aku memang berpikiran tua, tapi aku benar-benar menjaganya hanya untuk suamiku kelak. Kau benar-benar arschloch!! Aku membencimu! Ayah ... Maafkan aku," racau Abigail.
Entah sejak kapan, Rhys sudah setengah berlutut di hadapan Abigail. Ia menarik tubuh wanita itu dan memeluknya sangat erat. Namun, Abigail memberontak, dan berusaha melepaskan tubuhnya dari dekapan Rhys. Tetapi sayangnya, tangan Rhys yang kekar itu membuat Abigail tak berkutik, dan hanya bisa memukuli punggung pria itu.
"Ya ... pukul saja aku, hingga kau merasa puas. Aku akan diam, dan tak melawan," bisik Rhys.
Sedangkan Abigail, kembali terisak diatas d**a bidang Rhys, dengan kedua tangan yang terkepal dan memukuli pria itu.
"Apa dosa ku? Sehingga aku harus bertemu denganmu saat itu, bahkan sekarang aku harus bersembunyi karena ketidaksengajaan," ucap Abigail disela isak tangisannya.
"Rhys, aku menemukan kejanggalan dalam chip yang baru kita temukan!" suara Miller terdengar sangat serius dari mini earpiece sambungan jaringan pribadi yang masih terpasang pada telinga Rhys.
"Kau tahu istilah antimateri?" tanya Miller lagi.
"Abi ... ada urusan yang harus aku selesaikan sekarang. Kau beristirahatlah, aku akan kembali sore nanti dengan membawa beberapa pakaian baru untukmu. Kau juga harus mengganti ponsel yang saat ini kau gunakan. Mereka pasti mudah melacakmu melalui gps kartu seluler. Aku akan mendaftarkan nomor yang baru ...," Rhy tiba-tiba merogoh saku jasnya, mengeluarkan sebuah kotak hitam yang didalamnya ada mini earpiece yang hanya terhubung pada mini earpiece miliknya.
"... untuk sementara, kau gunakan ini jika kau ingin menghubungiku," sambung Rhys.
Ia meraih sebelah tangan Abigail, lalu menaruh benda kecil tersebut diatas telapak tangan wanita itu.
Wajah Abigail terlihat bingung. Rhys yang paham betul apa yang sedang dipikirkan Abigail segera menunjuk telinganya dan memperlihatkan mini earpiece yang menempel didalam sana.
"Ini jaringan pribadi yang dibuat oleh Miller, pria yang kau temui saat di landasan semalam. Kau bisa menggunakan itu untuk menghubungiku," ujarnya.
"Apa aku akan aman disini?" tanya Abigail tiba-tiba.
Mata sayu itu semakin membuat jantung Rhys berdegup sangat kencang, saat Abigail menatapnya dengan penuh harap.
"Ya, kau akan aman disini. Bahkan, bom sekalipun tak akan bisa meledakkan tempat ini," jawab Rhys.
Abigail hanya mengangguk, berusaha mempercayai pria dihadapannya itu.
Rhys segera bangkit dari posisinya, dan berjalab keluar meninggalkan Abigail yang masih termangu di tempatnya.
'Aku hanya bisa mempercayaimu, walaupun kau pria b******k yang sangat aku benci,' monolognya dalam batin.
***