Jangan Menyesal

1394 Kata
Acara tour yang diadakan sebuah perusahaan besar berjalan lancar dan meriah. Acaranya berada di salah satu pantai di Bali. Annawa Salsabila. Gadis muslimah nan cantik menjadi salah satu bagian dari acara tersebut. “Wa, yuk ikut permainan karaoke anak-anak.” Sari, sang sahabat mendekat. Nawa yang duduk di kursi pinggir pantai seraya menikmati langit malam, hanya menggeleng sambil tertawa. “Nggak ah. Suaraku jelek. Takutnya pas aku nyanyi, tiba-tiba datang tsunami.” Sari ikut tertawa kecil. “Ya udah, aku gabung dulu sama anak-anak.” Nawa mengacungkan jempol. Sepeninggal Sari, ponsel di saku Nawa bergetar. Ada pesan dari pria spesial yang menemani pendidikan hingga kini ia sudah kerja. “Lagi free nggak? Aku telepon, ya?” Isi pesan itu. Nawa pun menelepon sang pengirim pesan. “Assalamualaikum, Mas,” sapa Nawa ketika panggilannya diangkat. “Waalaikumussalam. Padahal aku yang mau telepon.” Nawa tertawa. “Lagi apa, Wa? Awas, jaga mata. Di sana pasti banyak bule cakep.” “Sayangnya aku nggak suka sama orang luar. Suka yang lokal aja.” Agung terkikik. “Pilihan yang tepat. Tugasku tinggal sebulan lagi, Wa. Begitu pulang, aku akan lamar kamu.” Mata Nawa berkaca-kaca. Bahagianya membuncah. Sebuah kata keramat itu didengarnya di tempat begitu indah. “Kamu juga, jaga diri baik-baik di sana. Kutunggu niat baikmu. Semoga semuanya dilancarkan dan dipermudah.” “Aamiin.” “Nggak kecantol warga sana, kan? Awas saja.” Lagi-lagi Agung tertawa. Pria yang berprofesi sebagai TNI AD tersebut gemas bukan main. “Iya. Cewek di sini cantik-cantik. Ini lagi dekat sama salah satu pribumi. Enggak enggak. Nggak akan pernah terjadi. Kamu tenang saja.” “Awas saja kalo serong. Aku juga bisa.” Nawa sudah tahu pasti risiko menjalin hubungan dengan pria milik negara, yang bertugas menjaga kedaulatan negeri. Ia harus sabar dengan hubungan jarak jauh. Pun harus sadar tidak menjadi prioritas sebab prioritas Agung yang utama adalah tanah air. Belum lagi pasti akan ada banyak godaan. Terutama gadis pribumi yang berdekatan langsung dengan Agung. Agung dan Nawa bertetangga. Hanya berjarak tujuh rumah. Nawa lulusan pesantren, lalu kuliah. Sementara Agung sejak lulus SMA jarang ada di rumah karena bersekolah kedinasan. Pertemuan mereka hanya beberapa kali dalam setahun sebelum akhirnya Agung memberanikan diri menghubungi Nawa via W* yang nomornya didapat dari adiknya. Gayung bersambut. Nawa pun merasa nyaman dengan pria itu. Sejak Nawa kuliah, keduanya dekat, saling berjanji menjaga hati untuk nanti saling memiliki secara resmi. Bukan pacaran karena Nawa sangat marah jika Agung menyebutnya pacar. Ketika Agung dan Nawa asyik mengobrol lewat telepon, ada seorang pria memasukkan sesuatu ke botol minuman Nawa dengan hati-hati dan kewaspadaan tinggi. Wanita itu tidak menyadari sebab pria itu melakukan dari belakang Nawa duduk. Frengki tersenyum puas setelah berhasil melakukan aksinya. Ia celingukan dan kembali memastikan tidak ada yang melihat. Pria itu lalu duduk di samping Nawa. “Mas, udah dulu, ya,” pamit Nawa pada Agung karena merasa risi ada Frengki di sampingnya. “Oke. Nanti aku VC kalo udah luang lagi. Jaga diri baik-baik.” “Siap, Komandan.” Telepon akhirnya dimatikan setelah saling lempar salam. “Pacar?” tanya Frengki. Nawa tersenyum. “Insyaallah calon suami, Mas.” Frengki dan Nawa sama-sama staf. Bedanya Nawa di bagian marketing, Frengki bagian keuangan. “Aku kira kamu masih free, Wa.” Frengki tertawa. “Belum berpawang, tapi insyaallah sebentar lagi.” “Sebelum janur kuning dan tenda terpasang, berarti masih bisa ditikung, dong.” Nawa hanya tertawa. Ia yang tidak nyaman, mengambil botol minum yang sudah dibubuhi sesuatu oleh Frengki. Tanpa curiga, Nawa langsung meneguknya. Dalam hati, Frengki bersorak bahagia. Target sudah masuk perangkap. Sejak Nawa menjadi karyawan baru dua tahun lalu, Frengki memang menunjukkan ketertarikan pada wanita itu. Hanya saja, Nawa selalu menghindar. Beruntung mereka beda divisi. Beberapa saat kemudian, Nawa merasakan sekujur tubuhnya terasa panas, jantungnya berdegup kencang, dan sesuatu paling keramat dalam dirinya seperti meronta-ronta ingin disentuh. Sambil mengusap wajah yang sudah penuh keringat, Nawa meleng*h. Frengki makin kegirangan. Pasalnya, s*x drops yang dimasukkan ke minuman Nawa sudah mulai bereaksi. “Ada apa, Wa?” tanya Frengki pura-pura. “Enggak ada apa-apa. Hanya saja, mungkin nggak enak badan tiba-tiba. Aku balik ke hotel dulu, ya.” Tanpa menunggu jawaban Frengki, Nawa sedikit berlari menuju hotel tempat rombongan menginap yang tidak jauh dari pantai. Frengki pun mengekor di belakang. Namun, tiba-tiba ia ditarik rekannya. “Ayo ikut klubing. Aku bayarin. Siapa tahu ada LC bohay.” Tubuh Frengki langsung ditarik hendak dimasukkan mobil. “Enggak. Kalian aja. Aku mau ke kamar bentar. Ada keperluan,” tolak Frengki. Sesekali ia melihat ke arah Nawa berjalan tadi yang sudah tidak terlihat sosoknya. “Jangan terlalu lugu, Ki. Udah, kamu tinggal ikut dan menikmati.” “Tap-tapi.” Frengki terus menolak, tetapi rekan-rekannya tetap memaksanya masuk mobil rental yang di dalamnya sudah ada beberapa rekan yang lain. “Turunin, woey! Aku masih ada urusan penting!” Penolakan Frengki tidak diindahkan kawan-kawannya. Mobil tetap berjalan. “Si*l!” umpat Frengki dalam hati. Lalu di sinilah Nawa sekarang. Di dalam lift berdua dengan pria asing yang tengah mabuk. Pria itu Brama. Sementara tubuh Nawa sendiri terus bereaksi hebat setelah obat perangs*ng dimasukkan Frengki ke dalam minumannya. Apalagi tubuhnya dengan pria itu menempel erat sebab Nawa masih menopang tubuh Brama. “Cantik, maukah menemani saya malam ini?” goda Brama yang wajahnya masih tertutup masker. “Masnya pasti mabuk. Ingat nomor kamarnya nggak?” tanya Nawa. “209." Tubuh yang mulai kepanasan, inti tubuh yang meronta-ronta, membuat Nawa tidak bisa berpikir jernih. Sebenarnya ia bisa saja meminta tolong karyawan hotel untuk mengantarkan pria asing ini ke kamarnya. Namun, Nawa justru melakukannya sendiri. Rasa takut sudah tidak ada lagi. Pintu lift terbuka, tiba di mana unit kamar Brama berada. Meskipun mabuk, pria itu masih sadar dan waras. Ia hanya ingin mengerjai gadis cantik yang terlihat salihah yang kini tengah membantunya berjalan. Dengan sempoyongan, Nawa kembali memapah Brama mencari kamar nomor 209. Begitu tiba, Brama mengeluarkan cardlock pada sensor sampai akhirnya pintu terbuka. Brama masih sempat menutup pintu. Nawa masih membantu merebahkan Brama di ranjang. “Sudah sampai. Saya keluar, Mas,” pamit Nawa. Namun, Brama justru menarik tubuh gadis itu hingga terjatuh dalam dekapan. Posisi Nawa ada di atas. “M-mas, apa-apaan ini? Lepas!” Nawa berusaha berontak. “Temani saya.” Brama menurunkan masker yang dari tadi menutupi wajah. Untuk sesaat, Nawa terperangah. Wanita ayu itu takjub dengan ciptaan Allah yang menurutnya paripurna dari segi rupa. Apalagi warna mata pria ini berbeda dengan warna mata pada umumnya. Pandangan keduanya terkunci. Pun dengan Brama yang sejak bertemu di lift tadi tertarik dengan wanita tertutup ini. Menurutnya, kecantikan Nawa alami, bukan polesan seperti Elea yang bersahabat dengan mekap tebal. Apalagi pakaian Nawa yang tertutup, membuatnya penasaran. “Kamu sangat cantik. Siapa namamu?” tanya Brama, belum mengalihkan tatapan matanya. Tangannya ikut mengabsen setiap inci tubuh Nawa. “Sa-saya Nawa.” Efek obat perangs*ng, bisikan setan, sentuhan Brama, dan ketertarikan dengan ketampanan pria di bawahnya, membuat Nawa lupa diri. “Kita buat malam ini begitu indah,” ujar Brama lagi. Nawa menggeleng, menangis. Sisi hatinya takut dengan laknat Allah, sisi lainnya mendamba sebuah kenikmatan. “Sa-saya takut, Mas. Kita nggak saling kenal sebelumnya.” Nawa berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil. “Kamu tenang saja. Saya akan bermain bersih tanpa meninggalkan bekas dalam dirimu.” Nawa masih menggeleng. “Ti-tiba saya merasakan sesuatu yang aneh, yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya saat saya masih di pantai tadi.” “Apa itu?” Brama memicing. Ia memang mabuk, tetapi sekali lagi masih waras. “Semacam hawa panas, jantung berdebar, dan ... dan rasanya ingin dibelai, ingin dipuaskan. Saya nggak tahu kenapa.” Nawa terus menangis. Brama melepaskan pelukan. Ia mulai tahu apa yang terjadi dengan gadis ini. Nawa pun terduduk di bibir ranjang. “Mau saya bantu menuntaskannya?” Nawa diam. “Kita akan saling menguntungkan. Kamu terbantu, saya juga.” Nawa menggeleng, masih menangis. “Saya masih suci, Mas. Saya bukan wanita mura*an, saya tidak mau berz*na. Tapi rasa aneh ini terus mengganggu saya.” “Sudah saya katakan, akan saya bantu. Bagaimana?” Setelah berpikir cukup lama dan mulai tidak bisa mengendalikan diri, Nawa akhirnya mengangguk. “Tapi berjanjilah, jangan pernah menyesal telah menyetujuinya, Nawa.” Brama mulai melepas jarum pengait pasmina Nawa, membuka, dan melemparnya asal. Wajah ayu itu membuat Brama candu. Tangan pria itu lalu bergerak membuka kancing baju Nawa. Bibir mereka menyatu, lalu yang lain ikut menyerbu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN