Bab 8 Pagi Bersama Luc

1942 Kata
Cermin di depan Mika memantulkan wajahnya yang basah. Dia baru saja mencuci muka, lalu saat mengelapnya dengan handuk, tanpa sengaja jarinya menyentuh bibir. Seketika dia terdiam, sebuah ingatan mendadak menyeruak ke dalam kepalanya, membuat jantungnya berdetak lebih kencang dan darahnya mengalir cepat. Dia berusaha keras melupakan ciuman selepas sumpah pernikahan, tapi sepertinya itu akan susah. Bagaimanapun itu adalah ciuman pertama baginya. Oya, usianya memang sudah dua puluh satu tahun, tapi dia terlalu sibuk memikirkan masa depan sehingga lupa untuk berkencan, jadi wajar saja kalau dia belum pernah berciuman. Mika tidak hanya ingin melupakan ciuman tersebut, dia juga ingin melupakan rasanya. Menyebalkan sekali karena dia terus mengingat rasa bibir Kalvin ketika menyentuh bibirnya, begitu lembut ... hangat, dan basah. Astaga! Sadar, Mika! Gadis itu mengumpat kesal. Dia mencuci lagi mukanya, menggosok-gosok bibirnya kuat dan mengelapnya dengan handuk. Lalu keluar dari toilet tanpa melihat cermin lagi. “Profesional, Mika. Jangan terbawa perasaan!” gumam Mika pada dirinya sendiri saat menuruni tangga. “Apanya yang profesional?” Hampir saja Mika terjungkal kesandung langkahnya sendiri. Dia tidak melihat Kalvin menaiki tangga, tahu-tahu pria itu sudah ada di depannya. Untung Kalvin cepat menangkapnya. “Kalau jalan hati-hati!” sentaknya, wajah pria itu sendiri sudah pucat pasi, padahal Mika yang mau jatuh dan bukan dia. Mika memperbaiki posisi berdirinya. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena dia hampir jatuh, tapi karena untuk sesaat tadi, tubuhnya didekap erat oleh Kalvin. Duh, ada apa denganku? Gadis itu membatin cemas. “Mukamu kenapa merah begitu? Kau sakit?” “Tidak, Pak.” “Tadi apa yang kau bilang?” “Saya bilang 'tidak, Pak'.” “Bukan. Sebelum itu. Profesional dan perasaan. Tentang apa itu?” “Eh, itu bukan apa-apa. Saya hanya berbicara sendiri.” “Aku tahu kau lagi berbicara sendiri. Tapi aku penasaran kau bicara tentang apa?” Mika terpaku memandangi Kalvin, bingung mau menjawab apa. “Apa yang kau lihat?” tanya Kalvin. Dia meraba-raba wajahnya mengira ada sesuatu di sana. Gadis itu langsung menunduk, lalu diam-diam menyelinap pergi ketika Kalvin masih sibuk dengan wajahnya. “Hey, Kau!” teriak Kalvin begitu menyadari Mika sudah berada di bawah tangga. Mika mengabaikan panggilan Kalvin, langsung berbelok dan lari menjauh dari tempat tersebut. Sementara itu Kalvin hanya menggeleng-gelengkan kepala seraya mengulum senyum melihat tingkah absurd Mika. Gadis itu sungguh menyegarkan, dan itu merupakan hal baru bagi Kalvin. Dia melanjutkan menaiki tangga menuju ruang kerja ayahnya. Baskara sudah berangkat ke Jogja semalam, dan dia harus mengambil beberapa berkas yang sudah ditandatangani pria tua itu untuk dibawa ke kantor. Sementara itu Mika yang baru lolos dari Kalvin melangkah menuju dapur. “Selamat pagi, Bu Ratih, Yu Tinah,” sapanya. “Eh, selamat pagi, Non Mika,” balas Bu Ratih. “Pagi, Non. Sudah sarapan?” Yu Tinah tersenyum lebar. “Belum lapar, Yu. Saya biasa sarapan menjelang siang.” “Kalau saya lain lagi, begitu bangun tidur harus langsung sarapan, kalau tidak pasti lemas,” seloroh Yu Tinah tertawa yang langsung diikuti tawa renyah Mika. Bu Ratih hanya tersenyum mennaggapi candaan rekan kerjanya. “Non Mika hari ini punya rencana apa nih?” tanyanya lembut. Gadis yang ditanya mengangkat kedua bahunya. “Saya belum ada rencana apa-apa. Bingung juga mau apa,” ujarnya meringis. “Non Mika pernah naik kuda?” Melihat Mika yang menggeleng, Bu Ratih melanjutkan, “Coba minta Luc menemani ke istal. Dia pasti mau mengajari Non Mika naik kuda,” usulnya. “Mm ... apa tidak apa-apa kalau dia mengajari saya? Dia kan harus bekerja,” gumam Mika ragu. “Tidak apa-apa,” senyum Bu Ratih. “Tadi Bu Ratih memanggil saya?” tiba-tiba suara bariton orang yang sedang dibicarakan muncul di belakang mereka. “Eh, panjang umur,” celetuk Bu Ratih tersenyum. “Iya, tadi saya mau minta tolong ke pasar, tapi biar nanti Tino saja,” ujarnya menyebut nama tukang kebun yang lebih muda dari Luc. “Sekarang lebih baik kau mengajak Non Mika ke istal. Dia merasa bosan, mungkin kau bisa mengajari dia naik kuda.” Luc melirik Mika yang meringis gugup. “Itu kalau kau tidak leberatan,” kata gadis itu. “Sama sekali tidak,” senyum Luc. “Ayo, ikuti saya,” ajaknya keluar dapur lebih dulu. Mika berpamitan pada Bu Ratih dan Yu Tinah, lalu mengikuti Luc. “Ada berapa kuda yang dimiliki keluarga Dhananjaya?” tanya Mika membuka percakapan. Bukannya menjawab Luc justru tersenyum simpul. “Aneh rasanya mendengar kau menyebut nama keluargamu seolah kau bukan bagian dari mereka. Kau lupa kalau sekarang namamu menjadi Mika Dhananjaya?” katanya. “Sebenarnya Mika Naraya Dhananjaya,” ralat gadis itu. Tapi lalu dia mengibaskan tangannya. “Masa bodoh, aku belum terbiasa dengan kondisi ini. Mungkin tidak ingin terbiasa, bisa saja suatu hari aku tidak memakai nama itu lagi di belakang namaku,” gumamnya panjang. “Kenapa bisa begitu? “Aku tidak tahu, namanya juga mungkin,” sahut Mika cepat, tidak ingin kecurigaan Luc bertambah. “Jadi ada berapa kuda yang dipelihara suamiku? Begitu seharusnya aku bertanya, bukan?” selorohnya tertawa. “Mereka punya tujuh kuda, salah satunya sedang hamil,” ujar Luc menjelaskan. “Lebih tepatnya kuda-kuda itu milik Pak Baskara. Mas Kalvin sama sekali tidak mau berurusan dengan kuda. Kata Pak Baskara itu karena dia pernah jatuh ketika belajar menaikinya waktu kecil,”   sambungnya tersenyum. Kini Mika terlihat cemas. “Apa aku akan baik-baik saja kalau menaiki mereka sekarang? Mungkin saja kuda itu akan menjatuhkanku juga.” “Kau aman bersamaku.” Luc menenangkan. “Kita sudah sampai,” ujarnya berjalan lebih cepat. Dia menghampiri salah satu kuda berwarna coklat tua. “Ini yang paling tenang, namanya Honey Bee. Kau bisa menaikinya.” “Nama yang cantik. Menarik juga karena kupikir Pak Baskara bukan tipe orang yang akan memberi nama kuda seperti itu. Boleh aku memegangnya?” Mika menoleh pada Luc. “Tentu saja boleh, sini, dia suka dielus bagian sininya,” kata Luc memberi contoh dengan mengelus bagian leher Honey Bee. Mika menyentuh bagian yang ditunjukkan Luc perlahan, lalu mulai mengelusnya lembut. “Memang bukan Pak Baskara yang memberi nama, tapi almarhum Bu Andini. Semua kuda ini dipelihara sejak kecil, sekarang mereka semua berumur antara dua belas sampai lima belas tahun,” terang Luc. “Lihat, Honey Bee menyukaimu. Berikan ini padanya,” ujarnya memberikan apel pada Mika. Mika menyodorkan apel tersebut ke mulut Honey Bee. “Aku jadi ingin tahu nama-nama kuda yang lain.” Luc tersenyum. “Yang warnanya mirip Honey Bee itu Sweet Sugar, jangan percaya namanya dia lumayan pemarah, dia yang sedang hamil. Yang putih itu Snowdrop, sebelahnya yang hitam pekat bernama Black Sweet. Lalu si kembar yang belang-belang putih coklat itu Cloudy dan River Wind. River Wind yang larinya paling cepat, secepat angin. Dan yang coklat muda namanya Blue Sky, diberi nama itu karena matanya berwarna biru cerah seperti langit, dia juga yang paling muda dari semua kuda.” Dia menjelaskan sambil menunjuk kuda-kuda yang berderet di kandang masing-masing. “Bu Andini pasti orangnya romantis,” kata Mika. “Mungkin, aku tidak sempat mengenal beliau.” “Ah ya, kau kan baru sepuluh bulan di sini. Tapi kau sudah mengenal kuda-kuda itu dengan baik. Seharusnya kamu menjadi pengurus kuda, bukan tukang kebun.” Luc terkekeh. “Pak Baskara mempunyai tiga pengurus kuda yang profesional. Tapi terkadang aku membantu mereka jika diperlukan.” “Di mana mereka sekarang? Aku tidak melihat ada seorang pun di sini.” “Oh, mereka baru akan mulai bekerja sekitar pukul tujuh. Ini baru pukul enam kurang. Hm, kau rajin juga sepagi ini sudah bangun.” “Aku terbiasa bangun pagi,” ucap Mika pendek. “Menurutmu para pengurus kuda itu akan marah kalau kita mengeluarkan Honey Bee sekarang?” “Tidak akan,” ujar Luc membuka pintu kandang. Dengan terampil dia memasang pelana pada punggung Honey Bee sebelum mengeluarkan kuda itu. Luc meraih dua topi koboy yang tercantel di pintu kandang. Dia mengenakan salah satunya sedangkan yang lainnya dia pakaikan pada Mika. Lalu dia menuntun Honey Bee menuju lapangan pacu. Mika secara diam-diam memperhatikan pria yang berjalan di depannya. Dengan sepatu bot, kemeja flanel kotak-kotak yang dimasukkan ke celana jin yang dilengkapi ikat pinggang, Luc terlihat seperti peternak kuda dari Texas. Apalagi dengan postur tubuhnya yang besar dan berotot, ditambah wajahnya yang tampan. Mika jadi bertanya-tanya di dalam hatinya. Luc terlihat seperti orang berpendidikan, kenapa dia jadi tukang kebun di sini? “Hey, Mika! Kau mau mencobanya sekarang?” Panggilan Luc membuyarkan lamunan Mika. Gadis itu mengangguk dan berlari menghampiri pemuda itu. “Lepaskan saja sandalmu,” perintah Luc. “Kau harus membeli sepatu bot khusus untuk berkuda jika ingin serius belajar naik kuda,” ujarnya seraya membantu Mika menaiki Honey Bee. “Kita lihat saja nanti.” “Pegang tali kekangnya kuat-kuat, tapi jangan menariknya terlalu keras. Kau harus meyakinkan Honey Bee kalau kau yang memimpin tanpa menyakiti dia.” “Aku mengerti.” “Ya, seperti itu, bagus.” Beberapa saat setelah berjalan-jalan memutari lapangan, Honey Bee mulai berlari pelan. Kuda itu sangat mengerti jika penunggangnya masih pemula. Mika tersenyum lebar, tubuhnya melonjak-lonjak lembut di atas punggung Honey Bee. Dia langsung menyukai kegiatan itu. Setelah beberapa kali putaran, Luc bersiul memanggil Honey Bee, kuda itu langsung memelankan larinya dan menepi, mendekati pemuda yang memanggilnya. “Bagus sekali, Honey Bee. Kau kuda yang pintar,” ujar Luc memegangi halter[1]. “Cukup untuk hari ini, besok kau boleh menungganginya lagi,” katanya membantu Mika turun. “Terima kasih, aku rasa aku menyukai kegiatan ini,” ucap Mika tersengal. “Aku senang mendengarnya.” Luc tersenyum. Bulatan matahari di ufuk timur sudah sempurna. Cahayanya yang melewati celah-celah awan menghasilkan sinar krepuskular[2], jatuh menimpa tubuh mungil Mika sehingga dia tampak bersinar, terlihat seperti peri dari negeri dongeng yang tersesat. Luc terpesona, melihat wajah gadis itu yang memerah terkena matahari, dengan butiran-butiran keringat yang tampak berkilau seperti kristal, sungguh memanjakan indra penglihatannya. “Kau tahu, Luc?” Luc mengerjap, imajinasinya seketika buyar. Mika menatapnya bertanya. “Eh, apa?” tanya Luc gugup, dia tidak mendengar pertanyaan Mika. “Di mana aku bisa membeli perlengkapan berkuda seperti yang kau bilang?” ulang Mika. “Oh, aku bisa mengantarmu kalau kau mau. Tidak jauh dari sini ada toko langganan Pak Bastian.” “Tentu saja aku mau!” seru Mika antusias. “Kau harus meminta izin Mas Kalvin.” “Kenapa?” “Karena dia suamimu,” jawab Luc datar. “Aku akan meminta izin padanya. Kapan kita pergi?” “Kapan pun suamimu mengizinkan.” Kedua alis Mika bertaut. “Kenapa kau jadi suka sekali menyebut Pak Kalvin suamiku?” tanyanya masam. “Karena dia memang suamimu.” Entah kenapa Luc tampak kesal. Hampir saja Mika berkata, 'dia hanya suami pura-pura', untung gadis itu langsung menyadarinya. Dia hanya menghela napas dan berkata, “Baik.” Mereka berdua kemudian mengembalikan Honey Bee ke kandang dalam keadaan saling diam. Sampai Mika berpamitan pada Luc. “Aku harus kembali sekarang. Terima kasih sudah mengajariku, Luc.” Luc mengangguk, senyum tipis terulas di bibirnya. Mika ikut tersenyum, lalu dengan gerakan canggung dan ragu, dia berbalik, menoleh sekali lagi pada Luc sebelum pergi menjauh. Pria yang ditinggal hanya bisa memandangi punggung gadis itu sambil menghela napas panjang. Pria itu mengkhawatirkan Mika. Dia takut apa yang akan terjadi di rumah ini beberapa bulan ke depan, akan menyakiti gadis itu. Luc tidak ingin menyakiti Mika, terutama setelah dia mengenalnya ... atau mulai tertarik padanya? Bersambung.... [1] Halter: Tali leher kuda. [2] Sinar krepuskuar: Fenomena alam ketika cahaya matahari terlihat beradiasi dari satu titik tertentu. Radiasi cahaya ini bisa terjadi karena cahaya Matahari masuk melewati celah-celah di antara awan atau objek lain dan biasanya terlihat menjelang Matahari terbit atau tenggelam. Fenomena ini juga dikenal dengan sebutan Sinar Matahari atau Sinar Tuhan (Sumber Wikipedia).
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN