BAB 18 (Bismillahirrahmanirrahim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad)

1909 Kata
Hana sedikit terkejut ketika menemukan Lutfi dan istrinya sedang duduk di salah satu meja Milks Heaven. Hana cepat-cepat menguasai dirinya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan mengubur perasaannya pada Lutfi. Meski begitu, tetap saja Hana masih terlihat canggung dan kikuk setiap bertemu Lutfi. Hana tersenyum tipis pada Lutfi yang melambaikan tangan ke arahnnya. Hana pun menyuruh Adam, Robi dan Sita pergi ke pantry terlebih dahulu karena ia harus menemui Lutfi. Sebenarnya Hana ingin kabur saja, tetapi Hana harus bersikap profesional sebagai rekan bisnis Adam. Ia tak mau ciitra cafe menjadi buruk karena sikapnya yang tidak bisa memisahkan antara urusan pribadi dan pekerjaan. Ia akan mencoba menyapa Lutfi dan istrinya yang datang sebagai pengunjung cafe. “Kalian duluan aja ya, gue mau nyapa temen gue sebentar,” ucap Hana pada Adam, Robi dan Sita. Robi dan Sita langsung meluncur ke pantry begitu saja tanpa menghiraukan Hana. tetapi tidak dengan Adam. Lelaki ini mencium gelagat aneh pada Hana sejak pertama kali menatap Lutfi. “Itu, temen lo? Kayaknya gue pernah llihat ya? Tapi di mana gue lupa,” ucap Adam sambil memicingkan matannya dan mengelus dagunya. “Itu kalian pernah ketemu di nikahannya Diana,” ucap Hana. “Oh iya,” ucap Adam sambil mengangguk-anggukan kepalanya. “Ya udah, gue tinggal ya.” Adam pun berlalu meninggalkan Hana sendirian. Entah kenapa, kaki Hana terasa sangat berat ketika akan ia gerakkan. Rasanya kaki Hana seperti terpaku di atas lantai yang ia pijak sekarang. Namun, Hana mengumpulkan tekad dan keberaniannya untuk melangkah menuju meja Lutfi. Hana melangkah dengan pelan sambil menyunggingkan senyum manis di bibirnya. “Assalamu’alaikum, Lutfi, Arin,” sapa Hana ramah. “Wa’alaikumussalam,” jawab pasutri di hadapan Hana serempak. “Wah, kebetulan banget bisa ketemu di sini, Han,” ucap Lutfi. “Iya, kalian udah pesan?” tanya Hana. “Belum, baru aja mau pesan. Iya kan, Sayang?” tanya Lutfi pada Arin sambil menunjukkan buku menu yang dipegangnya pada Hana. Arin yang dipanggil mesra oleh Lutfi hanya bisa tersipu malu sambil merona. Hati Hana masih terasa perih melihat kemesraan pasangan itu di depan matanya. Ya Allah, kenapa aku harus melihat adegan kemesraan mereka di depanku? Meski hanya sebatas panggilan sayang. Bagi Hana, itu sudah cukup menunjukkan bahwa betapa Lutfi mencintai istrinya itu. Hana jadi merasa bodoh kembali, karena pernah mencintai Lutfi diam-diam. Betapa bodohnya dia dulu pernah salah mengartikan sikap Lutfi pada dirinya. Hana terus merutuki kebodohan dalam hatinya. “Mau aku rekomendasiikan menu yang paling enak di sini?” tawar Hana. “Wah, boleh Mbak,” jawab Arin. “Memangnya kamu sudah sering ke sini ya, Han?” tanya Lutfi. Hana tidak menjawab pertanyaan Lutfi, tetapi ia langsung memberitahu mereka menu-menu yang paling laris dan disukai pengunjung di Milks Heaven. “Ya sudah, aku mau pesan yang itu saja,” ucap Arin. “Ya aku jug,” ucap Lutfi. Hana pun segera memanggil salah satu pegawainya. “Sari!” panggil Hana. Seorang perempuan yang usianya sebaya dengan Sita segera menghampiri Hana. “Iya, Mbak, ada apa?” “Tolong kamu catat pesanan mereka dan segera buatkann ya,” pinta Hana pada Sari. Sari segera mencatat pesanan Lutfi dan Arin dan segera undur diri menuju pantry. Lutfi pun merasa aneh dengan interaksi antara Hana dan Sari. “Udah sering ke sini ya Han? Sampai bisa kenal sama pegawai cafenya,” tanya Lutfi. Hana hanya tersenyum tipis sambil mengangguk. Tak lama, Sari kembali membawa pesanan mereka. “Mbak Hana, kata Mas Bos kalo udah selesai nemenin temennya disuruh ke pantry,” ucap Sari pada Hana. “Oh iya, nanti saya nyusul ya.” “Oke.” “Silakan dinikmati makanan dan minumannya,” ucap Hana ramah pada Lutfi dan Arin. Pasangan suami istri itu segera mencoba makanan dan minuman yang telah dipesannya. “Wah, enak Mbak Hana, menu yang direkomendasiin ini memang beneran enak,” ucap Arin tulus sambil mengacungkan dua jempolnya. “Wah, alhamdulillah kalo gitu, semoga kalian suka ya. Silakan dihabiskan.” “Duduk di sini aja Mbak, gabung sama kita,” ajak Arin. “Hmm ... tapi ...” belum sempat Hana menjawab Adam sudah terlebih dahulu menghampirinya. “Hana!” Mereka bertiga langsung menoleh ke arah Adam. “Lo lama banget gue tungguin dari tadi,” ucap Adam. “Iya ini baru aja gue mau ke pantry.” Lutfi melihat interaksi antara Adam dan Hana. “Loh ini kan yang kemarin ketemu di nikahan itu kan?” tanya Lutfi. Adam langsung menatap ke arah Lutfi. “Oh iya, benar. Kita bertemu di nikahan Diana kemarin. Hmmm ... kalo gak salah, Lutfi kan?” tebak Adam. “Iya betul,” jawab Lutfi. “Selamat datang di Milks Heaven dan selamat menikmati sajian dari kami ya, semoga kalian nyaman dan suka di sini,” ucap Adam ramah. Ia memang memperelakukan Lutfi dan Arin seperti pengunjung lain pada umumnya. “Jadi, ini cafe kamu?” “Iya betul. Saya dan Hana bekerja sama mengembangkan cafe Milks Heaven ini,” jawab Adam mantap. “Wah hebat kamu, Han,” ucap Lutfi dan Arin takjub. “Ah nggak kok, ini aslinya punya Adam. Gue Cuma join bantuin dia di sini. Belum lama juga kok kita kerja samanya,” ucap Hana merendah. Ia memang merasa dirinya bukanlah apa-apa. Ia hanya beruntung bisa diajak oleh Adam bekerja sama untuk mengembangkan bisnisnya ini. “Ya, meskipun baru sebentar, ide-ide Hana udah banyak memajukan cafe ini lho,” puji Adam pada Hana. Hana hanya tersenyum tipis pada Adam. “Wah kalian berdua hebat!” puji Arin. “Silakan dinikmati ya sajiannya. Khusus untuk kalian, karena kalian temannya Hana hari ini kita kasih diskon lima puluh persen,” ucap Adam. “Yang bener?” tanya Arin. “Iya, serius. Kalo kalian puas dengan kinerja dan pelayanan cafe ini, silakan rekomendasikan ke keluarga, teman dan kerabat kalian ya. Jika ada yang kurang, silakan bisa beritahu saya atau Hana,” ucap Adam sopan. “Wah, terima kasih banyak,” ucap Lutfi dan Arin. Hana tak menyangka Adam bisa berkata seperti itu pada Lutfi dan Arin. “Oh ya, Hana. saya  tinggal ke Coffes Heaven ya, lo gak apa-apa kan sendiri di sini?” tanya Adam. “Iya lo tinggal aja, gak apa-apa kok,” jawab Hana. “Oke, semuanya saya pamit dulu ya. Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Adam segera meninggalkan Milks Heaven dan langsung menuju mobilnya yang terparkir di halaman cafe. Lutfi yang penasaran tentang Adam pun langsung menginterogasi Hana. “Jadi dia punya dua cafe, Han?” tanya Lutfi penasaran. “Iya, yang satu mirip kedai kopi gitu, namanya Coffee’s Heaven. Itu cafe pertamanya dan yang Milks Heaven ini cafe keduanya,” jelas Hana. “Wah hebat ya, masih muda sudah jadi penngusaha, keren,” ucap Arin kagum. “Eh, Sayang ada suamimu lho ini di depanmu, jangan memuji laki-laki lain, oke?” ucap Lutfi pada Arin sambil memasang tampang cemburunya. “Ya Allah, Mas, aku kan Cuma kagum aja, gak lebih. Ya kan, Mbak Hana?” Hana hanya tersenyum tipis sambil menganggukkan kepalanya. Ia mulai merasa jengah melihat tingkah pasutri di hadapannya ini. Sebenarnya sih tidak ada yang salah, sah-sah saja mereka memamerkan kemesraannya sebagai pengantin baru. Tetapi yang tidak mereka tahu adalah mereka memerkan itu di hadapan Hana. Perempuan yang pernah menyukai Lutfi diam-diam. Hana pun memutuskan meninggalkan pasutri itu. “Hmm ... maaf ya, gue gak bisa nemenin kalian lama-lama. Soalnya masih ada kerjaan lain,” ucap Hana. “Oh iya, Mbak Hana,” ucap Arin. “Makasih Han, udah dikasih menu paling enak plus diskon,” ucap Lutfi. “Iya sama-sama.” Hana pun bergegas meninggalkan Arin dan Lutfi menuju pantry. === Hana sedang menikmati semilir angin sore di meja cafe yang ada di lantai dua. Hari ini cafe tidak terlalu ramai, jadi ia bisa sedikit bersantai di sini. Dari lantai dua ini ia bisa melihat hiruk pikuk dan padatnya jalanan di depan cafe. Hana pun menghela napas berat mengingat pertemuannya dengan sang mantan kekasih hati. Mantan? Sepertinya itu tidak tepat ia berikan pada Lutfi. Toh memang pada dasarnya mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa. Hanya Hana yang menyukai Lutfi sepihak. Hana menatap langit yang mulai menampakkan semburat senjanya. Ia sangat suka menikmati warna langit yang seperti ini. Indah. Hana pun menyesap teh lemonnya. Kemudian ia membaca Al Quran untuk menenangkan dan mendamaikan hatinya yang gelisah. Meski sibuk mengurus cafe, ia tetap menyempatkan untuk membaca Al Quran. Itulah prinsipnya selama ini. Rasulullah SAW dan para sahabatnya saja yang sibuk luar biasa masih tetap bisa menyempatkan membaca Al Qur’an, kenapa Hana tidak? Toh, Hana tidak menjadi kepala negara seperti Rasulullah SAW dengan jadwal yang padat dan Hana juga belum menjadi pebisnis besar yang omzetnya milyaran seperti Abdurrahman Bin Auf atau Utsman bin Affan. Hana merasa kesibukannya sekarang belum ada apa-apanya. Ia akan merasa sangat bersalah jika sehari saja ia tidak sempat membaca quran, padahal ia memiliki banyak wakyu luang. Ia sangat senang membaca kalam Ilahi di tengah suasana sore seperti ini. Hana begitu larut dalam tilawahnya, hingga tak menyadari ada yang memerhatikan dari kejauhan. Setelah menyelesaikan bacaan hingga setengah juz, Hana kembali meminum tehnya dan ia dikejutkan dengan kedatangan Adam. “Asyik sendirian aja nih, Bu Ustadz!” ucap Adam. Hana yang terkejut dengan kedatangan Adam yang tiba-tiba, memuncratkan sedikit teh yang sudah ada di dalam mulutnya. Hana tersedak. Ia pun terbatuk-batuk. Adam jadi merasa bersalah sehingga ia refleks menepuk-nepuk bahu Hana. Setelah batuknya sedikit reda, Hana pun menatap tajam tangan Adam yang digunakan untuk menepuk-nepuk bahunya tadi. Adam yang paham isyarat mata Hana langsung menjauhkan tangannya dan meminta maaf. “Sorry, gue gak ada maksud jelek ataupun modusin lo, Hana. Gue Cuma nolongin lo yang lagi keselek teh, gak lebih.” Adam tidak mau Hana mencurigainya sebagai lelaki yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Adam tahu bahwa Hana tidak mau bersentuhan fisik dengan yang bukan mahramnya. Adam sangat paham. Tapi jika kejadian darurat tadi, Adam terpaksa melakukannya demi menolong Hana. Adam murni menolong, tidak ada maksud lain. “Iya, gue paham kok, makasih ya udah nolongin gue.” “Iya, sama-sama.” Adam segera menarik kursi di hadapan Hana dan duduk di sana. “Ngapain deh lo ngelamun di sini?” tanya Adam iseng. Adam tahu Hana habis membaca Al Qurann karena dari tadi ia memperhatikan dan mendengarkan suara merdu tilawah Hana. “Enak aja, gue gak ngelamun tahu. Gue lagi menikmati pemandangan sore aja.” Adam pun ikut memandangi semburat jingga di langit sore ini. Kedua anak manusia itu larut dalam pemikirannya masing-masing. Adam memikirkan nasib asmaranya. Jujur saja, meskki melakukan pendekatan dengan beberapa orang perempuan, namun perasaannya terasa hambar. Ia masih menyimpan nama Diana di hatinya. Meski ia sudah merelakan Diana menikah dengan lelaki lain, tetap saja ia tidak bisa mendustai hatinya. Sulit bukan menghapus nama seseorang yang telah bersamamu dan engkau cintai selama bertahun-tahun? Itulah yang dirasakan Adam saat ini. Karena Adam lelaki, ia tidak terlalu menunjukkannya secara tersurat. Ia mengalihkannya dengan mendekati beberapa perempuan. Hana juga sedang memikirkan nasib jodohnya. Ia masih mengingat betapa mesra Lutfi pada istrinya tadi. Sama halnya dengan Adam, tak mudah bagi Hana menghapus perasaan yang sudah terlalu dalam tumbuh di hatinya. Jika Adam mengalihkannya dengan mencari perempuan lain, lain halnya dengan Hana. hana lebih senang menyibukkan diri dengan kegiatan positif seperti ikut kajian keislaman atau mengurusi bisnisnya dengan Adam. Ia harap dengan kesibukannya itu, ia bisa melupakan perasaannya. “Hana?” “Hmm?” “Lutfi itu ... lo pernah suka sama Lutfi ya?” Deg! Bagaimana Adam bisa tahu perasaan Hana?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN