Arini menatap Al tajam, ia tidak suka membahas topik itu. "Apa urusannya dengan Kak Al? Jangan ikut campur urusan keluargaku!" ujarnya dengan wajah kesal.
'Dasar perempuan sombong, sudah jatuh miskin, masih saja sok jual mahal.' gumam Al dalam hati.
"Tentu saja bukan urusanku. Tapi aku ingin. Menawarkan jaminan untuk membebaskan ayahmu, itu pun jika kamu mau menerimanya!"
Mata Arini membulat, tak percaya dengan apa yang barusan di dengarnya. "Aku tahu tidak ada makan siang yang gratis, katakan apa syaratnya?" ujar Arini sembari bersandar.
"Gadis pintar, baguslah kalau kamu mengerti itu. Begini, menikahlah denganku, dan aku akan memberi uang jaminan untuk membebaskan ayahmu!"
"Uhuk," Arini tersedak dengan air ludahnya sendiri, matanya tidak berkedip menatap Aldo.
Apa dia sudah gila? Baru kemarin dia membentak-bentaknya kerena tidak tahu cara menyeduh kopi, menyuruhnya membersihkan seluruh toilet yang ada di kantor ini. Dan sekarang tiba-tiba saja mengajak menikah?
"Menikah?" tanya Arini memperjelas.
"Iya menikah, tapi dengan syarat, kau tidak boleh ikut campur urusanku. Urus urusanmu sendiri, dan aku pun akan mengurus urusanku sendiri. Dan satu lagi, jangan memintaku membiayai hidup orangtuamu! Itu bukan tanggung jawabku. Dan kamu juga tidak boleh meminta uang seenaknya. Aku akan memberimu makan dan tempat tinggal itu sudah cukup. Lagi pula, pasti tidak sedikit uang yang harus kukeluarkan untuk membebaskan ayahmu." ujarnya dengan enteng.
Mata Arini berkaca-kaca, ia tidak tahu harus bahagia atau sedih. Keinginanya untuk membebaskan ayah seoalah menemukan titik terang. Tapi bagaimana dengan nasibnya? Ayah dan bunda pasti sedih jika tahu perjanjian ini.
"Baik, Kak Al, aku setuju. Tapi aku juga punya satu permintaan. Bersikap baiklah pada orang tuaku dan akupun akan bersikap yang sama pada keluargamu."
"Baik, aku setuju." nanti pulang kerja aku akan mengantarmu pulang sekalian memberitahu ibumu."
"Baik, Kak Al,"
"Sudah sana, kembali ke ruanganmu."
Arini mengangguk lalu beranjak dari duduknya. Tidak ada ekspresi apapun di wajahnya. Ia tidak tahu, harus tersenyum atau menangis.
Baru saja ia keluar dari ruangan Aldo, Ra memanggilnya.
"Arini, tolong beli makan siang ke restoran padang di seberang sana, kami lagi banyak pekerjaan, tidak sempat makan ke luar."
"Baik Mbak, Ra," ucapnya menerima uang dan secarik kertas pesanan makan siang karyawan.
Berselang beberapa menit, Arini kembali dan menghidangkan makan siang di nakas.
Selesai membelikan makan karyawan, Arini ingin kembali ke pantry. Belum sempat ia melangkah, Al memanggilnya.
"Arini, Tolong belikan nasi Padang di seberang sana." ujarnya sembari menyerahkan selembar uang biru.
Arini menghela napas, bibirnya membentuk garis lurus menatap Aldo. 'Kenapa tadi tidak sekalian tadi?' grutunya dalam hati.
"Baik Kak Al." ujarnya datar sembari mengambil uang itu lalu beranjak pergi.
Al kembali melanjutkan pekerjaannya. Sepuluh menit kemudian, Arini kembali membawa makanan. Diletakkannya nasi padang di atas piring kemudian diantarnya ke ruangan Aldo. Ia hanya sedikit membungkuk lalu pergi. Aldo melirik Arini tanpa ekspresi.
Arini kembali ke ruang pantry dan membuka ransum yang dibuatkan bunda untuknya. Belum selesai ia menghabiskan makanannya, hapenya berbunyi. Sebuah panggilan tak dikenal. Tapi sepertinya berasal dari telphon kantor. Arini segera mengangkatnya berharap itu adalah panggilan kerja dari kantor yang pernah di lamarnya.
"Selamat siang, apa ini dengan Mbak Arini Alaika?"
"Iya, betul, maaf saya bicara dengan siapa?"
"Saya Sita, dari Garaha evertaising. Saya ingin memberitahukan panggilan untuk interviu besok pagi di kantor kami. Mohon Mbak Arini datang tepat waktu."
"Baik, mbak. Terimakasih infonya."
Arini loncat kegirangan, akhirnya ia mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Ia melanjutkan makannya. Selesai makan, ia bergegas keruangan Aldo.
"Permisi," ujarnya sembari masuk, "Kak Aldo, besok saya mau izin tidak masuk kerja."
"Kenapa?" tanya Aldo menaikkan alisnya sebelah.
"Besok ada panggilan wawancara,"
"Ya sudah, setelah selesai wawancara segera ke sini."
"Baik Kak Al, permisi."
Arini kembali ke pantry dengan wajah berseri.
Waktu berputar terasa lambat, setelah para karyawan pulang, Arini membersihkan dan merapikan kantor. Setelah selesai, ia menunggu Aldo keluardaribruangannya. Hari ini lelaki itu berjanji akan mengantarnya pulang sekalian membicarakan rencana pernikahan mereka.
Satu jam sudah Arini menunggu, namun belum ada tanda-tanda Al ke luar.
Arini gelisah, ia mulai tidak sabar menungu. Tanpa pamit, Arini pergi. Ia tidak mau membuat bunda khawatir karena menunggunya terlambat pulang.
Tiga puluh menit kemudian, Arini sampai di rumah. Benar saja duganya, bunda sudah gelisah menunggunya di depan pintu.
"Arini, kamu dari mana saja? Kenapa terlambat pulang?"
"Maaf bunda, tadi Ri ada urusan sedikit di kantor. Lain kali bunda tidak usah menunggu Ri di depan pintu seperti ini."
"Iya, tapi bunda kan khawatir sama kamu, Ri."
"Bunda..., Ri bukan anak kecil lagi, Ri sudah besar, sudah bisa jaga diri."
Bunda tersenyum lalu mengusap punggung Arini keduanya masuk kedalam rumah. Sesampainya di kamar Arini membuka hapenya yang sejak di kereta terus bergetar. Ia sengaja tidak mengangkat, dia yakin pasti Aldo yang menghubunginya. Benar saja ada tiga kali pangilan tak terjawab dari Aldo. Di letakkannya lagi hape itu di meja. Lalu segera menuju kamar mandi membersihkan tubuhnya yang terasa lengket.
Selesai mandi, Arini kembali ke kamarnya mengeringkan rambut dengan kipas angin. Tak lama kemudian hp-nya berbunyi. Bergegas ia meraihnya. Terlihat nama Aldo tertulis di sana. Arini ragu untuk mengangkat, tapi kemudian ia teringat ingin membebaskan ayahnya dari penjara. Akhirnya Arini mengangkat panggilan itu.
"Halo, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, kamu di mana?"
"Di rumah."
"Kenapa meninggalkan aku? Bukan Kah tadi aku bilang akan mengantarmu pulang?"
"Aku sudah menunggu satu jam lamanya, dan Kak Al tetap saja sibuk bekerja. Bunda menungguku di rumah, bunda tidak punya hape, aku belum bilang sama bunda kalau pulang terlambat. Makanya aku segera pulang, aku tidak ingin membuat bunda cemas."
"Alasan! Kau memang sengaja menghindariku, kan? Apa kau malu jalan denganku?"
Belum sempat Arini menjawab, Aldo kembali melanjutkan sumpah serapahnya.
"Kau pikir secantik apa dirimu?! Heh, dengar ya, aku menikahimu karena terpaksa! Kalau bukan untuk membalasnya, aku tidak akan menikahimu! Camkan itu!" Teriak Aldo di telohon.
Arini hanya diam, sesekali ia menjauhkan ponselnya dari telinganya, karena suara Aldo yang terdengar berisik di telinganya.
"Sama! Jika bukan untuk membesaskan ayah, aku juga tidak mau menikah dengan kak Al!" balasnya kesal. Wajahnya cemberut, bibirnya membentuk kerucut.
"Ugh," grutu Aldo kesal. "Ya sudah, beritahu di mana alamatmu, aku akan kesana." suara Aldo sesikit melunak. Sebenarnya dia masih ingin marah-marah, sekadar melampiaskan sakit hatinya dulu. Masih lekat dalam ingatannya saat di kampus ia menembak Arini, tapi Arini dengan teganya menolak cintanya.
"Hm!" jawab Arini kesal. Ia kemudian men-share lokasinya, lalu meletakkan handphone kembali di meja lalu lanjut mengeringkan rambutnya dengan kipas angin.
"Dasar manusia Aneh! Dia yang maksa ngajak nikah, dia juga yang marah-marah.