Teman Palsu

1504 Kata
"Wow, coba lihat teman kita yang satu ini. Jarang ikut gathering, begitu muncul sudah membawa gandengan. Siapa ini, Kawan? Pacar? Baby?" Ardian menyeringai. Matanya menatap Kirana tanpa sungkan. Siera yang bergelayut manja di lengan Ardian hanya melirik tanpa minat. Tugas utama sebagai sugar baby adalah melayani lelakinya, bukan berbasa-basi dengan orang lain. "Kau harus belajar menyaring perkataan," cetus Leonard yang merasakan ketidaknyamanan Kirana. "Dari gerak-gerik kalian, ini bukan pacar deh. Hai, Nona Kecil, kamu siapanya Leonard?" Ardian melongok ke arah Kirana yang berdiri agak bersembunyi di belakang Leonard. "Daddy ... Kakiku pegal ... Kita ke kamar dulu yuk?" rajuk Siera. Ardian menoleh, "Ide bagus. Kulihat semua orang juga bersenang-senang dengan cara mereka sendiri. Cuma Nathaniel yang tetap setia bersama anak istrinya. Cih! Padahal dulu dia pemain kelas kakap. Sayang sekali wanita itu berhasil mengubahnya." Leonard geleng-geleng kepala, "Kau harus belajar menjaga mulut. Membicarakan orang di teritorialnya sangat tidak bijaksana." "Yah, baiklah. Daripada membicarakan orang lain lebih baik aku bersenang-senang, bukan. Mari, Baby." Ardian melambai pada Kirana. Sepeninggal pasangan itu Kirana mengeluh, "Astaga orang itu temanmu? Hampir saja sarapanku keluar lagi." Leonard tersenyum geli, "Siapa yang lebih membuat mual? Lelaki atau wanitanya?" "Dua-duanya lah. Mengerikan." "Hubungan mereka lebih ke arah keintiman fisik. Tidak seperti kita yang seperti hubungan bisnis biasa," ujar Leonard. "Ya, betul. Hubungan bisnis. Mutualisme." Kirana mengedarkan pandangan. Dia mencoba menebak berapa banyak lelaki yang datang dengan pasangan sah mereka, ketika mendadak tatapannya jatuh pada seorang wanita muda berambut merah berpakaian sedikit seronok. "Ada yang kamu kenal?" Leonard merasakan tangan wanita dalam genggamannya menegang. "Tidak. Mungkin aku salah lihat." Kirana tersenyum. "Kamu keberatan aku bicara sebentar dengan Nathan? Kalau mau kamu bisa ngobrol dengan Angeline. Dia wanita yang baik," kata Leonard. Mendengar Leonard menyebut nama Nathan membuat jantung Kirana berdebar. Oh, dia tidak akan keberatan melihat wajah tampan itu sekali lagi. Mungkin dia bahkan bisa berteman dengan istri dan anaknya. Namun ... "Kurasa aku akan berkeliling saja. Banyak hal menarik yang bisa kulihat," ucap Kirana. "Kamu yakin?" Kirana mengangguk dengan wajah tanpa dosa. "Jangan terlalu jauh, Baby. Aku tidak mau lelaki lain mengira kamu wanita yang sedang sendirian. Oke?" Leonard menarik pinggang Kirana dan mengecup keningnya. "Kamu sudah memberi tanda di depan orang-orang, mana ada yang berani mendekatiku?" Kirana memutar bola mata. "Pintar," bisik Leonard. Mereka berdua pun berpisah jalan. Leonard menghampiri Nathan yang selalu di samping Angeline dan Rafael, sementara Kirana berjalan ke meja prasmanan untuk mengambil segelas minuman ringan. Matanya mencari-cari di tengah kumpulan orang dan menemukan sosok yang dicari. Mengunci sasaran bak seekor cheetah, Kirana melangkah lurus ke depan dan menarik lengan seorang wanita muda berambut merah. "Ups, hei, apa—" Wanita berambut merah itu terbelalak, tapi ekspresinya segera kembali normal. "Hei, Des. Nggak nyangka bisa ketemu di sini?" sinis Kirana yang menggandeng lengan Desi seperti teman akrab, padahal sebenarnya dia sedang menancapkan kuku di kulit wanita itu. "Nana, dengar dulu penjelasan gue," desis Desi. "Ayo, ngobrol di sana." Kirana tersenyum. "Uhm ... Sorry sebentar, ini teman lamaku ... Kami perlu bicara sebentar saja." Desi pamit pada lelaki yang berada di dekatnya sejak tadi pagi. "Okay. Santai saja, Sayang." Lelaki itu tersenyum. Dia sudah mengetahui bahwa Kirana adalah wanitanya Leonard Widjaya. Desi tidak punya pilihan lain. Dia membiarkan Kirana menggandengnya ke tepi ruangan. Jika ada orang melihat, mereka tidak akan menyangka ada ketegangan tercipta di antara kedua wanita tersebut, bak dua selir kekaisaran yang bertikai. "Mana duit gue? Balikin sekarang juga!" Kirana mencengkeram pergelangan tangan lawan bicaranya. "Aduh Na, duit lo sudah gue pakai bayar hutang ... Gue terpaksa, kalau nggak Niko bakal jual gue ke luar negeri." Desi mengernyit kesakitan. "Niko siapa? Nggak ada hubungannya sama gue! Lo memang kelewatan ya ... Sudah ngambil duit gue, masih mau jebak gue! Gue salah banget percaya sama lo ... Dasar sial!" desis Kirana penuh kemarahan. "Dia janji bakal bebasin gue kalau bisa bawa teman yang masih perawan ... Tapi ternyata lo bisa kabur ... Niko marah besar sama gue ...." "Sialan lo. Teman seperti apa yang jual temannya? Harusnya lo senang karena gue bisa lolos. Kalau bukan karena lo bawa lari duit gue, gue nggak bakal terjebak ...." Kirana berhenti bicara. Desi menatap heran, "Terjebak apa?" "Bukan urusan lo." Kirana merenggut clutch Desi dan menggeledah isinya. Tidak banyak yang dia temukan, hanya kartu identitas dan beberapa kartu kredit serta bungkusan persegi karet pengaman pria. "Eh, mau diapain? Itu kartu kredit gue!" protes Desi yang melihat kartu-kartu kreditnya disita. "Lo bisa minta lagi ke daddy lo." Kirana menyimpan semuanya di wrist wallet. "Na, please, gue cuma di-booking semalam, bukan dengan kontrak. Gue nggak dapat kemewahan seperti itu." Desi memelas. "Lo ada mikir nasib gue nggak waktu menyelamatkan diri sendiri? Nggak 'kan? Ya sudah. Impas." Kirana pun melenggang pergi. "Kirana, jangan begitu dong? Please? Hutang gue ke Niko masih banyak dan berbunga. Lo mau lihat gue masuk berita?" Desi mengejar Kirana. "Ngomong aja sama orang-orang. Pasti banyak yang mau bayar mahal untuk satu malam sama lo," ketus Kirana. Dia berjalan semakin cepat ke arah Leonard. Desi tidak mau membuat keributan di tengah orang banyak karena akan berpengaruh buruk bagi mata pencahariannya. Dia berhenti mengejar Kirana. Matanya memperhatikan bagaimana Leonard menyambut Kirana dengan penuh perhatian. Desi pun segera menyadari wanita berambut ikal itu kemungkinan telah menjadi seorang sugar baby. Seulas senyum licik terkembang di bibir merah Desi. "Bertemu teman?" Leonard merangkul wanitanya. "Iya. Ternyata ada teman lamaku." Kirana tersenyum. Mungkin hanya Nathan yang menangkap ketegangan di balik senyum Kirana, tapi dia tidak akan mencampuri hal pribadi orang lain. Karenanya lelaki itu berkata, "Baik, nikmati waktu kalian. Aku sudah janji akan menemani Rafael berenang. Angel akan mengulitiku kalau aku ingkar janji." "Hei, kamu menjadikanku kambing hitam," protes Angeline yang sedang tarik-tarikan dengan Rafael. "Okay. Thank you, Nate. Selamat bersenang-senang, Angel," ucap Leonard. Kirana menatap kagum pada keseluruhan sosok Nathaniel Wayne. Sebagai wanita dia tidak bisa membayangkan lelaki yang memancarkan aura sepertinya bisa takluk oleh seorang wanita. Angeline pasti wanita yang istimewa. Leonard berdeham, "Celaka. Baby-ku menatap lelaki lain seperti itu? Aku menyesal membawamu kemari." "Menatap seperti apa? Aku melihat biasa kok. Habisnya wajah orang itu menyeramkan, tapi bisa punya istri yang cantik," cetus Kirana. "Hmm ... Oke, aku percaya. Lagipula aku akan membuatmu sibuk seharian." Leonard mempererat rangkulan dan membawa Kirana pergi. "Emm ... maksudnya?" Perhatian Kirana sepenuhnya kembali pada Leonard, terutama karena cengkeraman lelaki itu terasa sedikit menyakitkan. Apakah dia cemburu? Kembali ke cottage, Leonard mendorong Kirana masuk dan mengunci pintu. Wanita itu berdebar menantikan apa yang akan terjadi. "Ketika sedang bersamaku, aku mengharapkanmu mencurahkan segenap perhatian padaku, Baby." Leonard mendekati Kirana. "Kamu tidak bisa mengatur ke mana mataku melihat. Tidak sekalian saja pakaikan aku kacamata kuda??" "Akan kupikirkan. Kalau kamu mengulanginya, aku tidak akan segan membawamu pulang dan mengurungmu di kamar. Oke, Baby?" Leonard mendesak wanitanya terus mundur sampai terjatuh di tempat tidur. "Ugh, aku mengerti." Kirana berusaha segera bangun, tapi Leonard menahan kedua tangannya di sisi kepala. Dia bergerak gelisah ketika si lelaki merangkak ke atas tubuhnya. "Sekarang aku ingin menghabiskan waktu berdua saja denganmu. I miss your lips, Baby." Kirana tidak dapat berbuat apa-apa saat Leonard menunduk dan mencium bibirnya. Ciuman yang mendesak, menuntut, mendobrak pertahanan wanita yang tengah dilanda rasa bersalah. Kirana tidak punya pilihan selain membuka diri terhadap ciuman agresif tersebut, dengan harapan dapat meredakan kecemburuan yang aneh ini. "Tunggu, berhenti," pinta Kirana saat ciuman itu bergerak turun ke leher. Leonard yang sedang menikmati kelembutan kulit wanitanya tidak mendengar permintaan tersebut. Dia terus saja mencium dan menggigit lembut. "Leonard, berhenti." Kirana berusaha mendorong d**a si lelaki. Seperti disihir Leonard berhenti. Perlahan dia mendongak menatap wajah cantik yang tersiksa oleh berbagai emosi. "Kamu memanggil namaku?" tanya Leonard. Kirana menarik nafas dalam-dalam dan mengangguk. Jantungnya berdebar sangat kencang, mengantisipasi pergerakan selanjutnya. Sudut-sudut bibir Leonard terangkat membentuk senyuman manis, "Aku menyukainya, Baby." "Kalau begitu lepaskan aku dong ...?" pinta Kirana. Leonard menghela nafas, "Berjanjilah kamu hanya untukku meskipun kita sedang berada di tengah orang banyak. Kamu wanitaku, Kirana, setidaknya untuk satu tahun ke depan." "Aku janji," lirih Kirana. Rasanya lega sekali bisa lolos dari kemungkinan terburuk. Leonard mengecup bibir si wanita sebelum menjatuhkan diri di sebelah Kirana. Mereka berdua berbaring diam sambil menatap langit-langit kamar, sibuk dengan pikiran masing-masing. Perlahan Leonard meraih tangan Kirana dan menggenggamnya erat. "Aku membuatmu takut?" tanya Leonard. "Iya lah. Wanita mana yang tidak takut ketika dipojokkan oleh lelaki yang sedang gelap mata?" cetus Kirana. "Sorry, Baby." Leonard mencium punggung tangan wanitanya dengan lembut. "Aku tidak berniat menyerahkan diri pada siapa pun. Kamu tahu, dan jangan menggunakan hal itu untuk mengancamku lagi." Kirana menatap dalam. Leonard tidak menjawab, hanya membalas tatapan. Hatinya menginginkan wanita ini dan dia tidak tahu sejauh apa dirinya akan berusaha untuk mendapatkan Kirana. Peristiwa yang baru saja terjadi pun membuatnya terkejut, bahwa dia yang biasanya dingin dan penuh perhitungan bisa bertindak impulsif. "Besok kita bicarakan lagi mengenai isi surat perjanjian. Aku ingin menjalani hubungan yang baik untuk kedua belah pihak," ucap Leonard tulus. "Oke. Kita akan bicara banyak. Setidaknya sudah semakin jelas apa yang tidak kita sukai atau sebaliknya." Kirana tersenyum tipis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN