Bab 5 Gadis Muda yang Malang

1605 Kata
"K-Kalvin?" Freya tergagap. "Sudah berapa lama kau di situ?" tanyanya gugup. Wajahnya sendiri lebih pucat dari wajah Kalvin. "Cukup untuk mengetahui kau merencanakan omong kosong ini!" ucapnya dingin dan langsung melangkah masuk. "Tidak ada surat perjanjian, surat kontrak, atau apa pun itu! Aku tidak mau ada bukti tertulis yang bisa digunakan untuk melawanku!" sambungnya menatap Danial tajam "Kau mengerti?" tekannya berpaling pada Freya. "Tapi, Kalvin, sudah seharusnya kesepakatan kita memiliki surat perjanjian. Aku tidak mau anak itu mengambil keuntungan dari kita, bisa saja dia kabur setelah kita membayarnya." "Aku tidak akan kabur," celetuk Mika, tapi langsung terdiam ketika Freya melotot ke arahnya. "Diam kau!" bentak wanita itu gusar. "Kau tidak mendengar apa yang kukatakan, Freya? Aku tidak mau ada bukti tertulis yang bisa digunakan untuk melawanku," tegas Kalvin. "Fakta kau memberi tahu hal ini pada Danial saja sudah membuat kita satu langkah mendekati masalah." "Dia pengacaraku." Freya membela diri dengan wajah yang merah padam. "Aku tidak memberi tahu pengacaraku," desis Kalvin tajam. Sekarang kau, Danial. Silakan pergi. Bawa dokumen-dokumen itu, kami tidak membutuhkannya." Tanpa bersuara Danial menuruti permintaan Kalvin. Dia mengambil dokumen dari atas meja dan membawanya pergi. Dalam hati sangat bersyukur karena tidak lagi harus terlibat dalam permainan kotor mereka. "Kau, kemasi barangmu!" perintah Kalvin pada Mika. "Memangnya mau ke mana?" "Papa ingin kau tinggal di rumah sampai kita menikah." "Kalvin!" seru Freya tidak suka. "Kau tidak harus menuruti permintaan ayahmu!" "Kau lupa dengan rencana kita, Freya? Bukankah jika aku menikahinya, dia juga akan tinggal di rumah?" "Ya. Tapi tidak sekarang." "Kenapa?" "Freya takut kau jatuh ke pelukan gadis itu, Kalvin," celetuk Madam Cecilia. Dari tadi dia hanya diam, menikmati keributan yang sedang terjadi. Dia senang melihat Freya kalang kabut seperti ayam betina yang mau bertelur. "Yang benar saja." Kalvin memutar bola mata. "Aku tidak mungkin tertarik pada gadis berdada rata," ucapnya datar membuat wajah Mika merah padam. Sebaliknya Freya justru terlihat senang. "Apa itu benar, Sayang? Kau tidak akan jatuh cinta padanya?" "Ada apa dengan kepalamu? Aku heran kau bisa berpikir seperti itu." Sikap Freya berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Senyum manis terulas di bibirnya. Dia menghampiri Kalvin dan mencium bibir pria itu. "Aku tahu kau akan setia padaku," bisiknya mesra. Melihat adegan di depannya perut Mika terasa bergolak. Dia merasa jijik dan marah. Kesetiaan seperti apa yang mereka bicarakan mengingat perselingkuhan yang telah mereka lakukan? "Ini belum seberapa, kau mungkin akan sering memergoki percintaan panas mereka jika sudah tinggal satu atap dengan mereka," bisik Madam Cecilia ke telinga Mika. Pipi Mika merona. Mendengar hal seperti itu diucapkan tanpa perasaan sungkan saja sudah membuatnya malu, apalagi jika melihatnya secara langsung. "Semoga kau kuat menjalaninya, Darling," sambung Madam Cecilia tersenyum geli. Mika mengerutkan kening melihat dua pasangan selingkuh masih saja berciuman di depannya. Ingin sekali dia menyiram mereka dengan air seperti yang biasa dilakukan ibunya di kampung jika melihat kucing kawin di depan rumah. "Kenapa kau tidak bersiap-siap saja daripada bengong di sini?" bisik Madam Cecilia lagi. "Bersiap-siap?" "Ya. Kemasi bajumu. Kalvin bilang dia akan membawamu ke rumah hari ini." "Ah, iya," gumam Mika. Kemudian dia menghampiri lemari dan mengemasi semua barang-barangnya ke dalam koper. ****** Seorang wanita paruh baya yang ramah mengantarkan Mika ke kamar yang sudah disiapkan untuk gadis itu. Kamar itu berada di lantai dua, dengan balkon yang menghadap ke belakang. Dari sana Mika bisa melihat pemandangan danau buatan dan hutan kecil yang menghubungkan danau dengan bangunan rumah. "Kalau butuh apa-apa, Non Mika bisa memanggil saya, saya akan langsung datang," kata wanita itu seraya menunjuk interkom yang tergeletak di samping meja. "Terima kasih, Bu," ucap Mika sopan. Wanita itu tersenyum dan mengangguk. "Saya tinggal dulu ya, Non." "E eh, sebentar. Kalau boleh tahu, nama Ibu siapa?" "Ratih, Non." "Baiklah. Sekali lagi terima kasih, Bu Ratih." Wanita berumur empat puluh sembilan tahun itu kembali mengangguk, lalu keluar kamar meninggalkan Mika sendiri. Pandangan Mika berkeliling ruangan, kamar ini sangat besar. Lebih besar dari rumah Mika di kampung. Tempat tidur ukuran super king terletak di tengah ruangan. TV OLED ukuran raksasa menempel pada dinding di depannya, di atas sebuah lemari pendek dari kayu dengan desain minimalis yang modern. Satu set sofa terletak di samping agak ke sudut tempat tidur, dekat dengan pintu menuju balkon. Sebuah meja dan kursi tulis berada di samping jendela persegi yang lebar. Mika menghampiri salah satu pintu dari dua pintu yang ada di dalam kamar, menemukan ruangan berisi lemari gantung yang menempel pada dinding. Dia membuka kopernya dan menata baju-bajunya di lemari. Gadis itu tersenyum kecut saat melihat semua pakaiannya hanya menempati satu bagian lemari, itu pun tidak penuh. Orang kaya memang aneh, membutuhkan banyak baju jika beberapa potong saja sudah cukup, batinnya miris. Selesai menata bajunya, Mika membuka pintu lain yang ternyata toilet dan kamar mandi. Mika sudah mandi di hotel sebelum ke sini, jadi dia keluar lagi dan menuju balkon. Saat itu rembang petang. Perubahan waktu dari terang ke gelap melukiskan warna-warni yang menakjubkan pada kaki langit, tempat bersemayamnya sang mentari. Semburat keemasan yang berbaur dengan jingga begitu memukau. Keindahan perpaduan warna antara ungu, biru, dan nila yang Berlatarbelakangkan siluet kegelapan memberi kesan syahdu, seperti rindu seorang perawan pada sang pujaan hati. Pandangan Mika tertuju pada sosok yang berdiri di dermaga danau. Cahaya mentari yang tersisa dan gelapnya keadaan sekitar membuat sosok tersebut tampak bercahaya. Kesendirian sosok itu terlihat menyedihkan sekaligus misterius. Mika tidak bisa melihat dengan jelas siapa orang itu, tapi anehnya dia merasakan sesuatu di dalam dadanya. Perasaan sesak yang tidak ia mengerti, seolah dia ikut merasakan kesedihan sosok tersebut. Dari tempatnya, Mika terus memandangi orang itu. Sampai gelap menelan semuanya dan tidak menyisakan apa-apa. Gadis itu menarik napas berat sebelum masuk ke kamar dan menutup pintu balkon dengan perasaan yang tidak menentu. ****** Mika sudah terbangun ketika jam di meja samping tempat tidurnya baru menunjukkan pukul 05.10 pagi. Dia langsung ke toilet untuk sikat gigi dan mencuci muka, lalu bergegas turun. Tempat ini mengingatkan Mika akan kampungnya, banyak pohon besar dengan suasana yang menyenangkan. Kalau dia tidak dibutuhkan di dapur, dia ingin berjalan-jalan sebentar sebelum matahari terbit sepenuhnya. Mika berjingkat mengintip dapur. Bu Ratih tampak sibuk bersama seorang wanita paruh baya lainnya. Gadis itu memberanikan diri menyapa mereka. "Selamat pagi." Bu Ratih menoleh dan tersenyum begitu melihat Mika. "Pagi sekali Non Mika bangun," katanya ramah. "Di sini udaranya segar, sayang kalau memghabiskan waktu dengan tidur," ujar Mika melangkah masuk. "Kalau kata Bu Freya malah udaranya enak buat tidur," kikik wanita yang bersama Bu Ratih. Bu Ratih hanya tersenyum bijak menanggapinya. "Oya, Non Mika, ini Yu Tinah. Saya dan Yu Tinah sudah bekerja di sini dari Pak Baskara dan almarhumah Bu Andini baru menikah." Mika menyalami Yu Tinah. Berbeda dengan Bu Ratih yang ramping, Yu Tinah bertubuh gempal. Wajahnya menyenangkan dengan senyum lebar yang selalu terpasang di wajahnya. "Mungkin saya bisa membantu kalian? Saya termasuk mahir kalau mengurus dapur," kata Mika menawarkan. "Tidak usah," sahut Bu Ratih dan Yu Tinah berbarengan. "Ini sudah pekerjaan kami, Non Mika jalan-jalan saja di halaman. Kalau pagi begini biasanya banyak burung yang baru keluar dari sarangnya," sambung Bu Ratih tersenyum. Mika mengangguk, kemudian berpamitan pada kedua wanita itu. Di luar, Mika menghirup udara sebanyak-banyaknya sambil merentangkan tangan. Segar sekali rasanya, semangat Mika jadi bertambah berlipat ganda. Langkahnya ringan saat menuju danau. Di tepi danau dia melihat ada sepasang kursi dan sebuah meja kecil yang terlihat kokoh. Model dan karat di penyangga besi meja serta kursinya menunjukkan benda itu sudah lama berada di sini. Mika berdiri di pinggir danau menikmati keheningan yang menenangkan. Seperti tenangnya air danau di depannya. Saat itulah tiba-tiba dia mendengar langkah kaki di belakangnya. Spontan Mika menoleh, langsung gugup begitu melihat pria berpakaian lusuh dan bercambang berdiri di belakangnya. Rambutnya yang agak gondrong berantakan, kakinya mengenakan sepatu bot dan tangan kanannya memegang garu. Mika sudah hampir melarikan diri ketika pria itu bersuara. "Maaf, mengejutkan Anda," katanya. "Saya Luc, salah satu tukang kebun di sini. Anda pasti calon istri Mas Kalvin yang diceritakan Pak Baskara." Suara baritonnya terdengar sopan dan ramah. Mika mengurungkan niatnya. Meski terlihat berantakan, mata pria yang berdiri di depannya menunjukkan kecerdasan si empunya. Tutur katanya juga sopan dan enak didengar. "Ya, saya Mika." "Senang bertemu Anda, Non Mika." "Panggil Mika saja." Luc tersenyum tipis. Bukannya mengiyakan, pria itu justru mendekati danau dan berdiri di samping Mika. "Anda akan betah tinggal di sini?" tanyanya. Mika tersenyum kecut. Betah? Dia tidak boleh merasa betah di sini karena ini bukanlah tempatnya. "Mungkin," jawab Mika asal. "Awal saya berada di sini, saya juga tidak yakin akan kerasan. Tapi setelah beberapa bulan, saya merasa tempat ini sangat menyenangkan. Tidak banyak orang yang memiliki kediaman seperti ini di kota." Mika menoleh ke arah Luc. "Sudah berapa lama kau bekerja di sini?" tanyanya. "Sepuluh bulan. Dua bulan sebelum Pak Bastian menikah dengan Bu Freya." "Apa yang kaupikirkan saat pertama mengenal Bu Freya?" tanya Mika lagi. Luc melirik Mika sambil tersenyum. "Cantik," jawabnya pendek. Mika mengarahkan bola matanya ke atas. "Berbahaya," ucap Luc lagi. "Berbahaya?" "Bu Freya itu seperti bunga beracun. Dia tahu sekali bagaimana memanfaatkan kecantikannya untuk menjerat mangsanya." "Begitu?" gumam Mika merenung. Sesaat mereka sama-sama terdiam. "Anda tidak bertanya apa yang saya pikirkan saat pertama melihat Anda?" Luc memecah keheningan. Pipi Mika merona. Dia menggeleng sambil berkata, "Itu tidak penting." Luc mengulum senyum. "Anda tidak keberatan kalau saya ingin mengatakannya pada Anda?" "Katakan saja," jawab Mika datar. "Gadis muda yang malang. Itu kesan pertama saya begitu melihat Anda." "Kenapa kau berpikir aku malang?" Luc tidak menjawab, dia hanya tersenyum sambil melirik Mika yang menatapnya. "Siapa yang malang?" tanya suara bariton lain dari belakang. Mika dan Luc serentak menoleh. Kalvin sedang berdiri dengan kedua tangan di dalam saku celana di belakang mereka. Menatap Luc dengan pandangan tidak suka. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN