Andrenaya - 5

1410 Kata
BAB 5 Cinta adalah berbagi. Walau ada dua raga yang berbeda, setiap pasangan hanya memiliki satu hati. ΔΔΔ Anaya menuruni satu persatu anak tangga dengan membawa basket berukuran sedang yang penuh dengan pakaian kotor. Tentu saja pakaian kotor dirinya dan sang suami, Andre. Setiap tiga hari sekali, Anaya mempunyai jadwal baru setelah menikah, mencuci pakaian kotor. Anaya tidak mengeluh, semua pekerjaan dia nikmati. "Neng Naya mau nyuci?" tanya Bi Hanum padanya ketika dia sampai di dapur. Anaya menyunggingkan senyum kemudian mengangguk mengiyakan. "Sini, Neng, biar Bibi saja yang mencucinya." Bi Hanum menawarkan diri. Anaya menolak cepat. "Enggak usah, Bi. Ini tugas Naya sebagai seorang istri. Cuciannya sedikit kok, Bi." Anaya menolak dengan sopan. Dua minggu usia pernikahannya, mencuci, menyapu, atau mengepel seringkali Anaya lakukan. Bukan latihan untuk menjadi babu, melainkan latihan menjadi seorang istri yang baik, serba bisa. Ya walaupun Anaya masih tak bersahabat dengan Andre, tugas seorang istri tetaplah menjadi tugasnya. Anaya juga selalu menolak Bi Hanum yang ingin membersihkan kamarnya. Wanita itu selalu berkata, kalau membersihkan kamar merupakan kewajibannya. Tidak boleh dikerjakan oleh orang lain. Bukan hanya mencuci, menyetrika pun Anaya lakukan sendiri. "Bi Hanum, titip cucian sebentar ya, Naya mau ke kamar," ucap Anaya pada bi Hanum yang sedang mencuci piring. Kemudian beranjak menuju kamarnya. Anaya menghela napasnya melihat Andre yang masih saja tidur. Pria itu begadang semalam untuk menyelesaikan beberapa pekerjaannya, hingga pagi ini dia melewatkan sarapan. "Andre ... bangun," ucap Anaya sambil menggoyangkan lengan pria itu. Anaya menarik selimut yang menutup sebagian tubuh Andre, kemudian melipatnya. Andre hanya menggeliat, enggan menyudahi tidurnya. "Ini sudah jam sembilan, kapan mau bangun?" "Hm ... lima menit lagi. Siapin air buat gue mandi," balasnya masih dengan mata tertutup. "Sudah siap, mandi sana!" Ditariknya secara paksa lengan Andre, agar pria itu segera bangun. Ketika kelopak mata pria itu terbuka, yang pertama kali dilihatnya adalah Anaya. Andre tersenyum kecil. Anaya melebarkan mata ketika Andre melangkah mendekatinya. Pria itu menatap Anaya dengan tatapan yang sulit diartikan. Tatapan mereka bertemu beberapa saat, namun dengan cepat Anaya membuang muka. Andre mendapatkan satu lagi kelemahan Anaya. Dengan menatap matanya. "Lo perlu apa? Bi-biar gue ambilin?" tanya Anaya dengan perasaan tak nyaman. Anaya nampak cemas dengan jarak mereka yang sedekat ini. Mengerti kalau Andre tak berniat menjawab pertanyaannya, Anaya mendorong d**a bidang pria itu agar menjauh darinya. "Sana, ish, jauh-jauh!" Andre menyeringai. "Kenapa?" tanya Andre yang semakin menipiskan jarak. "Gue baru tau, kalau cewek lagi marah itu bisa secantik ini," bisiknya dengan nada yang dibuat-buatnya. Anaya bergidik ngeri. Tanpa disadari pipi Anaya memerah, malu. "Simpan gombalan lo itu! Gak mempan buat gue!" Anaya kembali mendorong pria itu, lebih keras dari sebelumnya. Andre terkekeh. "Gak mempan, ya, tapi kok berhasil bikin pipi lo merah?" Anaya mendesis, ingin sekali menendang bahkan mencakar wajah pria itu. Dengan teramat kesal, Anaya memberikan satu tendangan pada tulang kaki Andre. "Nyebelin banget, gue kutuk lo!" Anaya menghentakkan kakinya, beranjak menuju lemari. Usai menyiapkan pakaian untuk Andre, Anaya segera melangkah kembali ke dapur. Menyiapkan sarapan untuk sang suami menyebalkannya, kemudian mengurusi cuciannya yang belum beres. "Sarapannya sudah gue siapin di atas meja. Makan sendiri, ya, gue mau bilas cucian dulu," ujar Anaya pada Andre yang baru saja tiba di dapur. Pria itu sudah mengeringkan rambut dan mengenakan pakaian santainya. **** Usai menyetrika pakaiannya dan tentu saja beserta pakaian sang suami, Anaya lantas membawa basket berisi pakaian yang sudah rapih itu menuju kamar. Meletakkan ke dalam lemarinya. "Nay?!" panggil Andre secara tiba-tiba, membuat Anaya kaget, dan hampir saja menjatuhkan vas bunga yang sedang dia bersihkan. "Apa, sih?" "Lo masih ingat Alex?" tanyanya terdengar begitu semangat. Senyum Anaya langsung menyembang mendengar nama itu disebutkan. Tentu saja dia masih mengingat pria itu. Pria yang pernah menempati ruang spesial di hatinya. Anaya menyukai Alex sejak mereka duduk di bangku kelas sepuluh. Alex berbanding terbalik dengan sikap Andre yang dingin, walaupun mereka bersahabat. Sangat disayangkan Anaya menikah dengan Andre, bukan dengan pria yang disukainya, Alex. "Ya pasti masih ingatlah!" Anaya menjawab mantap dan tak kalah semangat. "Dia balik ke Indonesia?" tanyanya kemudian. Yap, Alex meninggalkan Indonesia sejak satu setengah tahun yang lalu. Pria itu pindah ke London, mengikuti sang ibu. Andre mengangguk. "Dia mau ke sini. Lo buat kue gih!" Mata Anaya berbinar. "Oke!" Anaya melajukan motornya menuju mini market terdekat. Hanya memerlukan waktu beberapa menit untuk tiba di tempat tujuan. Anaya mengecek barang belanjaannya di dalam keranjang, dirasa sudah lengkap bahan-bahan yang akan digunakannya untuk membuat brownies, segera Anaya menuju kasir dan kembali ke rumah. "Bi Hanum, bantuin Naya bikin brownies, ya ...," pintanya pada bi Hanum. Raut wajah Anaya sangat berbeda dari biasanya. Terlihat sangat bahagia dan bersemangat sekali. Bi Hanum membalas dengan anggukan. "Bi tolong panaskan mentega sama cokelat batangnya, tambahkan garam juga, Bi." "Siap, Neng!" Sementara bi Hanum melelehkan mentega dan cokelat batangannya, Anaya menyiapkan wadah untuk telur, gula pasir, dan tak lupa dia menambahkan cake emulsifier agar tekstur brownies menjadi lembut dan empuk. Anaya memiksernya hingga berbusa dan warna menjadi pucat. Sementara menunggu brownies kukusnya matang, Anaya kembali ke kamar melihat apa yang sedang dilakukan oleh Andre. Sebelumnya dia berpesan pada bi Hanum, "Bi, titip browniesnya Naya tinggal ke kamar sebentar. Kurang lebih 20 menit browniesnya matang. Kalau aku kelamaan, tolong diangkatin ya, Bi." **** "Ngapain?" tanya Anaya ketika sampai di kamar. Dia melihat Andre yang sedang fokus pada layar laptopnya. "Nonton yang enggak-enggak, ya?!" tuduhnya kemudian. Andre menatap datar wanita yang tengah berkacak pinggang tersebut. "Otak lo minta diservis, huh?!" desisnya tak kalah kesal. Anaya terkekeh. "Gue ngurus pendaftaran kuliah." Anaya manggut-manggut. "Gue sudah urus pendaftaran kuliah lo juga, kita kuliah di tempat yang sama," ucap pria itu kemudian. Anaya membelalakkan mata. "Ogah! Gue daftar di tempat lain aja. Bosen satu tempat mulu sama lo!" Anaya melipat kedua tangannya di depan d**a. Menunjukkan raut wajah menyebalkan khas dirinya. "Satu tempat sama gue, atau gak sama sekali?!" putus Andre enggan berdebat lebih panjang. Anaya berdecak kesal. "Nyebelin!" "Memang. Dan pria nyebelin ini suami lo," timpal Andre begitu santai. Anaya segera beranjak meninggalkan pria menyebalkan berstatus suaminya tersebut. Wanita itu melangkah dengan sedikit menghentakkan kaki. "Nyebelin banget! Kenapa gak dijodohin sama Alex aja, sih, kemarin?!" gumamnya sebal. "Hai, Sayang," sapa Maya tiba-tiba, mengagetkan Anaya. "Lho, kok mukanya ditekuk begitu, lagi berantem sama Andre?" Secepat mungkin Anaya mengubah ekspresi wajahnya, lantas menyunggingkan senyum. "Enggak kok, Mi. Mami kapan datang? Mau Naya buatin teh?" tanyanya mengalihkan topik pembicaraan. Tumben sekali mertuanya sudah tiba di rumah padahal jam baru menunjukkan pukul tiga sore. Biasanya wanita paruh baya tersebut selalu pulang malam. "Baru saja. Enggak usah, Sayang. Mami bisa membuat sendiri." Maya mengusap rambut Anaya dengan sayang. "Neng Naya, browniesnya sudah matang," ujar bi Hanum dari arah dapur. "Mi, cobain brownies bikinan Naya. Baru pertama kali bikin, sih, Mi, gak tau gimana rasanya," ucapnya terkekeh malu-malu. "Gimana, Mi, enak?" tanyanya kemudian, begitu penasaran. Maya mengangguk mantap. "Enak ... enak banget. Bi Hanum coba cicipin juga." Anaya tertawa kecil. "Ada bakat kamu, Sayang. Bisa nih nanti kalau ada waktu kita buka toko kue sama-sama," usul Maya seketika mendapat ide. **** Anaya kembali melihat penampilannya sebelum menyusul Andre yang sedang berada di lantai bawah bersama dengan Alex. Tentu saja Anaya harus tampil begitu cantik sore ini. Alex adalah orang spesial yang pernah menempati ruang di hatinya. Mungkin kata spesial itu masih tersemat pada pria itu sampai saat ini. "Hai, Nay," sapa Alex pada Anaya yang menggabungkan diri. "Masih kecil aja. Gak ada perubahan selama gue tinggal," lanjutnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian tertawa kecil. Anaya memajukan bibirnya. "Enak aja! Gue lebih tinggi daripada satu setengah tahun yang lalu. Ya ... walaupun hanya beberapa senti, sih. Tapi gue tambah cantik," ujarnya begitu percaya diri. Andre yang berada di sampingnya menaikkan sebelah alis. "Iyain aja biar lo senang. Gak pengin cari gara-gara gue." Anaya terkekeh. "Cobain dong browniesnya. Gue bikin sendiri itu khusus buat lo." Andre memutar bola matanya malas. "Ganjen!" batinnya sedikit kesal. "Gimana, enak gak?" tanya Anaya antusias. Alex mengangguk. "Enak. Tumben bener lo bikin beginian. Gue kira lo masih sama kayak Anaya yang gue kenal dulu, begitu manja dan gak tahu-menahu sama bahan masakan. Gue masih ingat banget lo pernah goreng ikan pakai air," ledeknya sambil tertawa. Anaya mengerucutkan bibir. "Gak banyak berubah. Tetap manja, bar-bar, dan selebihnya lo bisa lihat sendiri," celetuk Andre tanpa berdosa. Anaya mengangkat tangannya berniat memukul Andre, namun sedetik kemudian diurungkannya. "Gue gak kayak lo ya yang gak ada perubahan, sedikitpun!" omelnya tidak terima. Alex tertawa. "Memang ditakdirkan berjodoh lo berdua. Cocok!" Mengancungkan jempolnya. Anaya melebarkan matanya, diliriknya Andre sekilas kemudian bergidik. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN