Setelah berjalan cukup lama, akhirnya Zulian tiba di tempat itu. Tempat yang menjadi pertemuan antara dirinya dan kekasihnya. Terlihat seorang gadis berusia 20 tahun, telah duduk di dalam pos ronda desa itu. Wajahnya yang cantik, tampak tersipu malu melihat kehadiran Zulian. Ia memakai jaket yang terbuat dari bahan parasut dan celana panjang yang terbuat dari katun, dengan rambut hitam sebahu berponi hingga sealis matanya. Sedangkan Zulian memakai kaos lengan panjang berwarna biru dan celana pendek sedengkul.
Zulian tetap berdiri di depan gadis yang bernama Sari. Tingginya yang 185 cm, nyaris menyentuh atap pos ronda yang sederhana itu. Dengan tingginya itu, menjadikan Zulian sebagai orang tertinggi di Desa Cikoneng. Walaupun di Jakarta banyak orang setinggi, bahkan melebihi tingginya Zulian. Karena faktor keturunan dan gizi yang sangat baik. Yang mereka serap dalam masa pertumbuhan mereka.
"A, ko masih berdiri sih? Sini duduk di samping Eneng," ucapnya sambil tersenyum, menyebut dirinya dengan nama Eneng. Yang merupakan nama panggilan untuk adik perempuan dalam Bahasa Sunda.
Mendengar perkataan dari Sari. Zulian pun masuk ke dalam pos ronda desa itu, lalu duduk di samping Sari dengan begitu lembutnya.
"Ada apa sih Neng, ko ingin bertemu sama Aa?" tanya Zulian, dengan penasarannya.
"A Lian jahat, tidak memberitahu Eneng. Kalau Aa mau ke Jakarta," ujar Sari dengan nada manja kepada Zulian.
Zulian menarik napasnya dalam-dalam. Sebelum menjawab pertanyaan dari Sari.
"Aa lupa, dan ini di luar perkiraan Aa. Kalau Aa akan secepat ini ke Jakarta," timpal Zulian datar.
"Tapi kenapa A Lian enggak menelepon, apa SMS untuk memberitahu akan hal itu. Kalau Yulia enggak memberitahu Eneng tadi lewat WA. Mungkin Eneng juga tidak bakal tahu, kalau A Lian akan ke Jakarta," cecer Sari, menatap tajam ke arah mata Zulian dari samping, yang tampak kikuk diperlakukan seperti itu.
Zulian lalu menundukkan tatapan matanya ke bawah untuk menghindari tatapan mata Sari. Yang seakan ingin membuat lumpuh dirinya. Dengan tatapan mata indahnya itu.
"Aa lagi ada pulsa Neng ...," jawab Zulian singkat.
"Selalu saja alasannya begitu...," jawab Sari singkat pula.
"Kalau Neng enggak percaya, nih cek pulsa Aa," ucap Zulian, sambil mengambil ponselnya dari dalam saku celananya. Yang lalu disodorkan ke arah Sari, tetapi Sari menapik nya.
"Enggak perlu, Eneng percaya. Tapi kenapa sih, A Lian selalu saja menyembunyikan masalah Aa dari Eneng. Sepertinya Aa memiliki banyak rahasia dari Eneng?" ucapan dari Sari itu membuat Zulian terdiam, tapi itu hanya sesaat.
"Aa memang seperti ini Neng, Aa lebih suka menyelesaikan masalah Aa sendiri. Daripada harus berbagi cerita sama orang lain," Zulian kembali menatap ke arah depan, tak menundukkan pandangannya lagi ke bawah. Ia lalu melanjutkan ucapannya kembali.
"Kalau Eneng enggak suka dengan Aa yang seperti ini, sebaiknya Eneng tinggalin Aa saja. Lagian abah Eneng itu sangat membenci Aa. Mentang-mentang Aa ini miskin, pengangguran dan mirip orang Korea. Aa juga tahu diri Neng, siapa Aa ini. Tapi kalau Eneng masih mau bersama Aa. Aa sangat memohon pengertian dari Eneng tentang sifat dan keadaan Aa yang seperti ini. Tapi kalau Eneng sudah enggak mau bersama Aa lagi. Ya sudah kita akhiri saja hubungan kita, cukup sampai di sini saja. Sebelum semuanya terlalu indah untuk dilepaskan dan dilupakan oleh kita berdua," ujar Zulian, dengan panjang lebarnya. Yang membuat Sari terkejut atas ucapan Zulian itu.
Sari lalu menggenggam tangan kanan Zulian dengan lembutnya. Seakan ingin menenangkan hati pemuda berwajah Korea itu.
"A Lian ko jadi sensitif seperti itu sih?. Ya sudah maafkan Eneng ya, A Lian. bukan maksud Eneng untuk membuat hati Aa Lian menjadi sedih. Oh ya, A Lian ke Jakartanya kapan?" kata Sari, berusaha untuk mengalihkan pembicaraan mereka berdua.
"Sekarang," sahut Zulian tegas, yang membuat Sari terkejut.
"Sekarang!?" ujar Sari, melepaskan keterkejutannya.
"Ya, dan sekarang Aa ingin pamit sama kamu," ujar Zulian, tersenyum tipis kepada Sari. Yang masih tak percaya dengan ucapan Zulian itu.
Mereka berdua hanya saling tatap dan diam. Hingga ada suara klakson motor yang berbunyi. Di pinggir jalan pos ronda desa itu. Tampak lelaki berusia 55 tahunan, yang sedang mengendarai sepeda motor. Terlihat tak suka, melihat Zulian dan Sari berduaan seperti itu.
Zulian dan Sari begitu terkejut, mendengat bunyi klakson motor itu. Apalagi setelah mereka tahu, siapa pengendara sepeda motor. Yang hanya mengenakan kaos singlet beserta sarungnya itu.
"Neng, itu abah Eneng," ucap Zulian pelan, Sari lalu melepaskan genggaman tangannya dari tangan Zulian.
"Sari! Pulang kamu. Pagi-pagi sudah berpacaran. Sama anaknya si Marni!" ucapnya, keras dan lantang. Hingga membuat Sari harus menghampiri ayahnya itu.
"Iya Abah, ini juga Sari mau pulang," timpal Sari, lalu duduk di boncengan ayahnya.
"Kamu itu kenapa sih. Cinta sekali sama si Korea itu?" tanya ayahnya Sari, dengan penuh penasarannya.
Mendengar ucapan ayahnya. Sari tersenyum, baru menjawab pertanyaan dari ayahnya itu.
"Abisnya, A Lian ganteng sekali sih, Bah," jawab Sari simpel.
"Kamu itu sama saja, seperti ibu kamu. Sukanya sama yang ganteng. Nanti Abah carikan, pemuda yang lebih ganteng dari si Korea itu. Sekarang ayo kita balik," ucapnya, lalu melajukan motornya di jalanan di desa itu.
Sebelum Sari benar-benar pergi dan menghilang dari pandangan mata Zulian. Ia masih sempat memberikan senyum termanisnya kepada Zulian, yang segera melangkahkan kakinya. Meninggalkan pos ronda itu, setelah Sari semakin menjauh. Dan menghilang dari pandangan mata sayu nya yang hampa. Dengan pikiran berjalan entah ke mana.
"Sepertinya aku dan Sari, tidak akan memiliki masa depan untuk bersama. Keadaan selalu saja begini, yang aku rasa tidak akan pernah berubah sampai kapan pun. Sedikit demi sedikit, aku harus mengalihkan cintaku kepada orang lain. Aku tidak ingin terluka di suatu hari nanti, karena terlalu mencintai dirinya. Dan kalaupun aku harus terluka di suatu saat nanti, aku telah siap dan telah memiliki pengganti dirinya. Aku harus bisa melakukan hal itu semua, dan itu harus ...," ujar Zulian, menekakan hatinya untuk melakukan hal itu semua.
Zulian lalu keluar dari dalam pos ronda desa itu. Ia berjalan, menuju ke rumah neneknya kembali. Setelah cukup lama berjalan dan bermain dengan jalan pikirannya sendiri. Akhirnya ia pun tiba di rumah neneknya kembali, tetapi ia tak menemukan nenek dan kakaknya di ruang tamu itu. Tetapi ia menemukan mereka berdua, ada di dalam kamarnya.
Melihat kehadiran Zulian, Rudy pun langsung angkat bicara.
"Lian, kamu ke mana saja? Cepat kamu ganti baju, kita berangkat sekarang. Aa, enggak mau kesorean sampai di Jakarta," ucap Rudy, dengan tegasnya.
"Ya sudah kita berangkat sekarang. Lian enggak perlu ganti baju. Cukup pakai baju ini saja, ditambah dengan jaket ini saja," Zulian lalu mengambil jaket miliknya di dalam lemarinya, lalu memakainya untuk melapisi kaosnya.
Setelah memakai jaket itu, Zulian lalu memakai kaos kaki dan sepatunya.
"Ayo, katanya mau berangkat A," ucap Zulian, lalu melangkahkan kakinya meninggalkan kamarnya. Yang diikuti oleh nenek dan kakaknya dari belakang.
"Oh iya, kenapa aku lupa. Bawa tas yang sudah disiapin dari tadi," ujar Zulian berbicara sendiri.
Zulian lalu kembali ke dalam kamarnya untuk mengambil tas ranselnya. Sedangkan Rudy langsung menuju ke arah motornya. Dan langsung menghidupkannya, lalu menaiki motornya. Sedangkan neneknya berdiri di depan pintu masuk rumahnya. Tak beberapa lama kemudian, Zulian telah kembali dengan tas ransel yang telah terpakai di punggungnya. Ia lalu ada hadapan neneknya, dan lalu mencium tangan neneknya. Dengan penuh hormat ia melakukan hal itu.
"Ni, doain Lian ya. Agar Lian sukses di Jakarta," ucap Zulian pelan tetapi jelas.
"Ya, Nini akan selalu mendoakan kamu. Biar kamu menjadi orang sukses di mana pun kamu berada," jawabnya, sambil meneteskan air matanya. Karena sedih melepaskan kepergian cucu kesayangannya itu.
"Sudah Ni, jangan menangis. Lian pasti kembali ko. Lian pergi dulu ya Ni," Zulian pun lalu melepaskan tangan neneknya itu. Lalu melangkahkan kakinya, dan menaiki motornya Rudy di boncengannya.
"Nih, pakai helmnya," kata Rudy, sambil memberikan helm kepada Zulian. Yang langsung dipakainya, berbarengan dengan Rudy yang memakai helmnya pula.
Setelah itu Rudy langsung tancap gas, tanpa pamit terlebih dahulu kepada neneknya. Yang hanya menggelengkan kepalanya. Melihat ulah cucu sulungnya itu.
Matahari mulai meninggi di langit, seakan ingin mengiringi kepergian Zulian ke Jakarta untuk meraih mimpi-mimpinya, mimpi yang masih ada di dalam angan-angannya selama ini. Mimpi yang akan diperjuangkannya hingga mati.