Episide 9

1262 Kata
Untungnya di ujung jalan sana ada sebuah musola, buru-buru Arini mendekat kemudian menunaikan salat Maghrib yang sudah di penghujung waktu. Selesai salat, ia duduk di sudut ruangan. Tanpa terasa air matanya menetes. Musola mulai sepi, hanya tinggal dirinya dan seorang merbot yang duduk di sudut ruangan. Melihat Arini meneteskan air mata, bapak tua itu mendekatinya. "Neng, kenapa menangis, ada masalah apa?" belum sempat Arini menjawab, pak tua itu kembali betanya, "Sepertinya Neng bukan orang sini?" matanya lekat menatap wanita di depannya. Arini buru-buru menghapus air matanya, lalu menoleh dan mengangguk. "Iya Pak, saya baru sehari pindah ke sini ikut suami. Tapi saya lupa jalan pulang ke rumah." "Loh, kenapa tidak menghubungi suaminya saja agar datang menjemput ke sini?" "Sudah Pak, saya sudah menghubunginya, tapi hapenya tidak aktif." "Kalau begitu, coba Neng ingat lagi alamatnya." Sejrnak mata Arini bergerak-gerak seolah sedang berpikir. "Em ... Saya tinggal di komplek daerah sini, Pak, tapi saya lupa jalan menuju Komplek itu. "Oh, ya sudah, sini biar bapak antar, bapak tahu ada sebuh komplek dekat sini, semoga benar Neng tinggal di sana." ujar bapak merbot itu sembari ke luar. Bergegas Arini mengikutinya dari belakang. Pak tua itu mengambil sepeda onthel miliknya. "Bapak cuma punya ini, tidak apa-apa ya, Neng, kita naik sepeda saja?" "Tidak apa-apa, Pak, saya minta maaf sudah merepotkan." ujar Arini tidak enak hati. Pelan, ia naik keboncengan. "Tidak apa-apa, Neng, sudah sewajarnya kita saling tolong menolong. Bapak penduduk asli di sini. Dulu, bapak ikut membangun perumahan itu. Semoga saja benar perumahan itu yang Neng cari." ujar pak tua sembari mengayuh sepedanya. "Aamiin. Semoga saja, Pak, terima kasih." Arini memperhatikan sekelilingnya, kini semua tampak gelap, hanya temaram rembulan yang menerangi jalan mereka. Suara jangkrik dan nyanyian sunyi, membuatnya merinding. Setelah sepuluh menit bersepeda, pak tua itu, menunjukkan sebuah Komplek. "Apa komplek ini yang Neng maksud?" Arini menarik napas lega, wajahmya semringah melihat gerbang komplek itu. "Alhamdulillah, iya betul Pak, ini komplek tempat saya tinggal, terima kasih, Pak, sudah memgantarkan saya." ujar Arini sembari mengeluarkan uang dari dompetnya. "Tidak usah, tidak usah, Neng. Bapak ikhlas membantu." "Tidak apa-apa, Pak, ambil saja, bapak sudah capek mengantar saya." Arini menyelipkan uang lima puluh ribu yang tinggal satu-satunya di dompetnya ke tangan pak tua. Setelah pak tua itu pergi. Arini berjalan menuju Komplek. Satpam sempat mencegat dan menanyakan identitasnya, setelah Arini menjelaskan statusnya sebagai istri Aldo, satpam mempersilakan Arini masuk. Bergegas ia berjalan menapaki jalan setapak. Ia terlihat lelah dan kusut. Sesampainya di depan rumah, Arini mengetuk pintu, tapi tidak ada tanda tanda ada orang di dalam sana, rumah itu gelap, bahkan lampu teras pun belum dinyalakan. Ia duduk di teras kemudian meraih ponselnya, dia mencoba menghubungi Aldo kembali, tapi tetap saja Aldo belum juga mengangkat telephonnya. Karena lelah seharian bekerja dan berjalan jauh, Arini tertidur pulas di teras. Di sudut kota sana, di kantornya, Aldo sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya. Ia baru saja selesai meeting dengan klien yang sengaja datang meninjau kantornya. Hari ini, ia sengaja terlambat pulang, karena berangkatnya juga memang sudah siang. Aldo ingin menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Diliriknya jam sudah pukul delapan malam, Aldo segera menutup laptop kemudian merapikan barang-barang pribadinya dan memasukkannya ke dalam tas, kemudian bersiap pulang. Ia meraih ponselnya yang sejak tadi diletakkannya di dalam laci, tanpa memeriksa, ia pergi dan melacu mobilnya dengan kecepatan sedang menuju sebuah kafe. Sebelum pulang, ia ingin mengisi perutnya terlebih dahulu dan bersantai sejenak. Sambil menunggu makanan, Al membuka ponselnya. Ia terkejut melihat panggilan tak terjawab dari Arini sebanyak sepuluh kali. Ia juga mendapati pesan masuk dari Arini yang belum dibaca. Bergegas Aldo membukanya. "Hah, dia menanyakan alamat rumah? Ah, dasar perempuan sinting, masa alamat rumah saja tidak tahu? Dasar t***l!" gumam Aldo menggrutu. Dia mencoba menghubungi Arini beberapa kali, tapi tidak ada jawaban. Lalu ia mengirim pesan singkat, menanyakan keberadaannya, tetap saja tidak ada respon. Aldo mulai mencemaskan wanita itu, ia segera meminta pelayan untuk membungkus pesanannya. Buru-buru ia melacu mobilnya pulang ke rumah. Tepat pukul sembilan, ia sampai di depan rumahnya. Ia tertegun melihat Arini tertidur di kursi teras yang gelap. Ada rasa bersalah di hati lelaki itu, bergegas ia turun dan membangunkan Arini. Tapi Arini tidak juga bangun. Sesaat ia menarik napas dan menghembuskannya perlahan, ia geleng-geleng sembari memegang jidat melihat pose tidur Arini dengan mulut terbuka. Ia membuka pintu dan menyalakan semua lampu lalu kembali membangunkan Arini. Tapi, tetap saja wanita itu tidak bergerak. Tidak ada pilihan kecuali mengangkatnya masuk ke dalam. "Ya Tuhan, ternyata dia berat juga?" gumamnya hampir tak terdengar. Ia berjalan selangkah demi selangkah menaiki tangga. Sesekali dilihatnya mulut Arini yang masih menganga. Sesampainya di kamar, Aldo melepas sepatu Arini, matanya membulat melihat kaki istrinya lecet dan merah. "Hm? Kenapa kakinya lecet dan merah begini? Apa dia habis berjalan kaki dari kantornya menuju rumah ini?" Aldo mengernyitkan dahi, mencoba menerka apa yang terjadi. Namun, tak ada jawaban yang bisa ia simpulkan, ia tidak tega membangunkan Arini yang tertidur sangat lelap. Karena perutnya kembali terasa lapar, Aldo meninggalkan Arini di kamarnya lalu kembali turun ke lantai satu. Ia mengambil bungkusan makan malamnya di mobil, lalu menyantapnya di depan tivi. Usai makan, Aldo kembali ke lantai dua dan lanjut menonton tivi di ruangan atas. Setelah merasa ngantuk, ia mematikan tivi dan masuk ke kamarnya. Waktu terus berjalan, tanpa terasa matahari kembali muncul ke permukaan. Arini terbangun dari tidurnya, ia terkejut mendapati dirinya sudah berada di dalam kamar. Seingatnya tadi malam dia tidur di teras. Lalu siapa yang mengangkatnya? Mungkinkah Lelaki aneh itu? Dilihatnya jam yang tertera hapenya, sudah pukul lima dini hari. Perutnya terasa sangat lapar. Ia ingat tadi malam belum makan. Perlahan, ia ke luar dengan sedikit pincang, kakinya terasa sakit. Ia ingin ke dapur mencari sesuatu yang bisa di makan. Arini menuruni anak tangga selangkah demi selangkah. Sesampainya di dapur, ia tertegun. Dapur terlihat bersih, bahkan rice cooker saja tidak terlihat di sana. Ia beralih ke meja makan, di sana juga tidak ada apa-apa yang bisa dia makan. Arini memegangi perutnya yang mulai berbunyi. Ia kemudian mengambil air putih lalu meminumnya sekadar mengisi perut, kemudian kembali ke atas dengan susah payah. Baru saja kakinya sampai di tangga terakhir , Aldo muncul dari kamarnya, matanya menatap Arini tajam. "Dari mana kamu?" tanyanya. "Dari bawah..., Kak Al tidak punya rice cooker?" Wajah Arini tampak memelas. "Tidak, untuk apa? Aku tidak pernah masak. Kalau aku lapar, aku selalu pesan makanan dari online." Arini menatap Aldo lekat, tak ada kata yang mampu ia ucapkan. Ia mulai cemas akan nasib dirinya. Oh Tuhan, kalau begini ceritanya bisa mati kelapan dia menunggu gajian satu bulan ini. Uang di dompetnya sudah tidak ada bahkan untuk berangkat kerja nanti, apalagi untuk membeli makanan. Meminta pada orang tuanya adalah hal mustahil dilakukan. Ia tidak mau menyusahkan ayah dan ibunya, itu akan membuat mereka curiga dengan pernikahannya. Arini menunduk, pasrah dengan nasib. Perlahan ia berjalan ke kamarnya dengan sedikit pincang. "Kaki kamu kenapa?" "Tidak apa-apa. hanya lecet sedikit." jawabnya datar. "Ohiya Kak Al, boleh aku pegang satu kunci rumah ini?" tanyanya sembari menoleh. "Tunggu sebentar," Aldo kembali masuk ke kamarmya, sesaat kemudia ia ke luar dan menyerahkan satu kunci."Ini." Arini mengambil kunci dari tangan Aldo, "Terima kasih," Tanpa menoleh ia berbalik kembali berjalan menuju kamarnya. "Sekarang apa kau sudah tahu alamat rumah ini?" tanya Aldo lagi, sesaat sebelum Arini masuk kamr. "Sudah!" jawab Arini sembari menutup pintu kamar. Ia melepas hijabmya, kemudian duduk di tepi ranjang. Dia benar-benar bingung harus bagaimana berangkat kerja nanti. Dia tidak punya uang seperak pun. Tidak mungkin dia bolos masuk kerja hanya gara-gara tidak punya ongkos, alasan macam apa itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN