Sebulan sebelum menghadiri acara pernikahan saudara di Inggris, orang tua Zahra telah mempersiapkan acara pertunangan dengan seorang pria yang belum Zahra ketahui.
Keluarga Zahra adalah salah satu keluarga terpandang di Kota Jakarta. Selain orang tua Zahra yang terkenal dengan kearifannya, Keluarga Zahra sendiri memiliki sebuah Perusahaan El-Rumi Grup yang menjadi salah satu Perusahaan ternama di jajarannya.
Di siang hari, tepatnya di Kediaman Husein tengah sibuk mempersiapkan acara lamaran sekaligus pertunangan untuk mengikat tali sebelum pernikahan. Ayah Zahra yang bernama Muhammad Husein dan Ibunya Nyonya Zainab Husein sedang berada di ruang tamu bersama para sanak saudara dari berbagai kalangan.
Zahra yang saat itu sedang mempersiapkan diri di depan cermin, sejenak merasakan gelisah dan cemas. “Astaghfirullah, mengapa aku begitu gelisah? Siang ini Engkau memperkenankan aku untuk melihat calon suami yang InsyaAllah baik untukku. Kuatkan hati hamba Yaa Rabb, mudahkanlah segalanya jika memang dia yang terbaik untukku. Amiin..” gumam Zahra.
Tok … Tok … Tok …
Pintu kamar pribadi Zahra di buka dari luar dan menampilkan sosok Bibi Minah, salah satu orang yang membantu pekerjaan rumah. Bi Minah dengan senyum ramahnya memberitahu Zahra apa yang di perintahkan Tuan Rumah. “Permisi Non Zahra, Tuan dan Nyonya memanggil Nona untuk turun segera. Keluarga dari pihak pria sudah datang, Non.”
Zahra yang sedang memperhatikan penampilannya di depan cermin menoleh kea rah pintu dan mengangguk – menjawab panggilan Bi Minah, “Baik Bi, aku akan turun sekarang,” Balas Zahra. Dia membenahi dirinya dan beranjak dari depan cermin.
Langkah demi langkah menggetarkan tubuh Zahra, semakin jauh melangkah justru semakin membuat Zahra gelisah.
“Bismillah...” ucap Zahra menguatkan hatinya.
Perlahan Zahra melangkah menuruni tangga tanpa melihat ke arah para tamu dari keluargga terdekat yang tengah duduk membelakanginya.
Di bawah tangga, Ibu Zainab menunggu Zahra dengan senyum hangatnya membuat Zahra lebih rileks dalam menghadapi semuanya.
Nyonya Zaenab mengulurkan tangannya dan menggandeng sang putri kesayangan serta menemaninya untuk masuk kedalam ruang yang sudah riuh oleh para tamu sanak saudara.
“Telapak tanganmu dingin sekali, nduk?” Nyonya Zaenab menepuk-nepuk punggung tangan Zahra untuk menenangkan perasaan putrinya.
Nabila hanya tersenyum simpul tak ingin membuat Ibunya merasa khawatir, “Hehe… Nggak papa kok, Bu. Dengan adanya Ibu disini, perasaanku jadi lebih baik. Ibu memang yang terbaik,” gurau Zahra dari lubuk hatinya yang terdalam.
Nyonya Zaenab memakluminya. Wajar bagi Zahra jika dia merasa gelisah dan deg-degan. Ini adalah pertama kalinya bagi Zahra menemui calon pendamping pilihan orang tuanya.
Kedua wanita ibu dan anak itu berjalan beriringan menuju ke tengah ruang tamu dengan langkah anggun dan pelan. Siapapun yang melihatnya pasti langsung setuju bahwa Zahra adalah wanita sholehah dengan kepribadian lembut.
Sesampainya langkah mereka dibagian satu set sofa yang mengelilingi meja, dari belakang terlihat sudah ada seorang pria menggunakan pakaian batik sedang duduk bersama dua orang tua yang kemungkinan orang tuanya.
Langkah kaki ibu dan anak itu terhenti di samping sofa dari pihak besan sehingga mau tak mau besan serta putra mereka melihat kearah Zahra, “Nak Azka, perkenalkan dia adalah Zahra Salsabila Mafaza, putri satu-satunya bibi,” Sapa Ibu Zaenab yang sudah berdiri disamping tempat duduk pihak keluarga pria.
“Assalamualaikum,” ucap Zahra memberi salam dengan menundukkan sedikit punggungnya di depan orang tua kedua belah pihak.
Pria yang disebut Azka mendengar ucapan salam, seketika menoleh ke arah Zahra. “Wa'alaikumsalam,” jawab Azka dengan senyuman.
Sekilas mereka saling pandang, kedua manik insan itu bertemu dan bertegur sapa dalam diam sebelum akhirnya kontak mata itu terputus karena Zahra di persilahkan duduk di tempat yang sudah di persiapkan.
Antara perasaan malu dan gelisah karena mendapati dirinya menatap mata pria yang akan bersanding dengannya, membuat Zahra tidak memiliki keberanian melihat wajah Azka.
“Baiklah, karena kedua keluarga sudah bertemu. Mari kita membicarakan masalah pertunangan dari Azka Imtiyaz Nadir dengan Zahra Salsabila Mafaza,” ucap Tuan Husein membuka percakapan.
Kedua pihak keluarga saling berbicara layaknya keluarga besar untuk membahas ke jenjang lebih lanjut. Di saat yang bersamaan, kedua orang tua masing-masing meminta Zahra dan Azka untuk keluar dan saling bicara dari hati ke hati.
Dengan ta’dzim Zahra dan Azka mengiyakan permintaan kedua orang tua mereka dan membiarkan kedua keluarga besar untuk berbincang dan berdiskusi.
Di halaman samping rumah terbentang sebuah taman yang tidak terlalu luas namun cukup untuk di tumbuhi beberapa tanaman hias. Di sana juga terdapat sebuah bangku taman yang biasa Zahra pakai untuk duduk menyegarkan pikiran.
“Lebih baik kita duduk disana. Zahra biasanya duduk disana untuk sekedar menghirup udara segar,” ucap Zahra dengan canggung yang terlihat kentara.
Meski pada awalnya Zahra merasa canggung, namun pada akhirnya keduanya - Azka dan Zahra duduk berdua untuk saling berbicara.
“Menurutmu, bagaimana dengan pernikahan ini?” Tanya Azka tiba-tiba, dengan sekilas memandang wajah manis Zahra.
“Hmmz, pertanyaanmu sedikit mengejutkan ku. Mungkin perkataanku terlihat kurang ajar dan kasar. Tapi, ini adalah keinginan orang tua, bagaimana aku bisa menolaknya?! Dalam hidup ada kalanya keadaan tidak sesuai dengan apa yang kita bayangkan. Dan aku percaya pertemuan kita ini juga karena Tuhan yang telah mengaturnya.” Papar Zahra dengan kedua mata memandang lurus kedepan.
“Zahra, kamu cukup menarik. Cara bicaramu yang jujur tanpa di buat-buat membuat orang yang kamu ajak bicara merasa lebih nyaman. Ternyata orang tuaku memang tidak salah menilaimu,” ucap Azka dengan senyum simpul.
“Kamu terlalu melebih-lebihkan. Aku hanyalah wanita biasa yang sedang mengejar mimpiku. Jujur saja, saat sebelum aku melihatmu aku merasa gelisah. Tapi setelah kita duduk bersama dan saling terbuka, ku rasa kita bisa menjadi teman baik,” balas Zahra, dia memandang Azka dengan senyum yang menunjukkan lesung pipinya.
"Ehm …. apakah ini termasuk sebuah pernyataan PENOLAKAN?" tanya Azka dengan menaikkan kedua aliasnya.
Melihat ekspresi Azka, Zahra langsung mengangkat kedua tangannya, "Mana mungkin. Meski ini pertama kalinya aku melihatmu, tapi dengar-dengar seorang Azka Imtiyaz Nadir adalah pangeran kampus yang akan meneruskan gelar Magister di Kairo. Wanita biasa seperti diriku ini mana berani menolak pria idaman semua wanita?!”
"Benarkah? Apa itu artinya kamu ikhlas menerima pertunangan ini?" lagi-lagi Azka mempertegas pertanyaannya.
"Aku ikhlas Lillahi ta'ala menerima pertunangan ini. Tapi bukan berarti aku mau menikah secepatnya. Aku masih ada cita-cita yang ingin aku gapai,”
"Aku tahu apa yang kamu pikirkan Zahra. Kamu mengatakan hal ini saja sudah cukup bagiku. Biarlah ini mengalir apa adanya, dan serahkan semuanya pada Sang Maha Adil.”