"Dalam beberapa hari lagi, kita akan memiliki semua uang yang kita butuhkan, dan gadis itu akan menjadi persoalan terakhir yang perlu kita khawatirkan."
***
Hujan deras mengguyurku dan rasa sakit di tubuhku karena bekerja terlalu keras membuatku menderita. Sensasi terbakar di paru-paruku menjadi sangat menyiksa dan kakiku pun kram, namun aku sadar bahwa aku akan merasa jauh lebih menderita jika aku tidak dapat sampai tepat waktu.
Terakhir kali aku terlambat hanya dua menit, aku dipukuli habis-habisan sampai aku tidak bisa berbaring selama seminggu.
Aku melambatkan langkahku ketika aku semakin mendekati kantor ayahku, sambil terengah-engah mengatur napas. Suara ibu tiriku menarik perhatianku.
"Harland, sayang ... dalam beberapa hari, dia bukan lagi urusan kita." Kepuasan dan kebencian yang tersirat dalam nada suara ibu tiriku membuatku tersadar bahwa mereka sedang membicarakanku.
Apa yang dia maksud?
Jantungku berdegup kencang karena habis berlari dan juga karena apa yang baru saja kudengar, namun aku hanya bisa memelankan langkah kakiku sambil mendengarkan.
Aku tahu aku tidak seharusnya menguping—apa pun yang kulakukan tanpa izin akan ada akibatnya. Namun perkataan ibu tiriku itu membuatku menghentikan langkahku. Aku perlu mencari tahu lebih banyak.
" ... mereka akan membawanya, dan kita akan mendapatkan uangnya."
Mataku melebar dan tubuhku mulai gemetar tak terkendali.
Apa maksudnya?!
"Tik tok, Rosalie. Kamu terlambat lagi," kata sebuah suara di belakangku.
Aku menolehkan kepalaku dan berhadapan dengan senyum keji Derek.
Mata abu-abu kakak tiriku itu memindai tubuhku yang terbalut lekat oleh pakaianku yang basah kuyup dari atas ke bawah, seolah-olah dia ingin menelanjangiku dengan tatapannya.
Sejak dia pertama kali bertemu denganku ketika aku berusia 14 tahun, dia selalu berusaha untuk menyentuhku. Aku bahkan tidak ingin tahu apa yang akan dia lakukan seandainya ibu tiriku tidak memaksanya untuk tidak mengusikku—hanya karena akulah yang mencari uang untuk keluarga.
Aku berusaha sebaik mungkin untuk menghindari Derek, dan tentunya itu membuatnya kesal. Mungkin itulah sebabnya dia merasa begitu puas ketika melihatku dihukum oleh ayah atau ibu tiriku.
Namun pada saat ini, Derek bukan persoalan penting bagiku.
Aku menyadari bahwa suara-suara di dalam kantor telah menjadi sunyi senyap. Mereka telah mendengar apa yang dikatakan Derek.
"Rosalie!" Suara ayahku membuatku gugup.
Habislah aku. Aku ingin mencoba kabur, namun aku tahu Derek akan menghentikanku.
Malam ini pun akan diakhiri dengan babak belur.
Dengan senang hati, Derek berjalan memutariku dan mendorong pintu hingga terbuka.
Aku menarik napas dalam-dalam, menekan rasa takutku, tidak berani menatap orang-orang di ruangan itu.
"Ayah ... " Suaraku bergetar.
"Sudah kubilang dia ini pembuat onar, bersembunyi dan menguping seperti tikus," kata ibu tiriku sambil menyeringai. "Siapa yang tahu apa yang akan dia lakukan ketika dia dewasa?"
"Kamu menguping kami?" Ayahku menggeram.
Aku mencium bau alkohol yang familiar dan mulai gemetar tak terkendali. Aku tahu betul betapa mengerikannya ayahku ketika dia mabuk.
Aku menunduk, terlalu takut untuk menatap matanya.
Aku harus mengalihkan perhatiannya. "Ini uang yang kudapat hari ini ... "
Isis terkekeh. Suaranya bagai garukan kuku di papan tulis.
"Lihat betapa cerdiknya dirimu, mencoba menutupi kesalahanmu hanya dengan beberapa dolar? Tidak cukup dengan hanya terlambat, kamu juga menguping ... sepertinya seseorang perlu diberi sedikit pelajaran," katanya, mengeratkan tangannya yang memiliki kuku panjang bermenikur ke lengan atas ayahku.
Ayahku mengangkat tangannya.
Karena refleks, aku mengangkat tanganku untuk melindungi kepalaku. Dengan gemetar, aku menggigit bibirku agar aku tidak berteriak— berteriak hanya akan mendatangkan hukuman yang lebih brutal.
Satu detik, dua detik ... rasa sakit yang diharapkan tak kunjung datang.
Malah, aku merasakan dompetku ditarik dari tanganku.
Aku membuka mataku untuk mendapati ayahku menggenggam uang di tangannya, dan dengan mimik suram mengamatiku. Alih-alih merasa lega, aku justru merasa setakut.
Sorot mata ayahku memberitahuku bahwa sesuatu yang lebih buruk akan terjadi.
Dia mengangkat dompet di satu tangannya dan mengerutkan kening. "Cuma ini?"
Aku gemetar ketakutan dan berkata dengan suara kecil, "Hari ini hujan begitu deras jadi tidak banyak pelanggan yang datang ke restoran ... aku sudah menyerahkan semua uang yang kudapatkan pada Ayah ... "
Plak!
Pukulan berat menampar wajahku, membuatku limbung ke belakang dan jatuh ke lantai.
Aku jatuh terkapar, samar-samar masih kudengar raungan marah ayahku melampaui suara berdenging di telingaku.
"Apa maksudmu? Apakah kamu mengatakan bahwa aku bergantung padamu untuk memenuhi kebutuhan hidup? Beraninya kamu menghinaku?"
Hantaman tinju menghujam di kepala dan punggungku bagai guyuran hujan lebat.
Aku melindungi kepalaku dengan kedua lenganku dan berteriak, "Tidak, maafkan aku ... maaf ... kumohon hentikan ... "
Rasa sakit yang tak tertahankan membuatku hampir kehilangan kesadaran, dan penglihatanku mulai kabur.
"Ayah ... kumohon hentikan ... "
"Jika kamu lanjutkan, kamu akan membunuhnya." Suara ibu tiriku terdengar seperti datang dari kejauhan. "Harland ... sayang, ingat ... wajah dan suaranya yang cantik itu adalah aset terbesarnya. Kita tidak ingin merusak segalanya, bukan?"
Ibu tiriku itu bernama Isis. Dulu aku merasa senang karena ayahku dapat menemukan seseorang sepeninggalan ibuku, dan dia sepertinya membuat ayah bahagia. Dulu aku juga berharap bisa membuat ibu tiriku itu bahagia. Dengan naifnya aku bahkan berharap bahwa, suatu hari, keadaan di antara kami akan menjadi lebih baik.
"Dia jelas tidak bekerja cukup keras! Uang ini tidak berarti! Tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang aku harapkan. Mengapa Dewi Bulan harus memberinya bakat yang seperti itu?" Ayahku meraung.
Aku bersandar ke dinding dan meringkuk di lantai, memandang ayahku dengan kengerian, takut dia akan mengangkat tangannya untuk memukuliku lagi.
"Yah memang, sayang," Isis menghentikan ayahku, "dia jelas lebih mengecewakan daripada yang kita harapkan. Tapi itu tidak masalah. Kamu sudah berbicara dengan Talon tadi pagi. Kamu tahu apa yang telah direncanakan untuknya. Dalam beberapa hari lagi, kita akan menyelesaikan semua masalah keuangan kita dan kita tidak perlu khawatir mengenai dia lagi."
Ekspresi mabuk ayahku berubah dari marah menjadi seperti terhibur. Ada sesuatu yang mengerikan berkelebat di matanya, membuatku merinding.
"Kamu terlihat kebingungan, Nak." Ibu tiriku kembali menatapku dengan senyum tipis. "Katakan padanya, Harland. Aku yakin dia akan senang dengan berita itu. Aku saja senang setelah mendengarnya."
Seringai Isis membuatku takut. Jika dia merasa senang di saat seperti ini ... pasti itu bukan untuk alasan yang bagus.
Ayahku berjongkok untuk menyamai pandangan mataku dan aku tidak bisa menahan diriku dan mundur ketakutan. Dia mengangkat tangannya dan meletakkannya di atas kepalaku—yang mana membuatku merinding.
"Kamu akan melakukan pekerjaan besar untukku. Bahkan, mungkin ini yang akan mengubah kehidupan kita untuk selamanya."
Jantungku berdebar kencang diliputi ketakutan, namun aku tetap diam menunggu vonis akhirku.
"Kamu akan melayani Alpha dari Drogomor. Sepertinya dia membutuhkan ... pembantu, dan dia bersedia membayar banyak uang untuk itu."
Aku terkesiap tak percaya.
Ayahku! Aku memanggilnya ayah, namun dia menjualku, seolah-olah aku hanyalah seekor domba. Tega-teganya dia?
Aku merasa takut, terkejut, dan tidak bisa berkata-kata. Ini tidak mungkin terjadi!
Mataku dengan panik bolak-balik menatap pada Isis dan ayahku saat pria itu bangkit berdiri. Raut wajah Isis tidak menunjukkan hal lain selain kepuasan dan menegaskan kebenaran dari apa yang dia katakan.
"Jangan begitu, Rosalie," kata Isis. "Kamu harus menganggap ini sebagai suatu kehormatan besar untuk melayani Alpha terkaya dan yang paling berkuasa diantara semua Alpha. Dia mungkin telah terbiasa membunuh dan menyakiti orang, tapi dia sangat terkenal, dan bisa menjadi bagian dari kawanannya ... yah, itu suatu kehormatan terbesar," tambahnya sambil tersenyum.
Alpha dari Drogomor, penguasa kawanan paling kuat dari Benua Timur.
Dia dikenal karena kekejaman dan kebenciannya terhadap orang yang melewati batas. Rumor mengatakan bahwa dia telah membunuh sebagian besar pelayannya, dan pemerintahannya dipenuhi pertumpahan darah—termasuk darah ayahnya sendiri.
Tidak ada yang tidak akan dilakukan oleh pria itu untuk memastikan orang-orang di sekitarnya mematuhi setiap perintahnya. Dia tidak punya waktu untuk trik manipulasi. Dia lebih suka membantai yang lemah dan bermandikan darah mereka di bawah Bulan Panen.
Bahkan serigalanya dikatakan sebagai monster, dengan mata merah yang menyala dalam bayang-bayang—mengintai korbannya sebelum mencabik-cabik tubuh mereka.
Dan aku akan dijual kepada mesin pembunuh kejam itu, oleh ayahku sendiri!
Aku mengumpulkan semua keberanianku dan memohon. "Ayah, tolong jangan. Kumohon, aku akan bekerja lebih keras. Aku berjanji. Biarkan aku tetap tinggal di sini!"
Isis tampaknya sedang dalam suasana hati yang cukup baik. Dia tersenyum padaku, namun senyumnya jahat. "Rosalie, jangan memberatkan ayahmu seperti itu. Mengemis tidak akan membawamu kemana-mana dalam hidup."
Mereka tidak mungkin serius. Aku adalah anak semata wayang ayahku. Satu-satunya orang yang meneruskan garis keturunannya!
"Ada banyak hal yang bisa kulakukan di sini untuk membantumu menghasilkan lebih banyak uang ... kumohon, beri aku kesempatan lagi untuk menunjukkan kegunaanku, padamu," pintaku dengan air mata berlinang.
Aku bahkan beralih kepada Isis. "Isis, kumohon ... katakan sesuatu ... "
Pukulan yang datang berikutnya lebih keras dari yang sebelumnya.
Kubiarkan air mata mengalir di pipiku.
"Jangan berani-beraninya kamu berbicara padanya seperti itu!" teriak ayahku.
"Ayah, kumohon jangan lakukan ini padaku ... " Aku terisak di lantai. "Jangan kirim aku kepadanya, aku mohon... jika Ibu masih hidup ... "
Namun aku tidak dapat menyelesaikan kata-kataku.
Penentangan itu membuat ayahku mengamuk. Aku melihat tatapannya berubah menjadi tatapan membunuh ketika dia berbalik mencengkeram leherku, mengangkatku ke udara.
"KAU AKAN MELAKUKAN APA YANG AKU PERINTAHKAN!"
Dia meraung padaku, dan sedetik kemudian, punggungku membentur dinding dengan keras. Seluruh tulang di tubuhku terasa seperti remuk, dan rasa sakit yang hebat membuatku hampir pingsan.
Merosot ke lantai, aku mulai menangis. Aku tidak peduli lagi jika dia melihatku. Aku merindukan ibuku lebih dari apa pun saat ini.
Ayahku, seorang Alpha dari kawanan kami, berubah total ketika ibuku meninggal. Ayahku tidak pernah seperti ini sebelumnya. Dulu aku adalah kebanggaan dan kegembiraannya, dan banyak lagi. Dulu dia biasa memanggulku di pundaknya dan memanggilku "burung kecil"-nya.
Dia menyayangiku, tapi itu dulu, dan memikirkan hal itu menghancurkan hatiku.
"Derek!" Ayahku memerintahkan.
"Ya, Alpha."
"Bawa Rosalie ke atas agar dia bisa membersihkan dirinya. Tamu-tamu terhormat kita akan segera tiba, dan aku tidak ingin dia terlihat seperti itu."
Seluruh tubuhku terasa sakit luar biasa. Aku tidak bisa bernapas. Pandanganku kabur.
Saat Derek semakin mendekat, hal terakhir yang kudengar sebelum aku pingsan dengan penuh air mata adalah Isis yang membujuknya untuk tidak mengacaukan wajah maupun suaraku, dua asetku yang mungkin akan membuat mereka mendapatkan lebih banyak uang dari pembeli—Sang Alpha dari Drogomor.