Eps 4. Lagi

1794 Kata
Tok! Tok! Tok! Ketukan pintu di luar kamar kembali membuat Lala sedikit terusik. Seharian ini dia benar-benar menggunakan waktu untuk sepenuhnya tidur. Menggantikan waktu semalamnya yang tak bisa terlelap. Lala mengerjap, melengkuh merasakan tubuhnya yang masih terasa sedikit pegal, terutama di bagian paling bawah sana. Menyugar rambut yang tergerai menutupi wajah. Lalu beranjak turun dari atas tempat tidur. Memakai alas kaki dan melangkah pelan menuju ke arah pintu. Begitu pintu dibuka, bik Puji, asisten rumah tangga berdiri di sana. “Ada yang nyari, non,” ucapnya. Kening Lala berkeryit. “Siapa?” “Lelaki. Temannya non Lala yang dulu juga pernah ke sini,” tutur si bibik. Lala hanya mengangguk. “Aku cuci muka sebentar.” Berbalik, kembali masuk ke dalam kamar untuk bersiap turun ke bawah. Usai mengusap wajah dengan handuk, Lala berdiri di depan cermin. Mengamati bagian lehernya yang sudah tak terlihat tanda biru itu. Sangat beruntung dia punya alat make up yang harganya nggak ecek-ecek. Membuka cream dengan wadah bulat kecil di atas meja, lalu mengusapkan cream itu di dua sisi lehernya yang biru. Menghela nafas lega saat semua terlihat baik-baik saja. Meraih kuncir rambut dan mengikat rambutnya dengan asal, seperti kebiasaannya. Rambut Lala memang panjang, lurus, tapi dia paling tak betah jika membiarkan rambut itu tergerai. Dengan kaos lengan pendek dan celana diatas lutut dia keluar dari kamar. Menuruni anak tangga pelan dengan kedua mata yang berusaha menatap ruang tamu sana. Sayangnya ruangan itu tak terlalu terlihat dari tangga. Sedikit terkejut saat mengetahui ternyata Algi yang duduk di sofa. Cowok paling ganteng di sekolahan, paling supel dan ramah. Dia juga tergolong jejeran badboy yang banyak penggemarnya. Melihat Lala muncul, Algi berdiri, tersenyum manis melihat gadis yang di sukainya datang menemui. Ya, siapa pun akan sangat bahagia bisa mendapatkan Lala yang pintar dan memang sangat cantik. “Al,” sapa Lala, lalu mendudukkan p****t di sofa depan Algi. Algi tersenyum makin lebar, lalu kembali duduk di tempat yang sama. “Yaang, lo sakit?” tanyanya dengan sangat perhatian. Sampai dia berdiri dan beralih dari duduknya. Mendekati Lala, menempelkan punggung tangannya ke kening Lala. Lala mengerucut, menepis tangan Algi. “Enggak, Al.” Algi menggenggam tangan Lala, menatap wajah putih yang memang sangat cantik ini. “Kata si bibik tadi, elo nggak keluar kamar sejak pagi. Kenapa? Chat gue juga nggak di bales? Lagi banyak pikiran?” Lala mendesah, menjatuhkan punggung di sandaran sofa. “Enggak kok,” ngomongnya. Mau jujur ya … malu lah. “Yaang, keluar, yuk,” ajaknya masih dengan tangan Lala yang dia genggam. “Kemana?” tanya Lala, melirik pacarnya yang memang tampan, dan … ya, Lala menyukainya. “Liat pameran di gedung SI, katanya kemarin pen liat itu, kan?” Lala terlihat menyentak nafas kasar. Diam dengan tatapan menerawang, sedang berpikir. Iya sih, pameran tentang dunia laut ini sangat dia nantikan. Hanya saja, setelah kejadian semalam, moodnya hancur seketika. “Gue kangen lho, yaang. Kita dua hari nggak ketemu.” Bujuk Algi. Cowok itu memperhatikan wajah Lala dari samping. Siapa pun tau, ada banyak cinta dari kedua mata bocah ini. “Kalo nggak mau liat, yang penting jalan keluar lah. Kangen banget, yaang,” Lala menoleh, menatap wajah ganteng pacarnya yang mengedipkan satu mata dengan bibir tersenyum, menggodanya. Lalu senyum itu menyalur di bibirnya. “Iya, iya,” “Yess!” sumringak cowok itu, mencium punggung tangan Lala. “Aku ganti celana dulu.” “Yaang,” Algi menarik tangan Lala saat gadis itu hampir beranjak. Lalu tanpa ijin bibirnya mengecup pipi Lala dari samping. “Jan lama-lama,” ngomongnya dengan berbisik. Lala menoleh, kedua mata sedikit melebar karna terkejut dengan ciuman yang tiba-tiba. Tapi detik berikutnya senyum dengan kedua pipi merona terlihat di wajah Lala. Gadis cantik itu hanya mengangguk, tanpa berkata. Algi tersenyum gemas melihat rona merah di pipi Lala, terlebih bibir berwarna sedikit merah itu terlihat sangat sexi. Dia sudah pernah mengecupnya, nggak hanya sekali, dan dia sangat menyukai itu. Lala, incaran beberapa cowok di sekolahannya. Bukan hanya sekolahannya saja, tapi kepopuleran Lala juga sampai di sekolahan tetangga. Ah, siapa yang nggak bangga bisa jadi kekasihnya? Beberapa menit berlalu, Lala keluar dengan sweater dan celana jeans panjang. Ada tas kecil yang melingkar di tubuhnya. “Al, lo liat gue gitu banget.” Menunduk, memperhatikan penampilannya yang seperti biasa. Algi tertawa kecil, beranjak dari duduk dan segera menyambar kunci motor yang tadi dia geletakkan di atas meja. “Yuk,” ajaknya, melangkah lebih dulu keluar dari rumah. Sama seperti anak muda pada umumnya, Lala memeluk Algi dari belakang. Kedua tangan melingkar di perut cowok ganteng itu dengan sangat erat. Tersenyum, sampai tertawa kecil saat Algi melontarkan candaan yang memang lucu. Lalu motor gede itu berhenti di pinggir jalan, tepat di bawah pohon yang ada gerobak bakso di sana. “La, mampir rumah gue bentar ya,” ajak Algi setelah mereka menghabiskan semangkuk bakso masing-masing. Kening Lala berlipat. “Emang mau ngapain?” Algi menggeser duduk, sedikit mencondongkan tubuh ke Lala. “Dompet gue ketinggalan.” Ngomongnya dengan berbisik. Bibir Lala menahan untuk tak tersenyum, melirik kekasihnya yang wajahnya jadi terlihat kurang nyaman. “Nggak apa, pakai uangku dulu.” ** Pukul 7 malam “Mau pakai tahu, mas?” tawar Vera, melirik piring suaminya yang sudah ada nasi dan sayur lodeh. Bayu mengangguk tanpa kata, hanya tersenyums aat istri keduanya ini menjatuhkan tahu bacem ke dalam piring miliknya. Sementara Levine menahan untuk tak membuat masalah di meja makan. Dia diam menikmati makanan yang tentu diolah oleh mama tirinya. Kenapa harus makan olahan orang yang dibenci? Ya, dari pada mati kelaparan, kan? Meletakkan sendok di atas piring kosongnya. Lalu meneguk air putih yang memang sudah di sediakan di dalam gelas. Dia mengangkat kepala, menatap papanya yang juga sudah selesai makan. Sempat melirik Vera yang masih mengunyah makanan dan kursi yang ada di sampingnya kosong. Lala belum pulang sejak siang tadi. “Sabtu siang pukul dua, ada waktu?” tanya Levine dengan tanpa basa-basi. Bayu mengangkat kepala, menatap anak lelakinya yang juga menatap kearahnya. “Kenapa?” “Lamarin Sabina.” Ngomongnya dengan wajah datar tanpa ekspresi. Vera menghentikan kunyahannya, melirik suaminya yang terlihat berpikir. Tentu curiga kan. Kenapa Levine tiba-tiba meminta untuk lamaran? Sedangkan dia sendiri juga tau kalau anaknya ini tengah sibuk membereskan masalah sekripsi. “Vin, kenapa tiba-tiba? Apa yang sudah terjadi?” tanya Bayu, khawatir. Levine terlihat menghela nafas. “Nggak ada apa-apa. Kalo bisa, temani aku. Kalo nggak bisa, bilang aja. Biar aku nggak nunggu.” Lalu beranjak, melangkah pergi dengan begitu santai menaiki undakan menuju ke lantai atas. Vera meneguk air minum miliknya. Sedikit beringsut untuk menatap suaminya yang duduk di kursi tepat sebelahnya. “Mas, apa mungkin pacarnya Levine … hamil?” Bayu menggeleng ragu dengan helaan nafas panjang. “Entahlah. Besok aku akan cari tau.” Di lantai atas sana, Levine mengambil sebungkus rokok yang tergeletak di atas meja. Membawanya keluar dari kamar menuju ke balkon. Menyelipkan sebatang di mulut, lalu mulai menyalakan korek. Tak begitu lama, asap keluar dari bibir dan hidungnya. Menikah sekarang saat usianya masih berada di angka dua puluh dua tahun, itu masih terbilang sangat muda. Tapi sungguh, dia nggak mau liat Sabina kecewa atau meragukan keseriusannya. Cckk, bahkan dia belum merasakan seperti apa bekerja dan mencari uang sendiri. Pengalamannya masih sangat minim. “Hidup bapak nggak akan lebih lama lagi, nak. Bapak tau kamu dan Sabi sudah lama berhubungan. Keinginan bapak hanya satu.” Pak Basir melirik anak gadisnya yang duduk di samping kanannya. “Bapak ingin melihat Sabi bersanding, menyatu dengan lelaki yang dia sayangi dan dia inginkan atas status pernikahan yang resmi.” Kedua mata tua yang sudah terlihat cekung itu menatap Levine serius. “Kamu menyukai Sabi, kan?” Tak menjawab, Levine hanya menganggukan kepala. Karna dia memang menyukai semua yang ada pada Sabina. “Nikahi anak bapak. Bahagiakan dia.” Bayangan pertemuannya dengan pak Basir tadi siang masih saja terlintas. Sumpah, dia sedang membayangkan tanggung jawabnya menghidupi Sabina. ini nggak main-main lho. Levine menyunggingkan senyum saat melihat ada moge waran hitam yang berhenti di halaman depan. Lalu adik tirinya yang cantik itu turun dari boncengan. Kedua pasangan kekasih itu sempat bercanda sebentar sebelum akhirnya si motor melaju pergi meninggalkan Lala yang tersenyum dengan lambaian tangan. “Cari hiburan, lah,” ucapnya. Mematikan rokok yang masih separuh itu ke dalam asbak. Levine menjatuhkan tubuhnya dia tas kasur. Meraih ponselnya yang sejak tadi ada di samping bantal. Tersenyum menatap sebuah vidio berdurasi kurang lebih sepuluh menit. Vidio yang dimainkan oleh adik tirinya yang sayangnya begitu cantik dan seksi. “Brengsekk!” umpatnya saat merasakan miliknya yang terasa ngilu. Wajah cantik Lala saat mendesah dengan penuh nafsuu membuatnya tak tahan. Itu terlihat semakin cantik dan menggemaskan. Lalu bayangan semalam saat dia menerkam Lala juga tak akan mungkin dia lupakan. Dia tau adiknya masih perawan, dan dia sendiri yang menjebol keprawanannya. Darah merah di seprai dan ringisan Lala cukup membuktikan semuanya. Levine menyugar rambut menyadari dia yang sebentar lagi akan menikah. Lalu mengelus barangnya yang sudah terlihat menonjol. “Sabar, bentar lagi ….” Ngomongnya. Dia bangun, turun dari ranjang dan keluar kamar. Menuruni anak tangga karna dia ingin ke dapur untuk mengambil minuman dingin. Dia perlu mendinginkan kepalanya yang sekarang panas dipenuhi oleh adegannya dengan Lala kemarin malam. Keadaan dapur sudah tak seterang tadi. Ini sudah terlalu malam, jadi sudah pasti Vera mematikan lampu-lampunya. Sesampainya di apur, Levine mematung melihat Lala yang berada di sana dengan semangkuk mie isntan. Bibir berwarna merah karna kepedesen makan mie itu terlihat sangat menggoda. Lalu leher jenjang Lala yang terpampang membuatnya menelan saliva. Nunggu sah sama Sabina? keknya dia nggak akan bisa sesabar itu deh. Tepat saat Lala beranjak dari duduk, lalu berdiri di depan wastafle untuk mencuci mangkuk dan panci bekasnya tadi, Levine melingkarkan tangan ke pinggang Lala, memeluk adiknya dari belakang. Tangannya menekan saklar lampu, membuat keadaan di dapur jadi gelap gulita. Lala terlonjak, hampir saja membuat ribut kalau panci itu tak ditangkap oleh Levine. “Jangan berisik, bego!” lirih Levine berucap. “Kak—” wajah panik Lala tak bisa disembunyikan. Tangannya mengenggam erat tangan Levine yang ada di perut. Berusaha melepaskan diri dari kungkungan kakaknya. “Gue ketagihan niduri lo,” “Aaggh ….” Lala menggeleng, berusaha menjauh saat Levine menciumi sisi lehernya. “Kak, jangan, kak, pliiss ….” Akhirnya lengkuhan itu keluar dari bibir Lala saat tangan Levine meremas bagian depannya. Lalu dengan tak sabar tangan itu sudah menyelinap masuk ke kaos Lala, memainkan barang itu dengan tanpa halangan. Levine membalikkan tubuh Lala, mencium bibir berwarna kemerahan itu. “Aagh,” jerit Lala tertahan saat sesuatu mulai keluar masuk di bagian bawahnya. “Kak … aahh … kak ….” “Lala, La!” Panggilan dari Vera membuat Levine membungkam bibir Lala dengan bibirnya. Bukannya melepaskan, tapi Levine justru menurunkan celana Lala, membuat gadis itu telanjang separuh badan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN