12- Di Ruangan Itu

1431 Kata
"Kalau kamu sudah sampai di depan gedung, jangan lupa hubungi saya lagi." Nindy mengingat- ingat kembali ucapan dari Sony kemarin ketika mereka melakukan sambungan telepon. Iya, akhirnya Nindy menerima tawaran untuk bekerja di perusahaan itu, khususnya menjadi Sekretaris untuk CEO A&A Corporation, Alex. Gadis itu kini hanya perlu menyebrang dan berjalan di jembatan layang untuk sampai ke sebrang, tempat gedung perusahaan itu berada. Nindy dalam langkahnya terus saja merapikan blouse- nya dan rok selututnya. Ia tak ingin blouse- nya dan roknya itu menjadi kusut. Nindy ingin ia tampil mengesankan di pertemuan pertamanya dengan Alex itu. Kini gadis itu telah sampai di depan gedung perusahaan yang ia tuju itu. Ia segera mengeluarkan ponselnya dan menelepon orang yang ia maksud itu. Sony Ferdinan, sosok yang menawarkan posisi itu. "Halo, Pak." Nindy tersenyum sembari menempelkan ponselnya ke telinganya. Ia menghela napasnya menatap gedung di depannya itu sekali lagi. Gedung yang luasnya tak terhingga dan terlihat kokoh berdiri tegak di tengah ibukota itu. Pencakar langitnya mungkin hampir menyentuh awan. Sungguh terlihat menakjubkan jika dilihat dari jarak dekat. "Saya sudah sampai di depan gedung." Nindy menyambung kalimatnya. Ia menanti respon dari Sony sembari melihat- lihat sekitarnya. "Oh, kamu sudah sampai di depan?" Sony terkekeh mengatakan kalimat itu. Kemudian ada jeda di sana sebelum akhirnya Sony kembali berujar. "Kamu naik ke lantai sepuluh dan temui saya. Bilang saja pada resepsionis di lantai satu bahwa kamu sudah punya janji dengan saya." Mendengar kalimat itu membuat Nindy mengangguk tanpa sadar. Ia mengangguk meskipun tahu kalau Sony tak akan melihatnya. Menyadari kebodohannya, Nindy dengan cepat menjawab ucapan Sony. "Baik, Pak!" serunya dengan penuh semangat. Tepat setelah itu, sambungan telepon itu terputus. Nindy dengan segera memasukkan ponselnya kembali ke dalam totebag- nya. Gadis itu merapikan rambut coklat sebahunya kemudian merapikan blouse dan juga roknya sekali lagi sebelum akhirnya melangkahkan kakinya ke dalam gedung itu. Tadi pagi, Nindy benar- benar masih memikirkan tentang pekerjaannya yang sangat beresiko itu. Bahkan ketika berada di dalam bus trans, gadis itu masih terus saja memikirkan tentang resiko yang akan ia peroleh ketika suatu saat dirinya ketahuan tengah memata- matai Alex. Kalau benar Alex bukanlah seorang manusia biasa, melainkan Iblis, maka Alex akan melakukan segala cara untuk menyakiti dirinya bukan? Namun Nindy pada akhirnya memikirkan kenyataan lain. Tiba- tiba ia menjadi berharap kalau Alex adalah manusia biasa yang sama dengannya. Bahkan jika kemungkinannya sangat kecil sekalipun. Nindy masih berharap Alex setidaknya tidak akan membunuhnya jika sampai ia ketahuan. Iya, Nindy harap memang Alex adalah seorang manusia. Apalagi tahun 2021 ini, mana ada Iblis 'kan? "Permisi, saya ingin menemui Pak Sony Ferdinan, Direktur Pemasaran." Nindy berujar di depan resepsionis berwajah oriental itu. Resepsionis wanita di depan Nindy itu segera menjawab, "Tunggu sebentar, ya. Saya cek terlebih dahulu." Sesudah itu ia segera mengotak- atik komputer di depannya yang Nindy tak tahu apa yang sedang dilakukan itu. Lalu menelepon seseorang, yang Nindy juga tak tahu siapa. Nindy hanya terdiam sembari memperhatikan sedari tadi. Selang beberapa menit kemudian, resepsionis itu mendongak dan menatap Nindy dengan senyuman. Bahkan lebih lebar dari senyum yang tadi ditujukan untuknya. Kemudian mulai kembali berujar, "Silakan bisa langsung naik lift dan menuju lantai sepuluh, sudah ditunggu oleh Pak Sony." Mendengar kabar baik itu, Nindy ikut melebarkan senyumnya. "Terima kasih," sahutnya cepat. Gadis itu segera melangkah menuju lift, bahkan ia harus berbarengan dengan karyawan yang lainnya. Saat seseorang memencet tombol nomor sepuluh, Nindy tak perlu repot- repot melakukan hal yang sama. Gadis itu kini bersiap untuk memulai harinya di perusahaan barunya. Dalam hati, Nindy terus berharap agar hari ini menjadi hari yang lancar baginya. Semoga tak ada masalah di hari pertamanya bekerja itu. Dan ... semoga Alex mau menerimanya sebagai Sekretaris barunya. °°°°° Nindy menatap pintu sebuah ruangan di depannya. Ia mengernyit saat seorang wanita muda mendatanginya. Wanita itu sepertinya Sekretaris dari pemilik ruangan di depannya itu. Dengan segera Nindy tersenyum ketika pandangan mereka bertemu. "Ini benar ruangannya Pak Sony Ferdinan?" tanya Nindy dengan nada ramah. Wanita di depan Nindy itu hanya membalasnya dengan senyum. Lalu tanpa mengucap apapun lagi, ia segera mengetuk pintu itu kemudian membuka pintu di depan Nindy itu. "Mbak Nindy sudah ditunggu di dalam." Wanita itu tersenyum. Nindy yang bingung namun tetap mengikuti perintah wanita itu. Ia segera melangkah mendekati ruangan yang pintunya telah dibuka itu. Tepat setelah itu, pintu di belakang Nindy kembali ditutupnya. Dan Nindy segera melangkah memasuki ruangan itu. Saat ada di dalam ruang itu, Nindy melihat seorang lelaki selain Sony di sana. Yang akhirnya Nindy baru menyadari bahwa ruangan itu adalah milik lelaki yang sudah berumur itu, bukan milik Sony. "Oh ini yang namanya Nindy? Masuk!" Lelaki yang ditaksir berumur lebih dari enam puluh tahun itu, mempersilahkan Nindy masuk sembari tersenyum lebar. Melihat sambutan baik itu, Nindy ikut tersenyum lebar. Gadis itu akhirnya benar- benar mengikuti perintah si lelaki itu. Ia melangkahkan kakinya mendekati dua orang itu. Lalu menunduk menyapa lelaki tadi juga Sony. "Siapa nama kamu?" Lelaki tua itu masih tersenyum saat menanyakan pertanyaan itu. Nindy mengerjap. "Nindy Camelia." "Nama yang cantik." Lelaki itu lagi- lagi terkekeh menampilkan gurat kerut di wajahnya. "Nindy, perkenalkan ini Pak Andromeda, Owner perusahaan ini." Sony yang sejak tadi diam kini membuka suaranya. Nindy mengerjap kembali. Jadi benar yang ia duga tadi. Bahwa lelaki yang sudah berumur lanjut itu tidak memiliki jabatan biasa di perusahaan itu. Bahkan Owner perusahaan tempatnya bekerja nanti. Dengan segera Nindy membungkuk lagi dan kembali bersuara. "Maafkan saya." Andromeda terkekeh melihat tingkah Nindy. "Tidak masalah." Sony ikut terkekeh melihatnya. Lalu dengan segera ia mempersilakan Nindy untuk duduk di kursi di sebrangnya. "Mari duduk." Nindy tentu saja tak ingin berlama- lama berdiri di sana. Gadis itu segera duduk mengikuti perintah itu. Lagipula kakinya sudah pegal karena heels yang ia kenakan semenjak tadi. "Terima kasih," ujarnya cepat. Nindy mulai menelisik isi ruangan itu. Benar- benar terlihat seperti ruangan milik Pemilik Perusahaan. Interiornya sangat mewah namun terkesan elegan. Melihatnya saja membuat betah berlama- lama di sana. "Tunggu sebentar, ya, Nindy. Bos kamu akan segera ke sini." Andromeda berucap kalimat itu. "Jangan gugup dulu, Nindy," sambungnya disertai tawa saat menyadari kegugupan Nindy. Nindy mengangguk sembari tersenyum. Ia baru ingat kalau Alex tidak ada di ruangan itu. Kini gadis itu mendadak merasakan jantungnya berdegup sangat kencang. Entah mengapa. Namun ketika Nindy berusaha menetralkan degup jantungnya itu, pintu ruangan itu diketuk. Andromeda segera berseru menyuruh si pengetuk pintu itu masuk. Dan beberapa detik kemudian pintu itu terdorong dan terbuka. Nindy masih menunduk tak berani menatap siapa yang baru saja memasuki ruangan itu. Namun ia pun penasaran. "Ada apa memanggil saya?" Suara berat yang terdengar dingin itu bergema merasuki indera pendengaran Nindy. Andromeda yang tengah duduk itu mendongak dan menatap kedatangan sosok itu. Ia masih meredakan tawanya barusan. "Oh, kamu sudah datang?" Nindy masih tak berani melihat siapa orang yang baru saja masuk itu. Kemudian ia melihat Andromeda menghela napasnya dan kembali bersuara. "Sepertinya kamu tak ingin berlama- lama di ruangan ini, jadi saya akan cepat saja." Andromeda bangkit dari duduknya. Disusul oleh Sony. Dan mau tak mau, Nindy pun ikut berdiri. Namun sekali lagi ia masih belum berani menatap orang itu. Tiba- tiba menjadi hening. Sampai Andromeda kembali bersuara. "Bukankah kamu tidak memiliki Sekretaris semenjak kepergian Refan?" tanya Andromeda. Sosok itu menjawab. "Iya." Dari percakapan yang tengah berlangsung itu, Nindy dapat menyimpulkan bahwa sosok itu adalah Alex. Eh tunggu! Alex? Andromeda tersenyum lagi. "Ada seseorang yang cocok menjadi Sekretaris kamu." Ia berujar sekaligus menatap sosok yang dimaksudnya itu. Nindy. Ditatap oleh Owner perusahaan itu, Nindy mendongak dan tersenyum. Tepat setelah itu ia sadar bahwa kini saatnya ia menatap Alex. Dalam hati Nindy merapal doanya. Ia mulai memberanikan diri menatap Alex. Gadis itu akhirnya bertemu pandang dengan Alex. Mata Nindy tak berkedip sedikitpun saat bersitatap dengan manik mata coklat milik Alex itu. Ia benar- benar terpesona dengan wajah tampan Alex itu. "Anjir! Dia beneran manusia?" Nindy berseru dalam hati. "Bahkan kalau ada dua pilihan, seharusnya dia itu malaikat bukannya malah Iblis." Nindy tersenyum diam. Ia tak menyangka bahwa baru pertama kalinya melihat sosok yang memiliki wajah tampan seperti itu. Wajah berbentuk kotak dengan dagu yang tegas. Manik mata coklat terang yang menyilaukan, yang tampak dingin namun seksi itu. Hidung mancung yang mungkin jika disentuh akan membuat jari terluka. Dan ... bibirnya yang berwarna merah muda tak seperti para pecandu rokok itu. Sungguh wajah yang sangat indah. Ditambah rambut tebal hitam kecoklatannya. Alex masih terdiam. Sampai akhirnya mengucapkan sebuah kalimat yang mengejutkan semua orang di dalam ruang itu. Sembari mengangkat tangannya untuk menunjuk Nindy, pria itu berkata, "Saya tidak ingin Sekretaris seorang gadis muda seperti dia." JEDER Nindy baru saja mendengar ada bunyi sambaran kilat di telinganya berbarengan dengan suara Alex itu. °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN