Bab 7

764 Kata
Malam itu aku baru mengetahui satu hal yang selama ini selalu saja menjadi tanda tanya besar dalam hatiku. Sebuah jawaban atas pertanyaanku selama ini. Aku menengadahkan kepala menatap hamparan air mata dewa Zeus yang membanjiri bumi. Tuhan, apa dewa Zeus juga memiliki perasaan yang sama denganku? Barangkali hati kita sedang bersama merasakan sakit yang tak terkira ini. Barangkali aku dan dia juga merasakan rasanya di khianati oleh sesuatu yang kita percayai selama ini. Sebab air mataku turun bersamaan dengan langit yang menangis. Hati yang sudah pecah harus kah terbelah hingga tak berbentuk? Sebab hatiku retak untuk yang kesekian kalinya oleh orang yang sama. Memang seharusnya dari awal aku sudah harus membangun sebuah benteng pertahanan yang keras dan tak goyah ketika badai menerpa. Agar ketika semesta menerbangkan angin kesakitan benteng itu tak dapat memberikan akses tembus sampai ke dalam hatiku. Seharusnya mata ini sudah dapat melihat matanya yang tak pernah memancarkan keseriusan seperti apa yang ia katakan. Rasa yang berkembang di dalam hati, entah sejak kapan. Memang seharusnya sudah berhenti sebelum memulai. Agar aku tak perlu merasakan sakit hati dan menangisi kepergiannya. Rasa ini salah, akan selalu salah. Tetapi cinta ku tak pernah salah. Rasa ini salah, tepatnya hati ini yang salah karena jatuh kedalam lubang yang bernama kesakitan. Tenang hati, kau akan baik-baik saja. Aku membatin--mengelus dibagian mana hatiku terasa sakit. Jadi, selama ini aku sudah dibohongi oleh Bintang? Jadi, selama ini aku sudah di nomor duakan olehnya? Jadi... Kemudian... Bagaimana bisa.... Aku menggelengkan kepala kuat-kuat berusaha mengusir kata demi kata yang diucapkan oleh Shinta--seseorang yang memberikan banyak informasi tentang Bintang dan Pelangi, mantannya kepadaku. Padahal aku tak kenal siapa Shinta tetapi dia dengan baik hatinya membocorkan segalanya. Gue yakin lo akan dapetin yang lebih dari Bintang. Apakah maksudnya itu adalah lebih nyakitin dari Bintang? Aku tak tau. Semuanya tiba-tiba saja datang menghampiriku yang sedang terpuruk. Segala jawaban atas pertanyaanku yang seharusnya sudah ku akhiri malam itu juga terkuak kebenarannya. Aku bingung. Aku frustasi. Aku segitu cintanya pada dia, tetapi yang ku cinta malah menghempaskan diriku begitu jauh dari sebuah pernyataan. Bintang... Jadi, selama ini kau anggap aku apa? Kau anggap aku pelampiasan kah karena rasa sayangmu pada Pelangi tak bisa tersalurkan? Maka kamu mempermainkanku begitu ahli? Atau kamu hanya menjadikan ku alat supaya Pelangi kembali padamu? Bintang. Aku sangat percaya padamu. Tetapi ternyata aku salah sudah memberikan kepercayaanku secara utuh yang padahal dengan susah payahnya aku susun ulang pecahan itu setelah beberapa tahun lalu kepercayaanku juga di pecahkan. Bintang. Apa salahku? ⚫ Hari itu. Senin sial bagiku. Aku telat dan berakhir dengan memanjat tembok belakang sekolah bersama Nadia serta beberapa anak telat lainnya. Belum cukup sampai situ tangan ku berdarah karena tergores besi pembatas tembok besar dibelakang kantin. Bintang yang tiba-tiba saja menatapku dengan tatapan marah, kesal dan benci. Ada apa? Aku tak mengerti dimana letak kesalahan ku padanya. Seharusnya aku yang menatal dirinya seperti itu bukan dirinya yang menatapku sebaliknya! Aku mendudukkan diri dibangku. Teman sekelas menatapku kaget. "Loh, Lan? Kok bisa masuk?" "Manjat tembok dia." Yudho menjawab pertanyaan sebagian besar anak kelas. Aku hanya membalas dengan senyuman dan anggukkan. Benar, aku memanjat tadi. Dan, Yudho tau itu sebab dia kabur dan ngumpet di belakang kantin. Takut kena cukur masal, katanya. Aku tak lagi menghiraukan keadaan sekitar. Aku mengambil n****+ terjemahan yang baru kemarin aku beli lalu menyetel musik sekencang-kencangnya hingga aku larut dalam duniaku sendiri. ⚫ Sejak dua jam yang lalu aku merasa ada seseorang yang mengawasiku dari jauh. Ada sepasang mata elang yang seperti mengawasi mangsanya. Tatapan tajam itu sungguh membuat tubuhku meremang. Aku menutup n****+ yang baru setengah k*****a menggunakan pembatas buku yang tersedia kemudian menaruhnya di atas meja. Kepalaku berputar mencari siapa gerangan orang yang sejak tadj memperhatikan ku sedemikian baiknya. Dan... Crap. Ternyata orang itu Bintang. Aku tak tau apa yang sedang ia rasakan dan pikirkan. Tetapi dilihat dari caranya memandangku. Aku tentu bisa tau. Ada sesuatu hal yang dipendamnya agar tidak meledak-ledak. Jelas sekali Bintang menahan marah. Aku mengalihkan pandanganku ke saku seragam ketika sesuatu didalamnya bergetar. Ku ambil ponsel dan mematikan musiknya. Ada bbm masuk ternyata. Pelangi: Besok bisa ngomong? Ya, Pelangi Dannisab. Aku tidak tau apakah ini sebuah takdir atau hanya sebuah kebetulan saja. Setelah Shinta memberitahuku semua soal masalalu Bintang. Maria, anak SMA Harapan sembilan mempromote Pelangi. Dengan iseng aku menginvitenya. Tidak ada alasan terselubung apapun aku mengadd pin Pelangi. Aku hanya ingin melihat seperti apa wajahnya dan sekedar menanyakan beberapa hal tentang Shinta yang sepertinya sealumni dengannya. Karena tidak mungkin kalau mereka tidak sealumni kan? Sebab Shinta tau betul tentang dirinya dan Bintang. Namun ketika aku memberitahunya. Ia bilang bahwa tak ada yang namanya Shinta. Yang ada hanyalah Masyitha. Aku kaget waktu itu. Lalu dia minta menceritakan semuanya yang sudah terjadi. Aku menceritakannya tanpa celah. Dia tertawa kemudian menasihatiku untuk tidak meladeni Shinta lagi. Katanya, Shinta hanya orang iseng. Maka aku lakukan itu. Me: Oke. Dimana? Pelangi: Di kedai kopi dekat taman sehabis pulang sekolah. Me: Mau ngomongin apa memang, Ngi? Pelangi: Nanti juga lo tau. Mendadak perasaan ku jadi tak enak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN