Bab 5: Pemberi Keturunan Untukku

1097 Kata
"Alpha!" Talon menyambut pria itu dengan hormat. Pria tinggi, gagah, dan tampan itu membalasnya dengan anggukan singkat, aura yang terpancar darinya sarat akan otoritas. Pria itu melihat ke arah Estrella, yang segera mengeluarkan laporannya. "Alpha, Nona Rosalie masih cukup lemah, namun dengan perawatan yang tepat, dia akan jauh lebih baik dalam dua minggu." Ekspresinya tidak berubah, namun pria itu beranjak selagi Estrella berbicara. Dia mendekat ke arahku! Aku belum pernah melihat cara berjalan yang seperti itu—gagah dan cekatan, lebih cepat dari serigala mana pun yang pernah kutemui. Begitu cepatnya sehingga, dalam sekejap mata, dia sudah berada di samping tempat tidurku. Wangi kesturi yang samar mengelilingiku. Aroma angu itu mengingatkanku pada hutan ketika hari hujan, dan aroma itu menggantikan bau bahan kimia steril di dalam bangsal. Terasa dingin namun hampir-hampir psikedelik, sama seperti pria itu. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku. Melalui celah di rambutku, aku melihat sepatu kulit hitamnya berhenti tepat di samping tempat tidurku, dengan ujung sepatu menghadap pada diriku. Dia pasti sedang menatapku! Aku tidak perlu melihat untuk mengetahuinya. "Lihat ke atas" perintahnya. Suaranya dalam, sangat dalam. Itu mengejutkanku dan mengirimkan getaran ke seluruh tubuhku. Terdiam sejenak, aku berusaha mengendalikan diriku. Pantulan dari kancing manset logamnya muncul dalam pandanganku. Tangannya sudah terulur ke arah wajahku. Jemarinya panjang, tidak terlalu besar maupun terlalu ramping—sempurna, dan kukuh. Apa yang kupikirkan? Rosalie, berhenti berpikir yang tidak-tidak! Sedetik kemudian, tangannya memegang daguku, jemarinya kuat dan hangat, mendesak—memaksa kepalaku untuk mendongak. Dia jelas bukan orang yang sabaran. Aku bisa merasakan wajahku memerah, dan aku bersyukur rambut panjangku yang tergerai masih setengah menutupi wajahku. "Lihat aku," perintahnya lagi. Dengan sedikit waswas, aku mengangkat pandanganku untuk menatapnya. Aku tidak berani membantah—tidak ada yang berani melawan perintahnya. Cahaya putih dingin dari bangsal menciptakan efek cahaya lembut di sekeliling tubuhnya, dan mau tak mau aku berpikir bahwa dia tampak seperti seorang pangeran yang tampan dan mulia. Terdapat bekas kerutan di antara alisnya yang hitam legam. Dia selalu mengerutkan keningnya, seolah-olah dia sangat membenci dunia ini. Saat dia membungkuk untuk mendekat padaku, mata birunya yang tajam mengunciku, layaknya elang yang tengah mengincar mangsanya. Aku adalah mangsa itu, gemetar, bertanya-tanya apakah detik berikutnya dia akan menukik dan menangkapku, entah membawaku terbang ke langit berawan atau melemparkanku ke tebing terjal. Gemetar dalam kuasanya, aku lupa caranya bernapas. Satu-satunya suara yang bisa kudengar adalah gemuruh yang disebabkan oleh darahku yang mengalir deras menuju gendang telingaku. Dari sudut mataku, aku melihat lengan kanannya bergerak. Hampir secara naluriah, tubuhku menegang dan setengah berjengit—aku menantikan sebuah tamparan mendarat di wajahku, seperti yang biasa dilakukan ayahku—namun aku menahan diri, karena aku masih ingat perintahnya untuk tidak memejamkan mata. Aku tidak akan menentang perintahnya. Aku hampir tidak berhasil untuk mempertahankan kontak mata. Namun, tamparan itu tidak pernah datang. Sebaliknya, tangannya terulur menyibak rambut dari wajahku. Rambutku menggelitiki pipiku, dan aku mencium aroma lembut kesturinya lagi yang menyelimutiku bagai kepompong. Aku memperhatikan saat manik mata birunya yang tajam memindai wajahku, seolah-olah dia sedang menghafalkan setiap detailnya. Ketika memancarkan auranya yang menindas, mata biru itu seperti lautan yang marah, siap memakan korban kapan saja. Namun sekarang, ketika dia menatapku lebih dekat, gelombang kemarahan itu memudar, dan baru saat itulah aku menyadari betapa jernih dan indahnya sepasang mata yang dia miliki. Aku tersesat dalam matanya. Semua ketakutan dan kecemasanku seketika memudar—yang tersisa hanyalah warna biru murni di matanya. Itu mengingatkanku pada langit cerah yang kulihat ketika aku menaiki ayunan di halaman belakang rumah. Aku berusia tujuh tahun saat itu, dan tawa ibuku dan sumpah serapah ayahku terdengar di kejauhan. Aku mengingat aroma rumput yang bercampur dengan tanah setelah embun pagi saat itu ... Itu semua telah musnah. Sudah lama sekali. Namun ketika aku menatap matanya ... yang kulihat hanyalah pantulan diriku sendiri—seorang gadis yang tak berdaya, duduk di ranjang rumah sakit, mengenakan gaun putih pemberian ibunya sebagai simbol kebahagiaan, yang tengah dipaksa untuk menatap tuan barunya yang telah membelinya dari ayahnya. Aku ingin menangis, namun aku tidak bisa. Begitu tangannya menyentuhku sekali lagi, aku harus menahan lenguhan yang ingin terlepas dariku. Belum pernah aku merasakan perasaan seperti ini di dalam diriku. Kemudian, setelah tampaknya dia yakin akan sesuatu, dia melepaskan wajahku, dan mundur selangkah sebelum berbalik dan menjauh pergi. Saat dia menarik dirinya, aroma kesturinya menyelimutiku dan menarikku kembali dari ingatan yang baru saja kuhidupkan kembali. "Alpha!" Ini mungkin satu-satunya kesempatan bagiku untuk bertanya padanya ... Rosalie, kataku pada diriku sendiri, kamu harus bertanya padanya! Aku mengumpulkan semua keberanianku dan mengajukan pertanyaan yang mungkin mempertaruhkan keselamatan nyawaku. "Alpha, apakah Anda bersedia melepaskan saya setelah saya cukup bekerja untuk melunasi uang yang Anda berikan kepada ayah saya?" Aku bertanya dengan terbata-bata. "Saya akan bekerja sangat keras sebagai pembantu Anda, atau tugas apa pun yang Anda berikan kepada saya ... saya bisa ... " Aku merasa terlalu gelisah sampai-sampai aku berlutut di ranjang rumah sakit itu, bahkan jika perlu aku bersedia mengejarnya keluar pintu. Untungnya, sang Alpha berhenti dan berbalik, mengangkat kedua alisnya. Dia tampak tengah memproses apa yang baru saja kukatakan. Aku tidak perlu melihat sekeliling untuk mengetahui bahwa semua orang memandangku seperti aku telah kehilangan akal. "Pembantu?" ulang sang Alpha lebih kepada dirinya sendiri. Dia menatapku sejenak sebelum menghampiriku kembali. Aku merasakan udara bergeser di antara kami sebelum dia duduk di sampingku. Tekanan yang timbu di kasur karena berat badannya membuatku tanpa sengaja meluncur sedikit lebih dekat dengannya, dan kedekatan tubuhnya membuat tubuhku gemetar ... dalam ketakutan dan juga damba. Itu sangat aneh—setelah jarak di antara kami semakin dekat, aku ingin lebih dekat lagi dengannya. Aku ingin dia berada disisiku! Jantungku berdebar-debar, dan napasku semakin memburu. Ketakutan, ketertarikan, ketidakpastian, damba ... semua emosi ini bercampur menjadi satu mengaburkan akal sehatku. "Apakah ayahmu tidak memberitahumu?" bisiknya. Suaranya menenangkan, hampir-hampir terdengar lembut. Namun, meskipun dia terdengar lembut ... instingku mengatakan bahwa dia tidak merasa senang. "Tidak memberitahu apa?" Aku bertanya ragu-ragu, tidak yakin apakah aku ingin mendengar apa yang akan dikatakan olehnya. Jauh di lubuk hatiku aku merasa bahwa ada sesuatu yang salah. Aku tidak akan menyangka bahwa apa yang dia katakan selanjutnya akan memusnahkan harapan dan impian terakhirku. "Satu-satunya pekerjaan yang kamu miliki di sini adalah untuk melahirkan anak," jawabnya. Seketika tubuh dan hatiku membeku. Dia menatapku, jemarinya menyingkirkan rambut dari pipiku lagi, memperlihatkan seluruh wajahku padanya. "Kamu akan menjadi seorang pemberi keturunan ... pemberi keturunan untukku." Pemberi Keturunan. Kata itu berputar-putar di benakku, dan aku mencoba memahaminya. Sekarang aku mengerti arti dari tatapannya—tatapan yang seolah ingin mengingat semua detail diriku. Itu bukan karena hasrat atau minat. Dia hanya sedang memeriksa kondisi barang yang baru saja dia beli.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN