Bab 10 Baskara Kembali

1035 Kata
Sudah beberapa hari Mika berlatih menunggangi kuda. Setiap hari kemahirannya bertambah hingga mampu menaiki River Wind pada hari kesepuluh. Hal tersebut membuat Luc dan ketiga pengurus kuda terkagum-kagum, jarang sekali ada pemula yang sanggup menunggangi River Wind. Mereka sepakat Mika memiliki bakat, atau setidaknya dia bisa dimengerti oleh kuda sehingga hewan-hewan itu menurut padanya. Sore itu ketika dia sedang menunggangi River Wind, dia dikejutkan dengan kehadiran Baskara di tepi lapangan. Pria tua itu berdiri di samping Luc, bertepuk tangan sambil tertawa gembira. Mika langsung menepi, dengan gerakan lincah, melompat turun dari punggung River Wind. "Kapan Om Baskara pulang?" sapanya tersenyum cerah. Selama di Jogja, Baskara sering menelepon Mika hingga mereka menjadi dekat dan Mika merasa nyaman memanggil Baskara dengan sebutan "om". "Baru saja. Hanya beberapa hari, ada yang perlu aku urus di sini," kekeh Baskara. "Benar juga kata Luc, kau berbakat dengan kuda. River Wind terlihat senang kau tunggangi," sambungnya mengelus moncong River Wind lembut. "Sayangnya Kalvin sama sekali tidak menyukai kuda.  Aku tahu dia ingin menjual kuda-kuda ini." Baskara tersenyum meremehkan. "Kalvin ingin menjual mereka?" tanya Mika cemas. Baskara tertawa keras. "Jangan khawatir, itu tidak akan terjadi selama aku masih hidup," katanya mengerti kekhawatiran Mika. "Sebelum aku mati, akan kupastikan kuda-kuda ini menjadi milikmu." "Jangan bicara seperti itu, Om. Aku yakin Om Baskara akan panjang umur." "Ya, ya, ya. Doa baik harus diaminkan," gumam Baskara menyerahkan tali kekang River Wind pada salah satu pengurus kudanya. Lalu Baskara, Mika, dan Luc berjalan bersisian meninggalkan istal. Di tengah jalan mereka berpapasan dengan Kalvin dan Freya. Kedua orang itu tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat Baskara. "Sayang, kau sudah pulang," sapa Freya dengan wajah pucat. Terlihat sekali kegembiraannya hanya pura-pura. "Ya, aku pulang. Apa kabarmu, Freya? Sepertinya kau menjaga putraku dengan sangat baik," seringai Baskara. "Eh, kami sedang membicarakan urusan bisnis." Freya salah tingkah. Baskara menyipitkan matanya. "Bisnis? Soal apa itu?" tanyanya ingin tahu. "Papa kapan pulang?" Kalvin memotong pembicaraan ayahnya dengan Freya. "Kenapa tidak memberi tahu aku?" ujarnya melirik Luc, dia tidak suka melihat ayahnya menemui pria itu lebih dulu daripada menemui dia, putra kandungnya sendiri. "Tunggu, Kalvin! Aku sedang bertanya pada Freya, bisnis apa yang sedang kalian bicarakan?" Freya dan Kalvin saling melirik, lalu Kalvin bersuara. "Perusahaan orangtua Freya mengajukan pinjaman 40 milyar pada perusahaan kita. Menurutku kita bisa meminjamkannya, Papa kan tahu perusahaan mereka salah satu perusahaan bonafid di Jakarta." "Tidak!" kata Baskara tegas. "Aku tidak akan menyetujui pengajuan hutang orangtuamu, Freya. Apalagi sebanyak itu." "Tapi aku sudah menandatanganinya, Pa," protes Kalvin. "Tidak akan sah tanpa tanda tanganku. Lagi pula kenapa kau bisa ceroboh seperti itu, Kalvin? Apa kau tidak tahu perusahaan keluarga mereka di ambang kebangkrutan. Mereka terjerat hutang karena terlalu konsumtif, memakai uang perusahaan untuk kepentingan pribadi." "Freya istri Papa, orangtuanya mertua Papa. Apa Papa tidak mau membantu mertua Papa sendiri?" "Itulah kenapa Papa belum berani menyerahkan perusahaan kita kepadamu, Kalvin. Kau terlalu ceroboh! Urusan bisnis jangan dicampuradukkan dengan urusan keluarga!" Wajah Kalvin merah padam, begitu juga dengan Freya yang dari tadi berdiri di samping pria itu. Sementara Mika dan Luc hanya bisa mengehela napas berat. Posisi mereka sama sekali tidak mengenakkan. Tetap berada di situ terasa tidak etis, tapi meninggalkan tempat itu juga tidak mungkin. "Bisa saja Papa meminjami orangtua Freya, tapi tidak memakai uang perusahaan, besarnya pun menyesuaikan budget kita. Paling banyak 1 milyar." "Satu milyar?" desis Freya tersinggung. Tapi dia tidak bisa berkata apa-apa. Tidak mungkin dia marah pada Baskara, atau protes dan merajuk agar keinginannya terwujud. Dia tidak bisa meperlakukan Baskara seperti dia memperlakukan Kalvin, mereka berdua sangat berbeda. "Bicarakan itu dengan orangtuamu, Freya," kata Baskara berlalu dari hadapan mereka, diikuti Mika dan Luc di belakangnya. Kalvin memandang kepergian ketiga orang itu dengan sorot mata tidak suka. Dulu ketika Luc baru bekerja di sini, dia merasa tersisihkan karena papanya lebih suka berbicara dengan Luc daripada dengannya. Sekarang dengan kehadiran Mika, dia merasa lebih tersisih lagi. Namun, terlepas dari itu, Kalvin sempat terpesona pada Mika ketika melihat gadis itu. Dengan celana berkuda dan sepatu bot setinggi lutut, rambut diikat ekor kuda, serta helm yang menutupi kepalanya, gadis itu terlihat begitu energik. Kecantikannya yang memesona terlihat natural. Salah satu hal yang tidak dimiliki Freya. ****** "Sialan! Si tua itu kembali!" Menyusul teriakan Freya, suara benda pecah terdengar menggema bersamaan dengan gelas anggur yang menyentuh dinding. "Kau bilang dia pergi sampai empat bulan," gumam Madam Cecilia datar. Dia sudah bosan menjadi pelampiasan amarah putri biologisnya. "Dia sendiri yang bilang begitu! Entah apa yang membuatnya berubah pikiran. s**t!!!" umpatnya kesal. "Padahal dengan usaha sedikit lagi, Kalvin bisa memberikan kami pinjaman. Sial, sekarang semuanya berantakan. Mama dan Papa pasti memarahiku habis-habisan!" "Mereka bukan orangtua kandungmu." "Mereka yang membesarkanku," sahut Freya sinis. "Well, aku pikir dengan kau menikahi si tua itu akan membuatmu menjadi wanita paling beruntung sedunia." "Kau menyindirku?" Freya melirik Madam Cecilia kesal. Madam Cecilia mengangkat kedua bahunya. "Aku hanya mengulang perkataanmu dulu." Freya menekuk wajahnya. Air mukanya masam. Dia memang sempat merasa menjadi wanita paling beruntung sedunia ketika akhirnya Baskara melamarnya. Dia mengira kecantikannya telah meluluhkan hati Baskara, dan dia akan dengan mudah mengendalikan si tua bangka itu. Kenyatannya sungguh berbanding terbalik dengan yang dibayangkan Freya. Jangankan bisa mengendalikan Baskara, dekat dengannya pun Freya tidak bisa. Dan bagian terburuknya adalah, Mika yang notabene berada di tempat itu karena Freya justru berhasil mendapatkan perhatian Baskara. Suara gelas dibanting kembali menggema di ruangan. "Lama-lama kau bisa menghabiskan gelas-gelas kristalku," sungut Madam Cecilia. "Ingatkan aku menyimpan semua benda pecah belah milikku jika besok-besok kau mau berkunjung ke sini." Madam Cecilia bangkit dari duduknya, meninggalkan Freya seorang diri. Keadaan ini begitu menyulitkan bagi Freya. Dia harus menyusun sebuah rencana. Rencana yang benar-benar brilian, karena Freya tidak hanya menginginkan Kalvin, tapi dia juga menginginkan keseluruhan harta Baskara jatuh ke pangkuannya. Hanya ada satu cara untuk mencapai keinginannnya. Menyingkirkan Baskara! Ya. Menyingkirkan Baskara. Senyum miring terulas di bibir wanita itu. Dia memang sudah berjanji pada Kalvin tidak akan menyakiti ayahnya. Tidak mengapa, Kalvin tidak perlu tahu. Dia juga tidak akan melakukannya sendiri. Ada orang yang akan bekerja untuknya, orang yang selama ini dia pelihara dengan baik. Freya meraih telepon genggamnya dari atas meja. Menekan sebuah nomor yang ia simpan dengan nama kontak 'panggilan darurat'. "Aku mau kau menyingkirkan Baskara Dhananjaya. Lakukan dengan hati-hati!" Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN