"Tubuh perawan yang belum tersentuh ini tak lama lagi akan berada di bawah kungkungan Alpha yang paling kejam. Apakah kamu benar-benar berpikir dengan sekali saja dia melihatmu sebagai pelayan, dia tidak ingin bercinta denganmu dan membuatmu menjerit? Aku saja telah mendambakan hal itu, dan aku tidak tahu apakah aku harus membiarkanmu pergi tanpa menikmati dirimu terlebih dahulu."
Kata-kata Derek menyadarkanku dari angan-anganku.
Dia mengendus rambutku dan mendesah pelan. Air mata sekali lagi terancam tumpah ke wajahku.
"Jangan," kataku dengan suara serak. "Kamu akan mendapat masalah, dan kita tidak memerlukan itu sekarang."
Aku telah kehilangan segalanya. Aku tidak akan membiarkan dia merampas kehormatanku juga.
"Masalah ... aku tidak takut, Rosalie."
Dia tertawa dengan sadis, namun tingkah lakunya menunjukkan ketakutannya.
Dia menatapku sebelum dengan kasar mendorongku menjauh. "Sekarang cepat dan kemasi barang-barangmu."
Seperti aku punya banyak barang untuk dikemas saja. Pakaian yang kumiliki hanyalah beberapa seragam kerja yang diberikan kepadaku untuk bekerja, dan kemudian sepasang legging yang kudapatkan dari seorang teman lama dan beberapa kaos berlogo grup band. Itu semua bahkan tidak sampai memenuhi koper kecilku.
"Aku sudah siap."
Kata-kataku lirih, namun Derek mengawasiku dari ambang pintu, dan aku tahu dia mengerti maksudku.
Aku harus mencari cara untuk keluar dari sini. Derek terlalu mengamatiku. Aku harus menjauh darinya.
Namun Derek tidak repot-repot mengatakan apa-apa lagi dan hanya memberi ruang untukku dan membiarkanku melewatinya.
Mengambil koper kecilku, aku berjalan menuju tangga—setelah dia mencuri kesempatan untuk memukul pantatku.
Aku hanya bisa berdiam saat itu, dan kemudian mulai setengah berlari menjauhinya.
"Kenapa kamu berlari? Sangat ingin melihat tuan barumu ya, jalang? Pelan - pelan saja."
Derek turut mempercepat langkahnya, mengejarku.
Dia mengulurkan tangannya, mencoba meraih bahuku. Aku berusaha menjaga jarak dan melihatnya dari sudut mataku.
"Derek ... kumohon jangan."
Dia memberiku tatapan maut yang membuat tubuhku merinding.
Dia berniat memukulku.
"Berani-beraninya kamu mendikte apa yang harus kulakukan?!" raungnya.
Aku berjengit dan bersiap menerima pukulan itu, namun pukulan itu tidak pernah dlatang.
Derek mengepalkan tinjunya, namun dengan susah payah, dia menahannya.
Aku penasaran dengan apa yang menghentikannya ketika kemudian aku menyadari bahwa percakapan kami telah menarik perhatian sejumlah orang di lantai bawah tepatnya di teras.
Dalam bayang-bayang di teras yang remang-remang ada ayahku, Isis, dan seorang pria yang tidak kukenal. Dia tampak begitu jangkung, dan auranya membuatku merasa terintimidasi. Di sebelahnya berdiri dua orang lain yang seolah melebur dalam bayang-bayang. Mereka tidak bergerak, dan yang bisa kulihat hanyalah siluet sosok mereka.
Saat aku mendapati pemandangan itu, aku mendengar suara ringan Isis: "Bukankah dia terlihat cantik? Dia meluangkan waktu untuk memastikan bahwa dia terlihat sempurna untuk kedatanganmu, Talon."
Beta di hadapanku sepertinya tidak peduli dengan apa yang ibu tiriku katakan. Matanya menatap lekat pada mataku sejak aku melihatnya.
"Lakukan apa yang dia katakan." Pemimpin kelompok itu memberikan perintahnya pada Derek.
Kata-katanya tidak diucapkan dengan keras maupun kasar, namun semua orang di ruangan itu dapat mendengarnya dengan jelas, dan firasatku mengatakan bahwa tidak ada yang berani menentangnya.
"Mengapa dia memiliki memar di tubuhnya?" Suara Talon terdengar dalam, dan membuatku gugup.
"Dia jatuh dari tangga sebelumnya saat menjajal sepatu hak tinggi barunya yang lucu itu, bukankah begitu, Rosalie?"
Aku menatap Isis dan ayahku dan melihat tatapan balik mereka yang tajam.
"Ya, tangga. Itu karena kecerobohanku ... " Aku tergagap, sebelum melihat kembali ke arah Talon.
Tolong percaya saja pada kebohongan itu, harapku. Tolong percayai saja.
"Tangga?"
Talon sepertinya tidak mempercayai apa yang kami katakan, dan, sejujurnya, jika aku jadi dia aku pun tidak akan percaya.
"Ya, tangga. Mengapa tidak kita semua duduk saja, dan membicarakan beberapa hal."
Ayahku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan, namun dari gestur pria di hadapanku itu, aku tidak yakin percakapan mereka akan panjang.
"Tidak, kita tidak perlu diskusi lebih lanjut. Kita sudah mendiskusikan situasinya lewat telepon."
"Tapi, Isis sudah menyiapkan makan malam kecil untuk Anda dan rekan-rekan Anda. Anda pasti kelaparan karena perjalanan Anda kemari ... "
"Tidak. Itu tidak perlu."
Kemudian Talon mengangguk padaku, memberi isyarat agar aku mendekat.
"Sana," Derek menggeram dari belakangku.
Aku ragu untuk melangkah maju dan mendekati tamu asing itu. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis, dan tubuhku terasa terpaku di tempat. Namun aku tahu bahwa aku tidak punya pilihan lain.
Pukulan di pantatku menyebabkanku terlonjak sedikit, dan pada saat yang sama aku kehilangan keseimbangan dan meluncur jatuh ke bawah tangga. Aku memekik kaget.
Betapa bodohnya aku, membuat suara seperti itu di hadapan para tamu ... tamatlah riwayatku.
Namun demikian, aku tidak sampai membentur lantai. Alih-alih, aku mendapati diriku berada dalam pelukan tamu utama kami.
Sebelum aku bisa memproses apa yang terjadi, dia dengan cepat menegakkan diriku kembali ke lantai. Dia memastikan aku telah mendapatkan kembali keseimbanganku, memberiku sebuah anggukan, dan melepaskanku.
Dia menyelamatkanku?
"Te ... terima kasih!" Aku berhasil memberinya senyuman.
"Sama-sama, Nona Rosalie ... " Dia tidak tersenyum balik, namun aku tahu dari nada suaranya bahwa dia tidak bermaksud jahat.
Gedebuk!
Aku mendengar suara gemeretak diikuti oleh jeritan Derek. "Arghhhhh!"
Apa yang baru saja terjadi?
Berbalik, aku melihat Derek di ujung tangga. Salah satu sosok gelap yang samar-samar itu tengah menghajarnya, dan sepertinya mereka berniat menghabisinya. Darah melumuri lantai, dan aku mendengar teriakan lain yang datang dari Isis.
"Kumohon! Beta Talon, tolong hentikan ini!" serunya, memohon pada pria di sebelahku.
Talon, seorang Beta dari Drogomor, tidak menghiraukannya.
Pukulan demi pukulan, Derek menerima semua pukulan yang diberikan kepadanya. Dia tidak memiliki kesempatan melawan orang ini. Mereka menghajarnya tanpa ampun.
Jeritan Derek semakin melemah, sementara Isis terus memohon kepada Talon sambil menangis. Tidak peduli seberapa banyak Derek memberontak terhadap Isis, dia tetaplah putranya.
Aku merasa ngeri. Aku tidak menyukai Derek, namun jika ini terus berlanjut, dia mungkin akan mati.
Aku melihat ke arah Talon, tidak yakin apakah aku harus mengatakan sesuatu untuk menghentikan mereka.
Untungnya, sebelum aku sempat berbicara, Talon memberikan perintahnya selagi dia menyaksikan adegan itu terjadi.
"Berhenti."
Sosok itu berhenti sejenak, namun hanya untuk menunggu perintah lebih lanjut.
"Patahkan tangannya."
"TIDAAKK—!! Kumohon! Jangan lakukan ini padanya. Dia tidak akan pernah menyentuh Rosalie lagi. Aku bersumpah!"
Ibu tiriku berlutut, memohon agar Talon tidak menyakiti Derek lebih jauh. Kendati demikian, Talon tampak tidak peduli.
Dan ayahku hanya berdiri di sana dan menonton.
Lolongan menyedihkan yang terdengar menarik perhatianku kembali pada Derek, dan darah telah menggenang di sekitarnya. Aku menyadari tangannya telah tergeletak di tanah.
Baru kemudian sosok itu mundur dan menjauh dari Derek lalu kembali ke posisinya di sebelah pria yang seharusnya bertugas membawaku.
Aku menjauh satu langkah darinya.
Aku tidak bisa ikut pergi bersama mereka. Ketakutan yang membanjiriku tidak seperti ketakutanku yang muncul ketika itu menyangkut ayah atau pun kakak tiriku. Aku merasa takut setengah mati.
Tidak mungkin aku akan selamat dari kekejaman semacam itu. Ayahku, dia tidak mungkin sungguh-sungguh melakukannya ... bagaimana bisa dia mengirimku pada mereka?
Isis jatuh bersimpuh ke lantai, berteriak. Dia kemudian berbalik dan menyerbu ke arahku.
"Ini semua salahmu, dasar jalang!! Aku akan membunuhmu!!!"
Dia mencoba meraihku namun Talon melangkah maju dan menghadang jalannya. Meski begitu, Isis tidak berhenti untuk mengutukku.
"Dasar sialan! Jika bukan karena kamu yang mencoba merayu anakku, semua ini tidak akan terjadi!! "
"Kendalikan Luna Anda, Alpha," kata pria itu memperingatkan, tatapannya beralih ke arah ayahku.
"Isis, bawa dia ke rumah sakit kawanan." Adalah satu-satunya kata yang keluar dari mulut ayahku.
"Derek adalah anakmu, lakukan sesuatu ... Harland, kamu tidak bisa membiarkan mereka memperlakukannya seperti ini!!" Aku belum pernah melihat ibu tiriku begitu putus asa.
"CUKUP!" Ayahku memotongnya. "Bawa dia ke rumah sakit kawanan. Jangan membuatku mengulanginya untuk yang ketiga kali."
Aku melihat wajah Isis berubah dari terkejut lalu menjadi merah padam, kemudian memucat. Dia menatap ayahku dengan tidak percaya.
Beberapa detik kemudian, dia bangkit, membawa Derek yang kehilangan kesadarannya beserta tangannya, dan meninggalkan ruangan bersama dua prajurit ayahku tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Tatapan matanya saat dia melewatiku mengatakan semuanya, tanpa perlu kata-kata terucap dari bibirnya.
Dia ingin aku mati.
"Saya sangat menyesal karena telah merepotkan, Talon. Tampaknya anak tiri saya perlu belajar untuk menyadari kedudukannya. Saya akan memastikan hal itu untuk dibereskan. "
Nada bicara ayahku benar-benar berbeda sekarang. Dia terdengar sopan namun berwibawa.
"Rosalie!" Dia memanggil namaku. Perhatian semua orang sontak kembali mengarah padaku.
Aku menunduk dan tidak sanggup menatap matanya.
Apakah dia benar-benar ayahku? Kukira dia tidak menyukaiku karena aku mengingatkannya pada ibuku, tetapi bagaimana dengan Isis dan Derek?
Aku mendengar ayahku melanjutkan, "Seperti yang Anda lihat, Talon, anakku sangat cantik, dan sangat patuh. Dia adalah gadis yang menyenangkan hati. Hampir menyakitkan rasanya melihat anak kesayanganku pergi, tetapi dia sangat menginginkan ini."
Dia berbohong! Aku menggigit bibirku dan mengeratkan kepalan tanganku.
"Baik kalau begitu. Kami harus pergi. Bayarannya akan kami kirimkan dalam beberapa hari, setelah Alpha kami melihatnya."
"Maaf ... saya pikir kami akan menerimanya pada saat kedatangan Anda?"
Aku menatap ayahku dan menyadari bahwa dia mulai marah. Namun nyalinya menciut, terutama saat tatapan kesal Talon beralih padanya.
Dia berusaha untuk tetap sopan terhadap Talon. Aku tidak dapat mengingat kapan ayahku yang seorang Alpha itu pernah bersikap sopan seperti ini.
"Itu benar, saat kedatangan saya ke kawanan saya. Apakah Anda mencoba untuk bernegosiasi ulang dengan Alpha kami?" Talon berkata dengan tegas.
Ayahku seketika menggelengkan kepalanya.
"Tidak, tentu saja tidak. Saya hanya salah paham. Percayalah, sebagai seorang Alpha saya bisa mengerti. Sangat penting untuk memastikan bahwa kesepakatan yang dibuat itu memang layak."
"Benar. Sekedar mengingatkan, Harland ... sekarang gadis ini adalah milik Alpha Ethan. Dia bukan lagi milikmu, dan tidak akan pernah lagi menjadi milikmu. Dia tidak akan kembali ke sini, selamanya. Hidup atau mati, dia adalah anggota kawanan kami."
Hidup atau mati.
Aku menatap ayahku, dan matanya melirik sekilas kepadaku dengan sedikit keraguan sebelum kemudian dia tersenyum.
"Itu tidak masalah."
Kata-kata ayahku menghancurkan satu-satunya harapanku.
"Bagus. Kami harus pergi, sekarang juga."
Talon menoleh ke arahku. "Apakah Anda membutuhkan hal yang lain? Apakah hanya ini yang ingin Anda bawa?"
Aku sadar bahwa aku tidak punya pilihan lain selain mengangguk.
"Baiklah kalau begitu. Ayo pergi. Kita memiliki perjalanan panjang di depan kami."
Talon tidak membuang waktu sebelum berbalik dan berjalan menuju mobil. Dua bayangan di sebelahnya telah berpindah ke sisiku.
Satu langkah, dua langkah ... aku berjalan mendekati mobil mereka, namun setiap langkah yang kuambil, membuatku semakin khawatir dan tidak yakin akan masa depanku.
Melirik kembali ke arah rumah kawanan dari luar, aku mencoba mengabadikan pemandangan rumah yang pernah menjadi bagian dari ibuku. Dia akan merasa kecewa pada ayahku.
"Anda tidak akan pernah kembali ke sini," kata Talon.
Namun, tidak ada yang bisa kukatakan. Apa yang kukatakan tidak akan mengubah apa pun, jadi apa gunanya? Aku hanya diam saja dan mengikutinya ke mobilnya.
Hidupku bukan lagi milikku—dan tidak akan pernah menjadi milikku.