BAB 12 (Bismillahirrahmanirrahim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad)

1931 Kata
Hana pun tak kuasa menolak perintah Bu Malik agar pulang diantar Adam. Setelah berfoto bersama tadi, tiba-tiba Adam diminta atau lebih tepatnya dipaksa oleh Bu Malik untuk mengantar Hana pulang. Padahal saat ini Adam masih menemani Diva yang baru datang. Hana merasa jadi tidak enak dengan Adam dan Diva.Tapi, ia dan Adam tidak kuasa menolak perintah Bu Malik. Hana mau saja diantar Adam, tapi Hana minta agar Rama ikut menemani agar ia tak hanya berdua dengan Adam. Untungnya Hawa mengizinkan Rama untuk ikut mengantar Hana pulang. Saat ini mereka bertiga berada dalam mobil Adam menuju rumah Hana. Suasana di dalam mobil terasa sangat canggung. “Makasih ya Han, udah datang ke acara pengajian tadi,” ucap Adam memecah keheningan di mobil. “Iya sama-sama. Gue juga memenuhi undangan nyokap lo. Sesama muslim kan harus memenuhi undangan dari sudaranya,” jelas Hana sambil tersenyum tulus. “Oh ya, gue minta maaf ya, gara-gara nganterin gue pulang, waktu lo sama Diva jadi keganggu,” ucap Hana tidak enak. “Selow aja lah, gak usah dipikirin,” jawab Adam santai. Adam pun menginjak remnya karena melihat lampu lalu lintas yang berwarna merah. Adam pun hanya tersenyum tipis menanggapi jawaban Hana. “Oh iya, gue lupa. Belum ngucapin selamet buat kelulusan lo, Dam. Selamet ya, semoga makin sukses setelah lulus S-2,” ucap Hana tulus sambil tersenyum ke arah Adam. “Hah? Oh iya, makasih Han ucapannya.” “Iya, lo beruntung bisa lulus S-2, berarti tanggung jawab lo semakin besar. Karena ilmu yang lo dapet saat kuliah S-2 akan dimintapertanggungjawabannya nanti di akhirat, digunakan untuk apa aja ilmu itu selama lu di dunia Dam. Semoga ilmu yang lo dapet bisa bermanfaat untuk kebaikan dan kesejahteraan umat ya, Dam.” Entah kenapa, tiba-tiba saja hati Adam menghangat dan merasa senang dengan ucapan selamat dari Hana. Padahal saat wisuda tadi banyak perempuan yang mengucapkan selamat padanya tapi perasaannya biasa saja. Adam pun jadi tersenyum sendiri memikirkan perasaan hatinya. “Iya Han. Makasih ya udah ngingetin. Mudah-mudahan doa lo terkabul.” “Aamiin. Sesama muslim kan wajib saling mendoakan kebaikan.” Kemudian suasana pun kembali hening. Rama yang Hana harap bisa diajaknya bermain dan bercanda selama perjalanan malah asyik tertidur di jok belakang. Hana mengalihkan pandangannya ke jalanan, sedangkan Adam kembali menginjak gas ketika lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau. “Hmmm….Han, lu mau kerja sama ga sama gue?” tanya Adam tiba-tiba. Hana yang sedang menatap ke arah luar jendela mobil langsung menolehkan kepalanya ke arah Adam. Hana menatap Adam dengan bingung. “Kerja sama apaan?” “Gini, gue sekarang punya dua café, satu khusus kopi, satunya lagi khusus s**u. Nah yang baru ini, yang café khusus s**u namanya Milk’s Heaven. Mungkin kita bisa kerja sama dalam hal penyediaan snack-snack kecil yang cocok untuk usia remaja dan mahasiswa, Han. Kan bisnis lo di bidang kuliner ya. Siapa tau lu ada ide bikin makanan yang cocok buat café gue.” “Kok tiba-tiba lo nawarin kerja sama ke gue?” “Ya gak apa-apa, kan? Lo punya usaha, gue juga punya usaha. Gue pikir kenapa kita gak kerja sama aja buat ngembangin usaha kita. Kerja sama yang akan saling menguntungkan. Gimana? Lo mau gak?” “Hmm ... gimana ya?” “Kalo lo masih ragu atau bingung, besok atau kapan lo ada waktu kosong kita janjian di cafe gue ya. Biar lo bisa lihat, lebih yakin, sekalian kita ngobrol lebih lanjut,” jelas Adam. “Oke,” jawab Hana sambil menganggukkan kepalanya. Tawaran yang menggiurkan, batin Hana. Ini peluang yang bagus untuk perkembangan bisnis Hana. Namun, Hana tidak bisa begiitu saja mengiyakan ajakan Adam. Hana butuh waktu untuk berpikir, apalagi ini menyangkut keberlangsungan usahanya di masa depan. Mereka berdua pun janjian untuk bertemu lagi dalam rangka kerja sama bisnis. === Hari ini, Adam sudah membuat janji dengan Hana di Milk’s Heaven. Mereka akan membahas kerjasama yang akaan mereka lakukan. Mereka sepakat bertemu pukul 11.00.  Saat ini, Adam datang lebih pagi ke cafenya. Ia juga turut membantu para pegawainya menata dan membersihkan café sebelum buka. Adam membantu merapikan meja, kursi dan beberapa pajangan yang tergantung di dinding café. Setelah itu, ia mengelapnya agar bersih dan tidak berdebu. Meskipun Adam adalah pemilik café, namun ia tetap membaur dengan pegawainya. Adam diajarkan oleh kedua orang tuanya dengan sangat baik sehingga ia tidak berlaku sombong dan semena-mena terhadap pegawai. Karena bisnis tanpa pegawai juga tidak akan bisa berjalan.Para pegawainya sangat senang memiliki bos seperti Adam, karena ia memperlakukan mereka sebagai rekan kerja sekaligus sahabat. Tak terasa Hana pun tiba di café Adam. Hana kagum melihat arsitektur bangunan cafe milik Adam. Begitu turun dari ojek online, ia langsung masuk ke dalam cafe dan memutuskan  duduk di salah satu kursi dekat jendela agar bisa melihat pemandangan luar. Tak lama, Adam pun menghampiri Hana yang sedang duduk. “Jangan ngelamun aja,  Han,” ucap Adam menyapa Hana. “Eh, nggak kok. Siapa yang ngelamun. Orang lagi liatin jalan,” elak Hana. Adam hanya bisa tersenyum melihat tingkah Hana. “Oke, lo mau minum apa?” “Ini lo yang traktir kan, Dam?” ledek Hana. “Iya, iya. Tenang aja gue yang traktir, pesen aja yang lo mau.” “Coba gue minta buku menunya,” pinta Hana pada Adam. Adam melangkah ke sebuah meja lalu memberikan buku menu cafenya pada Hana. Hana mengamati daftar menu dengan teliti sebelum memutuskan pesanannya. “Gue pesen matcha milkshake aja, Dam.” “Makanannya?” “Gak usah. Gue masih kenyang. Baru aja makan sebelum kesini.” “Jangan gitu lah, gue traktir ini. Kue kecil aja gimana? Sekalian lo nilai snack di cafe gue ini gimana rasanya.” “Hmm ... oke boleh juga.” Adam segera memanggil salah satu pegawainya agar membuatkan pesanan mereka. “Mau ngobrol di ruangan gue aja, Han? Di lantai dua?” Hana pun berpikir. Kalo mereka ngobrol di ruangan Adam berarti hanya mereka berdua. Oh No! tidak boleh. Berduaan dengan bukan mahram, khawatir akan menimbulkan fitnah meskipun mereka hanya menjalin hubungan sebatas teman atau rekan kerja. Hana pun memilih untuk membahas kerjasama mereka di meja pengunjung saja. “Gak deh Dam, disini aja lebih enak kayaknya. Sambil nikmatin suasana café juga.” “Oh oke.” Adam pun hanya bisa tersenyum. Bener-bener unik nih perempuan satu. Adam kagum terhadap Hana karena dia begitu teguh memegang prinsipnya, menjaga harga diri dan kehormatannya sebagai wanita. Suara pegawai yang membawa pesanan mereka memecah lamunan Adam. Dua piring cheese cake dan dua gelas  matcha milkshake pun terhidang di meja. “Eh, kalo boleh tahu bangunan ini lo sewa atau beli?” tanya Hana sambil mengaduk-aduk milkshakenya. “Ini punya bokap gue. Awalnya bekas usaha restoran, tapi gak terlalu ramai. Jadi sempat gak keurus beberapa lama, ya udah daripada rusak gak ada yang nempatin, gue pakai aja buat cafe.” “Oh gitu, kenapa gak dikontrakin aja pas restorannya tutup?” Adam hanya mengedikkan bahunya. “Nggak tahu juga tuh bokap gue. Gue juga sempet berpikiran sama kayak lo, Hana.” “Berarti lo enak ya, gak usah keluar biaya buat kontrak atau sewa tempat,” ucap Hana sambil memotong chesse cakenya dengan sendok kecil. “Nggak juga, Han. Gue maunya gak bergantung sama ortu. Gue rencananya beli ini bangunan, gue bakal cicil, tapi nanti kalau keuangan cafe udah bagus. Kalau sekarang kan usaha gue ini masih baru, jadi masih banyak biaya untuk promosi.” “Iya kalau nyicil ke bokap sendiri tetep lebih enak dan santai lah, gak kayak nyicil ke orang lain, kan?” “Iya sih, lo bener.” Hingga tak terasa, beberapa meja di sekitar Adam pun terisi oleh beberapa pengunjung yang kira-kira mahasiswa dan mahasiswi kuliah. Jarum jam pun menunjukkan waktunya shalat dzuhur. “Alhamdulillah udah adzan. Kita pending sholat aja dulu ya Dam, nanti terusin lagi abis sholat.”ucap Hana. “Oke.” Adam pun menunjukkan mushola yang bisa dipakai Hana untuk sholat. Sambil menuju mushala kecil yang ada di lantai dua. Hana melihat-lihat dekorasi café Adam dengan kagum sambil sesekali tersenyum dan menyapa jika berpapasan dengan pegawai Adam. Hana pun segera mengambil wudhu dan melaksanakan shalat. Selesai shalat, tidak ada tanda-tanda Adam dan para pegawai lain untuk sholat dzuhur. Hana pun kembali ke meja mereka tadi. “Lo udah sholat belom, Dam?” “Eh, iya belum Han. Tadi bantu-bantu di dapur bentar soalnya ada pegawai yang izin sakit, gak masuk.” Adam pun segera melaksanakan shalat dzuhur dan kembali ke mejanya dan Hana. “Hmmmm, Dam. Gue boleh ngasih saran gak?” “Boleh lah Han, saran apaan?” ucap Adam sambil meminum matchanya. “Terlepas dari rencana kita buat ngembangin café ini jadi lebih maju, ada yang lebih penting Dam.” “Apaan, Han?” “Kadang kita suka mikir kalo kita punya usaha atau bisnis sendiri, kita lah yang jadi bosnya. Padahal sebenarnya ngga loh Dam. Kalo kita punya usaha berarti bos kita itu ya langsung Allah. Ya jadi pegawai juga sama sih. Apapun pekerjaan kita sebenarnya, sebenarnya kita lagi jadi pegawainya Allah. Lo seneng ga kalo pegawai lo, ketika lo panggil langsung dateng? Trus lo seneng ga kalo punya pegawai yang nurut sama apa yang lo perintahin?” “Iya lah, gue pasti seneng banget punya pegawai yang kaya gitu.” “Nah sama aja kaya Allah. Allah juga pasti seneng banget kalo kita nurutin apa mauNya. Sorry ya Dam, bukan maksud gue menggurui atau apa. Sebagai sesama muslim dan rekan kerja gue Cuma mengingatkan. Soalnya tadi pas adzan sholat, ya lo sama pegawai lo aja gak langsung sholat. Padahal kan bagus banget, misal lo sholat berjamaah sama pegawai lo, lo yang jadi imam. Ya gapapa, kafe ditinggal dulu buat pegawai istirahat dan sholat.” “Trus nanti yang ngelayanin pengunjung siapa, Han?” “Ya, jangan khawatir lah. Itu mah gampang, bisa diatur. Rezeki mah udah gak kemana. Masa kita lagi ngadepin bos besar kita, trus kita takut gak kebagian rezeki. Kalo kita taat sama Allah, gampang aja buat Allah mau datengin seribu pengunjung kok ke café  ini.” Adam pun hanya mengangguk-anggukan kepala sambil mencerna ucapan Hana. “Trus bisa juga nih ya lo ganti absen pegawai pake shalat dhuha. Jadi pegawai dianggap hadir kalo dia udah shalat dhuha empat rakaat juga misalnya. Ya, biar rezeki café ini dilancarin sama Allah, gitu,” ucap Hana. “Iya sih Han, bener juga omongan lo. Emang selama ini, gue ngakuin gue salat tapi kadang molor. Trus gue juga gak pernah ngajak atau ngingetin pegawai gue buat salat,” ucap Adam malu. “Iya, gue dulu juga sama Dam. Namanya juga manusia. Terus gue pernah denger ceramah salah satu ustadz yang memotivasi gue buat shalat tepat waktu. Jangan tunda waktu Allah kalo Allah tidak ingin menunda terkabulnya doamu. Gue merasa itu gue banget dulu, pas gue introspeksi diri ada beberapa target hidup yang melenceng dari timeline gue dan ada doa-doa yang belum terkabul, dari situlah gue mikir dan bertekad buat sholat tepat waktu lagi apapun gue saat itu. Emang kita kadang jadi manusia suka egois. Kita pengen doa kita cepet dikabul Allah, tapi lihat kalo Allah udah manggil lewat muadzin. Zuhur jam dua belas kita baru sholat jam dua. Ashar jam tiga kita baru sholat jam lima atau bahkan mepet maghrib.” Adam pun kagum dengan pemikiran Hana. hana benar-benar wanita yang shalihah dan baik. Mengingatkan Adam dan pegawainya untuk shalat tepat waktu. Adam rassa ia tak salah mengajak Hana untuk bekerja sama mengembangkan usaha mereka. Setelah percakapan dirasa cukup, Hana pun memutuskan pulang setelah sebelumnya mereka berdua berjanji untuk bertemu lagi keesokan harinya guna membahas kerja sama yang akan mereka lakukan secara lebih detil.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN