Arini menolehnya, dalam hati ia bertanya-tanya dengan perubahan sikap Aldo yang mendadak manis.
"Selamat ya, Al, atas pernikahan kalian, Semoga menjadi keluarga sakinah, mawardah, dan warohmah." ucap Farah menjulurkan tangan.
Aldo segera menyambut tangan itu, "Terima kasih sudah mau datang ke pestaku. Pernikahan kalian tanggal berapa dilaksanakan?" tanya Aldo dengan wajah meledek puas.
Farah hanya tersenyum, bibirnya bergetar menahan perih di d**a. Dilepaskannya tangannya dari genggaman Aldo yang mencengkram kuat. Aldo heran memandang wajah Farah yang terlihat sedih, mata gadis itu berkabut. Pun demikian, Aldo merasa bahaigia berhasil membuat Farah cemburu dan bersedih. Tercapai sudah keinginannya tidak berada di posisi itu. Seperti inilah yang ia mau, membalaskan sakit hatinya, membuat Farah menagisi dan cemburu agar dia tahu seperti apa rasanya melihat pujaan hati menikah dengan orang lain. Aldo tidak tahu jika Farah batal menikah dengan calonnya.
Tanpa menjawab, Farrah berlalu, sejenak matanya melirik Arini kesal. Arini tidak menyadari apa yang terjadi barusan. Ia terlalu polos untuk menebak bahasa tubuh Aldo dan Farah. Keduanya kembali duduk di pelaminan dengan jarak yang berjauhan. Tidak ada senyum apalagi canda tawa, bahkan Aldo tidak mau menatap betapa cantiknya pengantin wanitanya. Ia sibuk memikirkan Farah.
Ada gelisah di hatinya, melihat wajah Farah yang murung. Tapi bukankah itu yang dia mau? Membalaskan sakit hatinya, mendahului gadis itu menikah? Bukankah memang itu yang dia mau, membalik situasi menempatkan Farah di posisi itu? Entahlah, Aldo tampak ragu dengan keputusannya. Tapi mau bagaimana lagi, janur kuning sudah melengkung, ijab kabul sudah terlaksana.
Setelah tamu-tamu pulang, Al meminta izin pada orang tua Arini untuk membawa Arini ke rumahmya. Karena di rumah masih ada beberapa tamu yang belum pulang, orang tua Arini tidak bisa ikut mengantar, mereka berjanji akan datang berkunjung di lain hari.
Arini mengeluarkan tiga koper yang berisi baju dan beberapa aksesoris lainnya dari kamar.
"Hei, apa-apaan ini? Kenapa banyak sekali baju yang kamu bawa?" Aldo melotot melihat tiga koper yang ada di samping Arini.
"Ini baju dan barang-barang pribadiku." jawab Arini berbisik, takut terdengar ayah bundanya yang berdiri tak jauh dari mereka.
Aldo menggerutu kesal, ia hanya menggeret satu koper saja membawa ke dalam mobil. Melihat masih ada dua koper tersisa, ayah dan bunda menggeret masing masing satu. Lalu membawanya ke dalam mobil Aldo. Arini mengikuti dari belakang, sesampainya di dekat mobil kedua pengantin baru itu berpamitan.
Jarak rumah orangtua Arini ke rumah Aldo cukup jauh, sekitar 30 menit perjalanan jika tidak macet. Karena saat ini sudah malam, jalanan mulai lengang. Aldo melacu mobilnya dengan kencang. Sepanjang perjalanan tidak ada yang berbicara, hanya suara musik yang terdengar pelan mengiringi perjalanan keduanya.
Mobil berbelok saat memasuki sebuah komplek perumahan, di depan tampak dua orang satpam berjaga di pintu gerbang. Melihat Aldo yang datang, satpam segera membuka gerbang. Aldo berhenti di sebuah rumah di blok dua paling pojok. Di depan rumah terdapat pohon mangga yang cukup rindang.
"Turun! bawa kopermu sendiri, siapa suruh bawa banyak-banyak!" sergah Aldo ke luar meninggalkan Arini sendiri di dalam mobil.
Arini melirik Aldo, wajahnya cemberut. Entah suami macam apa lelaki yang baru dinikahinya itu, seingatnya, ayahnya tidak pernah berkata kasar pada bunda, apalagi menyuruhnya membawa barang yang berat. Tapi mau bagaimana lagi, itulah suaminya, lelaki yang akan dihadapinya sepanjang hari.
Ia turun dari mobil, baju pengantin masih menempel di tubuhnya. Ia membuka pintu bagasi dan mengeluarkan koper. Langkahnya menjadi terbatas karena sempitnya kain yang melilit tubuhnya, ditambah lagi sepatu high heels yang di pakainya melengkapi penderitaannya malam itu. Walau merasa berat setengah mati, tetap saja ia berusaha mengangkat koper itu. Dia bersumpah dalam hati tidak akan menyusahkan dan membebani Aldo. Dia akan buktikan pada lelaki itu, dia juga punya harga diri.
"Bawa ke lantai dua! Jangan diseret, nanti lantainya baret!" celetuk Aldo ketus, yang menunggu Arini di ruang tamu, lalu berjalan mendahului Arini naik ke atas.
Arini mematung dengan wajah kesal.
"Dasar bawel,"gumamnya pelan. Ia menaiki tangga selangkah demi selangkah mengangkat kopernya dengan sisa tenaga yang ada. Rasa lelah dalam seminggu terakhir ini karena mengurus semua persiapan pesta pernikahan, membuatnya mengantuk.
"kamu di kamar itu, aku di kamar ini. Ingat, jangan berisik! Jangan sentuh barang-barang pribadiku. Jangan banyak tanya, jangan ikut campur urusanku. Dan jangan menyusahkanku. Paham?" ujar Aldo saat Arini sampai di lantai dua.
"Iya, paham, bawel." celetuknya kesal.
"Kamu bilang apa?"
"Bawel?" ulang Arini sekali lagi dengan wajah geram.
Aldo melotot sembari berkacak pinggang. Arini menciut, ia mundur selangkah.
"Satu lagi peraturan yang harus kamu patuhi, kamu harus berkata sopan! Paham?"
Arini segera mengangguk, ia berkidik mendengar suara Aldo yang menggema "Paham, Kak Al." ujarnya ciut.
"Setelah selesai menurunkan kopermu dari mobil, jangan lupa kunci pintu mobil dan kunci juga pintu rumah. Aku mau tidur."
"Hm!" jawab Arini mengiringi langkah Aldo ke kamar.
Setelah meletakkan koper di kamarnya, Arini bergegas kembali ke lantai bawah menurunkan sisa koper yang ada di mobil. satu persatu di bawanya ke dalam rumah. Lalu mengunci semua pintu. Kemudian dengan sisa-sisa tenaganya, ia menaikkan satu persatu kopernya ke lantai dua.
Setelah selesai memindahkan semua koper ke kamarnya, Arini menghempaskan tubuh di atas kasur. Ia sangat lelah, teramat sangat lelah. Tanpa sadar matanya terpejam, dengan kaki menjuntai ke lantai. Gadis yang masih mengenakan gaun pengantin itu, tertidur dengan make up yang masih menempel di wajah.
Malam ini rembulan bersembunyi di balik awan kelam. Ia enggan menampakkan sinarnya yang temaram. Di kamarnya Aldo tidak bisa tidur, wajah Farah terus terbayang dalam ingatan.
"Mengapa dia menangis? Bukankah sebentar lagi dia juga akan menikah? Tapi kenapa wajahnya begitu sedih? Aaggrrr....." grutunya.
Aldo mengucek-ucek kepalanya. Dipeluknya guling, mencoba memejamkan mata, tapi sulit sekali matanya terpejam. Ia beranjak dari tempat tidur lalu keluar dari kamar, ia melangkah menuju sofa yang tepat berada di depan tivi. Di raihnya remot yang tergeletak di meja. Lelaki itu menghempas ke sofa, tangannya lincah mencari chanel olah raga. Tiga puluh menit kemudian matanya meredup dan tertidur pulas.
Tanpa terasa matahari mulai menampakkan diri. Arini terbangun dari tidurnya, seluruh tubuhnya terasa sakit. Matanya bergerak ke kanan dan kiri mencari kamar mandi, tapi tidak ada kamar mandi di sana. Dilihatnya jam di ponselnya, pukul enam pagi. Gawat, ia harus segera mandi dan berangkat ke kantor. bergegas Arini membawa baju dan peralatan mandinya ke luar kamar.
Dilihatnya Aldo tertidur di sofa dengan tivi yang menyala. Entah dari jam berapa tivi itu menyala tanpa ada yang menonton. Arini ingin meraih remot yang terletak di perut Aldo. Tapi urung dilakukannya, bagaimana kalau nanti dia terbangun? dia pasti akan mengira yang bukan-bukan. Lagi pula, bukankah Aldo berpesan tidak boleh menyentuh barang pribadinya? Arini membatalkan niatnya mematikan tivi. Ia berjalan ke kamar mandi yang terletak di antara kamar Aldo dan kamarnya. Belum sempat Arini masuk, Aldo memanggilnya.
"Arini, kamu mau ngapain?!"
"Hum?" Arini terkesiap mendengar suara bariton yang mengejutkannya, "Kak Aldo sudah bangun?" tolehnya, "mau mandi." jawabnya polos.
"Jangan mandi di situ, itu kamar mandiku, kau pakai kamar mandi yang di bawah."
Arini menghela napas, laki-laki ini, ribet banget sih! Grutunya kesal dalam hati. Tapi mau bagaimana lagi, ia sudah terikat dalam perjanjian pernikahan. Walau kesal, tetap saja ia tidak berani membantah. "Hmm!" sahutnya sembari beranjak dan turun ke lantai satu.