GAK enak ya ternyata rasanya dicuekin. Syukur-syukur, Adit gak menghindar seperti yang ia lakukan pada Adit. Adit masih mau menatap-nya walau setelah itu buang muka. Bahkan kini Adit mau-mau saja mengantarnya ke bandara tanpa diminta. Kalau dipikir-pikir, alangkah jahatnya ia pada Adit dulu. Ketika lelaki itu datang dengan niat mem-perbaiki hubungan mereka, ia malah pergi. Bahkan ketika Adit ada di depan mata pun, ia buang muka. Paling jahatnya, menganggap seolah-olah Adit tak ada di dekatnya. Adit memang sempat membalasnya dengan perlakuan yang sama di tahun-tahun awal kuliah. Tapi kemudian lelaki itu jarang pulang ke Jakarta. Jadi jarang bertemu dengannya. Kini Adit telah kembali lagi dengan gelar masternya. Baru mulai bekerja sebulan terakhir. Tapi Fasha dapat merasakan perbedaan yang sangat jauh antara Adit yang dulu dengan Adit yang sekarang. Mungkin kedewasaan-nya. Namun yang tak pernah berubah menurut Fasha adalah sikap Adit yang paling tak bisa mengabaikannya. Lelaki itu masih setia menolongnya. Bahkan ini bisa dihitung ke tiga kalinya.
“Lo di Solo berapa lama, Dit?”
Adit mengendikan bahu. Ia fokus menyetir dengan perasaan kacau balau. Masih heran kenapa ia tak sebahagia saat pertama kali menolong Fasha di tengah-tengah kemacetan saat itu. Kenapa kini ia tak punya niatan sama sekali untuk membuka pembicaraan. Ia bahkan ogah-ogahan menolong Fasha hari ini. Hanya bermodalkan kasihan, khawatir juga kalau gadis ini ketinggalan pesawat. Tidak lebih dari itu. Tapi masa iya hanya sebatas itu perasaannya? Ia menggeleng. Ia juga tak mengerti dengan apa yang terjadi dengannya sekarang ini.
Fasha menghela nafas. Ia masih melirik Adit walau dengan takut-takut. Agak-agak putus asa karena Adit enggan meresponnya. Tapi mungkin karena Adit masih marah, pikirnya. Padahal ia sempat berpikir kalau Adit masih seperti yang dulu.
“Dit,” Fasha mencoba mengajaknya bicara. Sejujurnya ia sudah lelah dengan keterdiaman mereka selama hampir enam tahun ini. Masa Adit tak merasakan hal yang sama sih?
Adit cuma berdeham lantas melirik ponselnya yang kali ini bergetar. Kebetulan ia letakan di dekat tangan kirinya. Ia usap layarnya namun ternyata tak ada apa-apa. Hanya pemberitahuan tidak penting dari Line. Ia kira itu balasan dari Dina. Seharian ini ia agak sebal sama gadis yang satu itu karena begitu lama membalas WA darinya.
“Soal dulu,” Fasha meneguk ludah dalam-dalam. Tangannya sampai keringetan padahal belum ngomong apa-apa. “Gue minta maaf.”
Adit berdeham lagi. Lantas meluruskan tatapannya ke depan. Ia enggan bersuara sedikit pun. Apalagi kalau ingat-ingat dulu. Ia masih sakit hati sih. Tapi sekarang? Entah lah. Ia juga tak mengerti.
“Saat itu gue terlalu kaget, dengan perasaan lo. G-gue—”
“Udah lah, Sha. Gak usah bahas-bahas dulu di masa sekarang. Lo telat kalau ngomonginnya sekarang.”
“Tapi seenggaknya lo kasih gue kesempatan untuk ngomongin semua-nya, Dit.”
Adit berdecih. Ia jadi kesal kalau ingat masa lau begini. Marah sih udah lewat. Tapi kesalnya yang gak hilang-hilang bahkan hingga sekarang. Bukannya dendam sih, Adit cuma masih kesal aja. Kenapa gak ngomong dari dulu? Kenapa harus diomongin lagi sekarang? Ketika Adit sudah melupakan kejadian lalu itu. Ia sih tak masalah menerima Fasha. Tapi tidak dengan masa lalu yang dikaitkan. Artinya, ia menerima Fasha dengan lembaran baru. Biar lah lembaran dulu dilupakan. Begitu.
“Gue gak pernah minta lo jelasin hal itu sekarang, Sha. Maunya gue, elu yang dengerin omongan gue dulu. Tapi lo gak mau dengar. Lo malah menghindar. Lo gak menganggap gue sama sekali seolah-olah gue gak ada di mata lo!”
Fasha menunduk. Matanya sudah berkaca-kaca. Sementara Adit mencengkeram kuat-kuat setir sebelum ia berubah pikiran untuk meng-hentikan mobil.
“Maaf.”
Nah, hanya itu yang ingin didengar Adit. Dari sejak dulu, hanya itu. Tapi Fasha terlalu gengsi mengatakannya sejak dulu. “Jangan pernah bahas-bahas dulu lagi sama gue,” tutur Adit dengan nada setengah mengancam. Fasha mengangguk kuat-kuat. Gadis itu memalingkan muka lantas menghapus air matanya yang jatuh secara diam-diam. Adit tak perlu tahu kalau ia bisa menangis juga. Sekuat apapun ia terlihat, nyata-nya ia tetap rapuh di dalam.
“Tapi gue bener-bener minta maaf, Dit.”
Adit hanya mengangguk. Lalu hening di sepanjang perjalanan. Ternyata mengucapkan kata maaf setelah enam tahun itu mudah. Memaafkan bagi Adit pun mudah. Kalau dipikir, kenapa tak dari dulu?
Tiba di bandara, Adit membuka pintu mobil lantas mengeluarkan koper Fasha. Gadis itu hanya menunggu sampai Adit muncul dengan kopernya. Tak lupa senyuman tipis, senyuman yang dulu tak pernah ia berikan pada Adit. Ah ia rindu masa-masa dulu bersama Adit.
“Makasih, Dit.”
“Heum,” Adit mengangguk lantas balik badan, langsung masuk ke dalam mobil.
Fasha menarik nafas dalam. Adit masih dingin, pikirnya. Tapi setidaknya ia sudah mengucap maaf. Ia sudah menebang jarak yang pernah memisahkan mereka. Ia harap, setelah ini mereka bisa kembali seperti dulu. Berteman.
♡♡♡
“Yaaah elu, kaak! Jangan cepet-cepet bener dong jadi orang!” ucap Rain yang membuat Farras cekikikan.
Hari ini mereka kembali berkumpul. Rencananya mau belanja lagi. Mau beli tas untuk backpacker-an. Mau beli sepatu kets juga. Jadi rencana-nya, senin nanti mereka mau jalan dengan kereta menuju Malang. Lalu lanjut ke Yogyakarta hari rabunya. Jumatnya baru ke Solo. Lalu bersama Adit, pulang ke Jakarta.
“Emang setan lu yaak! Gue mau bener lu malah larang-larang!” seru Dina.
Rasanya Farras mau kabur aja gegara dua orang ini ngomongnya kayak di hutan, teriak-teriak. Beberapa pengunjung mall sampai menoleh ke arah keduanya. Bikin malu si Farras. Hahaha.
“Abisnya. Tinggal gue doang yang ribet kalau mau bepergian begini. Mana mau backpacker-an. Bawaan gue kagak bisa sedikit! Lah elu enak! Gak perlu urusin rambut, tinggal pakek kerudung!” cerocosnya.
Dina memonyongkan bibirnya. “Yee kalo gak mau ribet ya pakek kerudung! Apa susahnya?!”
Mata Rain berbinar-binar. Ia nyaris tersandung ketika eskalator menghantarnya di lantai atas. Farras geleng-geleng kepala lantas menarik tangannya agar gadis itu cepat jalannya. Mereka sudah kelaparan gegara keliling hampir tiga jam. Ujung-ujungnya beli ransel dan sepatu di tempat pertama mereka tuju ketika tiba di mall. Cewek emang suka begitu ya. Ujung-ujungnya di tempat pertama ia datangi padahal sudah muter-muter ke sana ke mari.
“Iya! Ya! Kenapa gue kagak kepikiran!” seru Rain. Farras masih cekikikan sementara Dina mendelik heran. Gak sadar atas apa yang baru diucapkannya.
“Makan dimana nih kita? Lu yang bayar kan Rain?”
“Buseet!”
Farras terkikik lagi. Ia sudah menyeret dua orang itu untuk masuk ke restoran sushi saja. Biar gak kelamaan mikir karena ujung-ujungnya tetap sushi juga yang bakalan dipilih.
“Lu kali, kak! Lu kan udah kerja!”
“Gue kan udah dipecat! Lu tahu, kan?”
Nada bicara Dina jadi sensi. Farras masih tak henti-hentinya cekikikan. Ya, begini lah kalau jalan bertiga, pasti berisik dan bikin gak berhenti tertawa.
“Yaaah, gak asik!” dumel Rain.
Dina sudah duduk seraya membuka-buka menu makanan. Farras duduk di sebelahnya. Sementara Rain duduk di seberang mereka. “Lagian, lu bilang, si Fasha ngasih lu duit.”
Rain memonyongkan bibirnya. Ia mengangkat belanjaannya yang cukup banyak. Ada ransel, dua kotak sepatu, tiga buah baju, dan satu celana jeans. “Nih! Nih! Nih!” unjuknya yang mengatakan kalau uangnya sudah ia gunakan untuk membeli itu semua. “Lagian, kak Fasha itu cuma ngasih duit pas lebaran gini doang kali, kak.”
“Masaaa? Si Fasha kagak pelit kali!”
“Ye emang kagak pelit,” suara Rain mencicit lantas mengambil menu makanan yang disodorkan Farras. “Tapi gue segan kali, minta duit ke dia.”
Dina geleng-geleng kepala. “Lu adiknya bukan sih?”
Rain mendengus. Ia emang gak dekat sama kakaknya sih. Dulu aja waktu masih kecil, ia suka diomelin Fasha kalau mau ikut main bareng. Kadang-kadang doang akurnya.
“Kayak Farras dong, apa-apa minta ke abangnya.”
Gantian bibir Farras yang monyong. “Itu sih dulu, kak. Sekarang kan mintanya ke Ando. Malu lah Ras kalau minta ke abang.”
Dina mengangguk-angguk. Iya juga sih. Padahal Farrel dan Fasha itu sebelas dua belas. Farras dan Rain pun dua belas tiga belas. Hahaha. Tapi Farrel lebih mudah didekati dibanding Fasha.
“Ye kan, gue cuma ngasih contoh,” tutur Dina. “Gue aja suka malakin Ardan. Tiap hari malah,” tambahnya dengan santai. Farras terkekeh. Kakak sepupunya yang satu ini kan emang sableng dan gak mau rugi.
“Yee, beda lah. Bang Ardan sih asyik orangnya,” tutur Rain. “Lagian, tengil-tengil begitu, bang Ardan sayang kali sama lo, kak. Buktinya kalau lo minta jemput, dia pasti jemput lo. Mau ada meeting kek apa kek. Ditinggal semua demi lo.”
Dina tampak berpikir. Iya ya? Kok ia baru sadar ya? Hahaha. Mungkin karena Ardan rada tengsin jadi nunjukinnya beda ya. Soalnya kan, tiap dijemput sama Ardan, tuh cowok pasti ngomel-ngomel. Tapi ia emang gak pernah ditinggal sih. Saudara kembarnya yang sableng itu selalu setia menemani.
“Lah? Kalau gue? Disuruh pulang sendiri. Ngomelnya pasti gini, 'lu punya kaki kan? Duit ada kan?' Selesai!”
Dina dan Farras kompak cekikikan. Bukan sekali dua kali sih, mendengar curhatan Rain tentang kakaknya. Apalagi kalau Rain diomeli ibunya gegara Fasha! Bah! Makin panjang tuh curhatan Rain. Bocah itu merasa dinomorduakan oleh ibunya.
“Tapi kalau inget omelan emak lu, ada benarnya juga sih. Lu kan orangnya pecicilan, bawel, harusnya elu yang deketin kakak lu terus ajak ngobrol,” nasehat Dina yang dibalas dengan dengusan oleh Rain.
“Lu gak tahu sih, kak. Kalau gue tanya-tanya, kak Fasha cuma jawab 'hem' atau 'ya' atau 'enggak'. Udeh! Mending juga ngomong sama tembok! Gak ada bedanya!”
Farras dan Dina cekikikan lagi. “Tapi kak Fasha pasti sayang sama lu, Rain,” tutur Farras. Gak mungkin seorang kakak gak sayang sama adik-nya. Namun gak ditunjukin aja. Apalagi dengan sikap Fasha yang seperti itu. Mendengar itu, Rain hanya menghela nafas. Ya sih. Farras benar, batinnya.
♡♡♡
“Tumben lu nelpon gue,” tutur Ardan. Sementara Adit berdecak di seberang sana.
“Dina ada di rumah?”
Kening Ardan mengerut. Ia saja baru sampai di rumah. Belum juga menginjakan kaki di teras rumah. Mana ia tahu, Dina ada di rumah atau enggak. “Bentar, gue baru juga sampe rumah, bodol!”
Adit terkekeh mendengar makian itu. Sementara Ardan membuka pintu. Baru juga melangkah udah diteriaki emaknya gegara masuk rumah kagak buka sepatu. Ia mendengus, mengabaikan tawa Adit di seberang sana. Kemudian membuka sepatunya sebelum emaknya mengeluarkan s*****a ampuhnya, sapu lidi. “Din! Dina!” teriaknya.
Emaknya yang sedang memberesi dapur, menoleh ke arahnya. “Dina belum pulang, Dan.”
Suara Aisha terdengar sampai telinga Adit. Lelaki itu menghela nafas. “Kemana lagi dia, Ma? Kemarin keluar juga. Dua hari yang lalu, keluar juga,” komen Ardan. Aisha mengendikan bahu. Ia juga tak tahu kemana anak gadisnya itu menghilang. Emang jarang pamit kan? Kalau emak-bapaknya kagak di rumah.
“Biarin aja lah,” tutur Aisha. Ia juga malas melihat anak gadisnya itu tidur mulu di rumah. Hahaha.
“Kagak ada, Dit. Kagak tahu dimana. Lu hubungi hapenya aja lah,” tutur Ardan sambil naik tangga. Suaranya sampai ke telinga Aisha yang mulai kepo.
“Ye! Kalau bisa dihubungi sih, gue kagak hubungi elu!” dumel Adit.
“Emangnya, ada apaan sih?”
Ardan heran. Tumben-tumbennya si Adit nyariin Dina. Ditanya begitu, Adit mendadak salah tingkah. Iya yak? Ia kenapa sih? Ribet banget gegara si Dina kagak balas WA-nya. Ribet banget gegara hapenya Dina kagak aktif.
“Tauk ah! Elu sih!”
Ia malah nyalahin Ardan. Lantas pamit usai mengucap salam. Ardan terbengong-bengong. Ini orang kenapa sih? dumelnya. Abis makan apa? Kenapa ujung-ujungnya ia lagi yang salah?
Yeah, begitu lah, Dan. Jomblo emang selalu salah. Hahaha.
♡♡♡
“Lu abis dari mana aja sih?”
Dina baru saja sampai di rumah, Ardan nongol dan tiba-tiba nanya begitu. Kening Dina sampai mengerut. Biasanya, cuek-cuek aja ia mau pulang jam berapa, abis main dari mana dan sebagainya. Lah ini?
“Tumben lu nanya-nanya,” celoteh Dina sambil menenteng sepatunya lalu ia taruh di rak sepatu. Papa dan Mamanya kompak menoleh, melihat belanjaan anak gadisnya yang pagi-pagi tadi udah morotin Papanya juga Ardan. Ia gak berani morotin emaknya. Hahaha.
Ia merebahkan tubuhnya di atas sofa, mengabaikan tatapan emaknya yang mulai kepo.
“Abis dari mana lu?”
“Noh,” unjuknya ke arah belanjaannya. “Bisa baca kan?” ia sensi. Ardan berdecak lantas duduk di sebelahnya. Melihat-lihat isi belanjaan-nya.
“Habis berapa, Din?”
Dina memonyongkan bibirnya. “Ini sih gak seberapa dibanding Rain, Ma.”
“Ya kan, Mama tanya, habis berapa?”
Wira terkekeh. Mau ngeles seperti apa pun, kalau sama istrinya, gak bakal bisa lolos.
“Cuma sejuta.”
“CUMA?”
Mata Aisha langsung melotot lantas geleng-geleng kepala. “Ya ampun, Ma. Namanya juga beli ransel!” tuturnya lantas mengeluarkan ransel yang ia beli. “Yang ini harganya aja lima raturan. Ini yang 50 L loh, Ma. Biasanya sejutaan. Ini Dina nyari yang murah. Kalau gak percaya, tanya noh si Ardan.”
Wira menepuk-nepuk bahu istrinya. Ia juga tahu kalau harga barang-barang itu gak ada yang murah. Makanya tadi pagi, ia mau kasih uang dua juta tapi dihadang sama Aisha. Akhirnya cuma diberikan delapan ratus ribu. Karena perkiraan Dina, uangnya kagak cukup, itu anak langsung ngambil uang tiga ratus ribu di dompet Ardan. Baru bilang pada Ardan pas cowok itu mau berangkat ke kantor. Hahaha. Itu sih bukan minta tapi nyuri!
“Itu apa?” tanya Aisha dengan mata memincing.
Dina mengeluarkan isi plastik berikutnya. “Nih, sepatu. Kan Dina udah lama gak beli kets, Ma.” Ia mengeluarkan lagi, isi plastik terakhirnya. “Ini jaket. Kan Malang dingin.”
“Emang Mama udah ngasih izin, kamu mau jalan-jalan?”
Dina langsung mengerucutkan bibir lantas menatap Papanya dengan muka sendu. “Paaaaaaa.”
“Biarin aja lah,” tutur Wir. Kadang-kadang ia kasihan sama anaknya yang satu ini, mau jalan-jalan aja susah.
Aisha malah mendengus. Ia sudah kalah kalau begini. “Tapi hapenya harus aktif terus ya. Kalau enggak, Mama suruh orang untuk jemput kamu pulang!”
Dina mengerucutkan bibirnya lantas mengangguk patuh. Dari pada membantah, acara backpacker-annya bisa gagal total. Apalagi Rain juga ikut. Walau seharian kemarin, mereka sampai mengiba di kantor omnya—Fadli. Hahaha. Ceritanya panjang kalau yang itu. Kalau Farras sih gampang. Wong Ando lagi di luar negeri begitu. Jadi iyain aja dari pada Farras ribet menghubunginya terus. Hahaha.
“Sama siapa berangkatnya?”
Rupanya, Ardan mengikuti langkahnya sampai kamar. Saudara kembarnya itu masih menatapnya, menunggu jawaban darinya. “Rain sama Farras,” jawabnya ogah-ogahan.
“Ke mana aja?”
“Malang-Yogya-Solo.”
“Ngapain ke Solo lagi?”
Dina mengendikan bahu. “Tahu tuh si Adit nyuruh nyamperin.”
Ooooh. Ardan mulai mencium bau sesuatu. Ia sih menganggukan kepala tapi tatapannya penuh curiga. Sayangnya, yang ditatap malah tak berprasangka apa-apa. Hahaha.
“Hape lo mati?”
Dina mengangguk. Dagunya menunjuk tasnya dimana hapenya berada. “Tahu sendiri, gue kagak punya power bank,” tuturnya lantas masuk ke kamar mandi. Ardan bersiul-siul lantas mengambil ponsel Dina. Ia mengambil charger-an ponselnya Dina lalu memasangnya. Tak lama, ia nyala kan ponsel gadis itu. Baru juga dinyalakan, muncul WA. Salah satu-nya dari Adit. Iseng, ia baca saja isi WA-nya. Lagi pula, kakak sablengnya ini kan kagak pernah memasang password di ponselnya.
Usai membaca isi WA itu, Ardan bisa menarik satu hal kalau ada sesuatu di antara keduanya. Baru kali ini Ardan penasaran soal asmara Dina usai putus sama Pras. Dulu aja, waktu Pras deketin Dina, ia gak pernah kepo. Iya lah! Wong Pras cerita apa aja sama dia. Kalau Adit? Ohoo....begitu-begitu, Adit susah ditebak. Tapi omong-omong, sejak kapan mereka dekat?
♡♡♡