Jin Buang Anak

626 Kata
Cerpen "Jin buang Anak" Kawasan Cawang tampak lenggang, Tebet pun begitu, Demikian pula Asembaris. "Rul, kamu tinggal di mana?" Kutatap mikrolet Cilitan arah Cawang nan gelap dinihari malam. "Katanya ini tempat 'Jin buang anak' ," gumanku sambil kulihat deretan kompor dan kerajinan periuk. Jembatan Cawang kalo ke arah barat menuju Mampang lewat Pancoran. Apabila ke selatan terus arah Cililitan dan kalo ke utara arah Kampung Melayu. Kadang pernah ada takut? Masa pulang pengajian jam 00.30 malam dinihari, Jakarta memang tak pernah tidur. Uangku pas saja, bersabar, di atas mikrolet sendiri via Otista. Nyambung lagi lewat Kampung Melayu. Jalan gelap yang kupilih, sepi sunyi sendiri kulalui....cuma dengan sopir angkot warna biru muda. Selepas sampai terminal Kampung Melayu, kuberjalan ke utara di seberang menunggu Angkot jurusan Senin. Nggak kepikiran apa ada jambret , copet atau Suster Ngesot si Manis Jembatan ancol? Antah berantah hantu ibu kota kubusng jauh. Tadi aja nongkrong di atas kuburan , ndak ada ape ape. Malah sudah habis sebatang nungguin Haerul di Jalan Pedati Kebon Nanas, katenye mo liputan maulid, kagak nongol-nongol gue di tinggal di komplek pemakaman, nih gimane? Ku duduk sendiri di area pemakaman berumput di seberang gang kecil, berpagar Besi. Aku dan Haerulloh memang tidak kenal, Jerul seorang agen marketing majalah, penjual peci putih keliling, tinggal di Tebet dekat Tsaqofah.HP jadulnya memamg menjadi denyut radarku untuk bergerak cepat.Soalnya die pasti udah gelar tiker jual aneka dagangan di tiap pengajian. Istrinya, katanya orang Tegal. Baju koko dari Tegal, Jaket Sang Presiden SBY, Peci Putih, Sorban Putih, masih ada. Masih kuinget tarawih keliling, Subuh pagi dengan Tiga Serangkai (Habib Ali Bungur, Habib Ali Assegaf dan KH Abdurrahman Nawi, semua sudah alm) sampai paling pagi di Cipinang Muara saat pilihan Gubernur DKI. Lucu juga, pesan pilgub masuk jadi iklan kampanye di masjid-masjid, habisnya Calonnya dateng. Waktu kuajak ke Sukabumi, Hairul tidak mau. Aku akhirnya jalan sendiri, dianter sampe arah Ciawi, memang lewat jalur Ciawi, nanti Cianjur. Kutatap tetumbuhan padi sepanjang Cianjur sampai Sukabumi.Seumur-umur tinggal di Betawi, baru kulihat tanaman padi menguning di Cianjur. Tiba di Sukabumi, aku langsung pesan hotel di dekat, Gunung Puyuh. Setelah istirahat sebentar jelang Maghrib, aku telusuri jalan malam di Gunung Puyuh. Setelah tanya dengan seorang santri mengantarku ke sebuah makam pejuang Islam dari Sukabumi, KH Ahmad Sanusi, pendiri Persatuan Islam Seluruh Indonesia (Persis). "Kok cuma sebentar?" Tanya santri pengantar di gerbang pesantren. "Iya ,Dik.Bahan tulisannya sudah ada, saya ke sini cuma dokumentasi foto.Salam untuk pak Kyai, ya" kataku basa basi sambil bergegas pamit menuju hotel. Pagi hari aku berencana menuju Cijurai sehabis Sukaraja. Namun perjalananku justru memutar ke barat dan Selatan lalu ke timur lagi lewat Sukaraja.Aku rasa aku telah membuang waktu sekitar 3 jam. Lagu dangdut, mikrolet omprengan, Goyang Dombret" menemani suasana. Hingar bingar dentuman sounsistem mikrolet, membuatku makiin tak konsentrasi. Jalan lurus sepi, kadang naik dan berkelok, membuatku agak terlena, sejenak.Aku ragu sebuah gang kecil Cijurai, kok sepi, tidak ada umbul umbul. Mikrolet masih melaju makin kencang ke arah selatan kadang ke timur, karena aku sedikit mengantuk. Cuaca makin panas , membuatku makin gerah dan tak tenang. Aku lalu minta pada sopir mikrolet merah untuk berhenti di Sukaraja arah Pulo Air. Segera aku naik bus jurusan Sukabumi arah Garut dan turun di Pulo Air. Kembali aku liputan pondok pesantren Al Quran Pulo Air,Sukabumi.Kebetulan aku pernah meliput ke Pulo Air ini di bulan Rajab terakhir.Saat haul pendiri pondok, banyak kyai, habaib bahkan menteri agama juga datang. Sampai siang di Pulo Air, aku kemudian harus segera pulang ke Jakarta. Sampai lagi Kampung Melayu sudah gelap malam. Menuju Salemba sudah jelang dini hari. Kembali kulihat Jembatan Cawang, "Nah ni dia, tempat jin buang anak itu," gumanku sendiri. Malam tengah merayap menuju pagi, Jakarta sudah sangat sepi pada dini hari.Kabut tipis mulai turun, menemani perjalanan panjang yang letih. (***) aji setiawan

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN