Bab 5

2196 Kata
"Aku nggak nyangka, Mas. Kamu bisa semarah itu sama Indah," ucap Maya. "Biar saja, May. Biar dia tahu diri. Memang wanita tak pandai bersyukur. Sudah dikasih hidup enak malah bertingkah. Apa susahnya sih membiarkanku menikah lagi? Toh aku bisa memberikannya nafkah. Aku memiliki uang yang bisa menjamin hidupnya. Cuma tinggal jadi istri saja kok banyak mau." "Masa Mas setega itu sih. Sampai rumah yang ditempati orang tua Indah harus diambil kasian mereka, Mas." "Tidak sudi dan tidak ikhlas hartaku dibagi untuknya. Kalau sudah cerai, ya mereka tidak punya hak apapun. Yang kerja aku, semua yang ada milikku. Mending punya anak, bisa untuk anak. Nggak ada anak ya nggak punya hak lah!" "Masih mending biaya untuk kuliahnya dia aku tidak minta ganti rugi. Biaya kuliahnya dia dulu aku yang menanggung hingga wisuda. Emang dasar perempuan tidak tahu diri. Kamu kenapa?" tanyaku penasaran. Tapi ngomong-ngomong soal biaya kuliah, aku akan meminta ganti. Enak saja. Dia kan bukan istriku lagi. Rugilah ya kalau aku sampai tak memintanya kembali. "Em, gak apa-apa, Mas," jawabnya. Gawat, jangan-jangan Maya mikir aku pelit banget. Bukan seperti itu, kalau masih jadi istri apa pun akan kuberikan. Hanya saja jika bertingkah seperti Indah ya jangan harap. Tidak sudi aku kalau harus membagi hartaku untuknya. Aku harus berkilah ini di depan Maya. Nanti Maya mikir aku yang gimana-gimana lagi. "Aku terlalu sakit hati, May, Indah minta cerai. Aku hanya tersulut emosi saja. Entah, aku pun bingung kenapa bisa sekasar itu. Sakit sekali aku melakukan itu pada Indah. Aku tersinggung ketika dia bilang sudah tidak ada rasa untukku." "Nggak apa-apa, Mas. Wajar. Namanya juga emosi. Tapi kamu nggak kasihan sama dia? Kamu usir ujan-ujan gini. Kalau aku di posisi dia, sakit hati banget. Dan aku nggak akan melupakan perlakuan kamu seumur hidup. Kalau aku di posisi Indah, pasti aku balas kamu, Mas. Aku buat kamu hancur, sehancur-hancurnya," ucapnya greget. "Iya kalau kamu. Kamu kan cerdas. Kalau Indah? Mana ada pikiran begitu. Paling juga nangis aja bisanya." "Dah ah, ayo tidur, Mas. Ujan-ujan gini enak loh. Cepet jadi," ujarnya membuatku terkekeh. "Nggak usah mikirin Indah lagi. Kan ada aku, Mas. Aku bisa jadi istri yang kamu inginkan." "Mas, tapi aku nggak suka pekerjaan rumah. Mas harus cari Inem yah? Untuk membantu mengurus rumah dan masak. Aku nggak suka masak, cuci baju, cuci piring beres-beres rumah, ngepel, nyetrika pakaian, aku nggak suka Mas. Lagian kita orang kaya, masa nggak punya pembantu," rajuknya manja. Karena gemas, aku pun mencubit hidungnya. Nanti Mas akan telpon Somad. Biar dia yang Carikan pembantu. Pokoknya tugas kamu cuma melayani aku, dan selalu ada di sampingku. Ingat, kamu juga nggak boleh capek." "Hum, iya Mas. Besok kita masuk kantor saja ya? Aku jenuh di rumah." "Nggak mau bulan madu?" "Setiap hari juga kita akan bulan madu, Mas. Kan di rumah yang cukup besar ini kita hanya tinggal berdua," ujarnya sembari bermanja di pundakku. Wanita seperti ini memang yang aku inginkan. Mengerti apa yang suami inginkan. ***** POV INDAH….. Hujan masih sangat lebat. Angin juga bertiup kencang. Jalanan begitu Sepi. Bahkan di sepanjang jalanan komplek juga tidak ada kendaraan yang melaju. Sepi sekali. Entah, kemana aku harus melangkahkan kaki. Uang sedikitpun tidak ada. Ponsel juga tidak ada untuk menghubungi temanku. Pulang ke rumah Ayah dan Ibu, tidak mungkin bisa ditempuh lewat jalan kaki. Mereka juga harus segera keluar dari rumah itu. Sebelum Mas Danang menyuruh orang suruhannya untuk mengusir mereka. "Ya Allah, Ayah … Ibu … maafkan Indah harus menyusahkan kalian." Aku tak menyangka dengan sikap Mas Danang. Ternyata dia sampai hati berbuat seperti itu. Aku benar-benar tak menyangka dan ini seperti mimpi. Ia perlakukan aku seperti binatang. Diusir, diseret, hingga dahiku terbentur tiang. Sedikitpun tidak ada rasa iba darinya meskipun aku tak mengharapkannya. Tiada kata lain yang mampu terlontar dari mulutku selain kata jahat! "Mulutmu sangat jahat, Mas. Bukan hanya sikapmu saja. Bulshit kata cinta yang terlontar dari mulut manismu itu. Ternyata kenyataannya seperti itu. Benar-benar jahat, Mas! Demi Tuhan aku tidak akan pernah melupakan semua perbuatanmu! Aku akan mengingatnya! Akan kubalas semua perbuatanmu, Mas. Mari lihat siapa yang akan menyesal. Aku … atau kamu!" Aneh! Aku telah diperlakukan seperti itu oleh suamiku. Dicampakkan begitu saja. Tapi tidak ada sedikitpun rasa sedih dibuang oleh dia. Air mata pun tak ada menetes. Mungkin karena hatiku sudah terlampau sakit dan berpikiran, ah ya sudahlah! Tidak pantas juga laki-laki seperti itu ditangisi. Sayang air matanya. Sekarang waktunya membuktikan diri kalau aku bisa menjadi lebih baik dan sukses tentunya. Aku tidak akan menyesal seperti yang dia katakan. Dia pikir aku gila akan hartanya. Tapi ngomong-ngomong aku harus kemana sekarang ini? Sudah hujan juga tidak berhenti. Ya Allah ya Robby, tolonglah hambamu ini. Mau mengumpat Mas Danang tapi percuma. Sakit banget hati aku. Rasanya aku sangat benci sama dia dan ingin membuatnya menyesali atas sikapnya. Aku masih belum bisa melupakan perlakuannya. Semua itu terus teringat sepanjang jalan. Membuat rasa benci itu terasa begitu hebat dan ada rasa ingin segera menghancurkannya. Tin …! Tin ….! Aku segera menepi tatkala suara klakson mobil mampu menyadarkan lamunanku. "Kalau mau bunuh diri, jangan di jalan sepi! Coba solusi terbaru saja. Terjun langsung ke sungai depan. Kebetulan aliran sungainya juga sedang deras!" ucap si pengendara mobil. Aku menoleh ke arah sumber suara itu dengan hati yang sedikit kesal. Memang siapa yang mau bunuh diri. Hujan-hujan begini jalanan sepi. Aku pikir tidak ada mobil berkendara, ya sudah coba sesuatu menantang dengan cara berjalan di tengah jalan. Rasanya itu memang beda. Rugi sekali kalau sampai bunuh diri hanya untuk seorang Danang. Seperti tidak punya iman dalam diri saja. Bagiku, dengan sikap Danang seperti itu memang dia bukan imam yang baik. Memang pantas untuk dilepaskan. Di ikhlaskan kalau perlu diikhlaskan untuk pergi ke alam barzah. "Indah! Ngapain kamu malam-malam begini ujan-ujanan?" tanya pengendara mobil itu saat mata kami bertemu. Aku sedikit lega karena mendapati Reyhan yang tak lain adalah Kakak dari Haris. Laki-laki dingin seperti es batu yang terkenal tidak pernah berbicara pada siswa perempuan saat kuliah dulu. Dan untuk berbicara padaku pun baru kali ini. Jarak usia Reyhan dan Haris cukup dekat, hanya satu tahun. Makanya mereka pun kuliah mengambil jurusan yang sama dan mempunyai kelas yang sama pula. Lulus juga bareng. Meski keduanya bersaudara, tapi sikapnya sangat berbeda. Haris sangat ramah dan baik. Sementara Reyhan, angkuh, jutek, dingin, kasar dan galak mungkin. Entah sih, mungkin itu hanya asumsiku saja. Karena yang kutahu saat kuliah dulu dia memang seperti itu. Bahkan kami pun merasa kalau Reyhan tidak suka terhadap wanita sangking dingin dan cueknya. "Ngapain malam-malam di jalan sendirian? Hujan-hujanan lagi?" tanyanya lagi. Aku masih diam mematung dan tak menjawab pertanyaannya. "Mau kemana? Ayok naik ke mobil saya," pintanya. Pemuda itu, dari dulu masih saja menggunakan bahasa yang formal. Tidak ada yang berubah masih sama. Apa dia juga masih sendiri? Entahlah setelah sekian lama aku baru bertemu dengannya lagi. "Naik! Malah bengong," ucapnya lagi. "Tapi baju saya basah," singkatku karena merasa segan. Meskipun aku sangat berharap tumpangan itu. Terpaksa aku pun menggunakan sebutan saya karena merasa segan padanya. "Naik saja!" ujarnya. Aku pun mengangguk kemudian berjalan menuju jok belakang. Belum sempat aku membuka pintunya, Reyhan mencegahku. Aku bingung memanggilnya apa. Ini kali pertama laki-laki itu berbicara denganku. "Jangan duduk di belakang! Duduk di depan saja. Saya bukan supir pribadimu," ujarnya. Aku kembali mengangguk. Kirain Saya bukan supir pribadi anda. "Terimakasih," ucapku saat aku sudah duduk di sampingnya. Dia tidak menjawab ucapan terimakasih-ku dan kembali mengemudikan mobilnya. "Kamu mau kemana?" tanyanya sambil fokus mengemudi. "Mau ketemu, Haris," singkatku. "Jangan bercanda. Mau ngapain ketemu adik saya malam-malam? Suamimu bagaimana? Kau kan wanita bersuami. Malam-malam begini menemui laki-laki lain, tidak pantas sama sekali." Aku tak kuasa menjawab ucapannya. Air mata ini tiba-tiba saja mengalir dengan derasnya. Membuat laki-laki yang berada di sampingku saat ini merasa heran. Terbukti dari cara dia menatapku meskipun terlihat kaku. "Loh, saya nanya kamu malah nangis. Memang suamimu kemana?" tanyanya lagi. Aku menarik nafas berat kemudian dengan terpaksa memberitahu Reyhan. Aku juga tidak mau dicap sebagai perempuan yang tidak baik di matanya. Wanita bersuami keluyuran malam-malam. Mau ngapain? Sampai rela hujan-hujanan. Mungkin saja pikiran dia saat ini seperti itu. "Saya ditalak dan diusir oleh Danang," jawabku singkat. "Jangan bercanda. Danang sepertinya sangat mencintaimu sewaktu kuliah dulu." "Cinta itu bisa luntur seiring bergulirnya waktu. Namanya juga laki-laki. Mudah berubah dan berpaling jika keinginan mereka tidak terpenuhi." "Jangan sebut laki-laki. Karena tidak semua laki-laki seperti suamimu itu. Kecewa sama laki-laki boleh. Tapi jangan salahkan semua laki-laki," ujarnya seperti merasa tersinggung. "Mungkin ada yang tidak. Itupun hanya beberapa dari sekian banyaknya." "Em, Reyhan, Pak Reyhan ss---" Arggh… bingung aku memanggilnya dengan sebutan apa. "Panggil Reyhan saja," pungkasnya seperti mengerti pemikiranku. "Saya minta tolong antar saya menemui Haris. Saya tidak tahu lagi akan minta tolong pada siapa kalau bukan padanya," ujarku. "Tapi kamu tidak bohong 'kan dengan apa yang kamu ceritakan pada saya barusan?" Aku mengangguk mantap untuk menjawab pertanyaannya. **** Dua puluh menit berlalu, kami pun tiba dikawasan perekomplekan elit di daerah bukit Mas. Hujan juga sudah reda. Reyhan membawaku masuk ke rumahnya kemudian memanggil adiknya. "Ris! Haris! Ada yang nyari!" teriaknya setelah kami sudah berada di dalam rumah. "Saya tinggal ke kamar saya dulu ya," ujarnya. Aku mengangguk. Rumahnya terasa sepi sepertinya orang tua mereka sedang tidak ada. Wajar saja, ini kan rumah keluarga pembisnis. Sudah pasti rutinitasnya kalau tidak ke luar kota ya keluar negri. "Indah," sapa Haris. "Silahkan duduk. Kenapa pakaianmu basah kuyup?" tanyanya. "Bajuku basah, Ris. Kalau aku duduk nanti sofa kamu basah," ucapku. "Tidak masalah, Indah … jangan berlebihan begitu. Ada apa menemuiku malam-malam? Suamimu bagaimana nanti kalau tahu," ucapnya. Aku duduk, kemudian mengulas senyum. "Aku diceraikan, ditalak, dan diusir oleh Mas Danang Ris. Bukan hanya itu, Mas Danang juga meminta orang tuaku untuk segera meninggalkan rumah yang kini ditempati mereka. Karena rumah itu dibeli menggunakan uang Mas Danang," kujelaskan semua pada Haris. Aku menceritakan semuanya. Sedetail mungkin. Bukan niat membuka aib, tapi saat ini aku Memang butuh bantuannya juga solusi. Tak terasa, aku bercerita sambil merintikkan air mata. Kenapa aku jadi lemah di hadapan pria ini. Ah, payah. Setelah aku selesai bercerita, Haris menyunggingkan senyum sinis ya sembari menggelengkan kepala. "Busuk mulut suamimu itu tahu kamu?" tanggapnya. "Maksud kamu apa, Ris?" "Sering aku lihat, suamimu itu makan bersama sekretarisnya. Gaya mereka itu bukan seperti bos dan sekretaris. Tapi, seperti sepasang kekasih. Maaf aku harus kasih tahu kebenarannya." "Jadi maksud kamu mereka sudah berhubungan saat masih bersamaku?" "Aku tidak tahu, tapi mereka terlihat mesra. Meskipun hanya berteman bagi mereka mungkin, tidak seharusnya terlalu dekat. Kenapa? Karena ada hati yang harus dijaga. Hati yang setia menunggu saat pulang bekerja," ujarnya. "Aku yakin, Danang akan menyesal telah memperlakukanmu seperti itu. Sekarang kamu fokus saja menata masa depan. Buktikan pada mantan suamimu itu, bahwa kamu tidak akan pernah menyesal telah meminta cerai. Kamu juga tidak akan pernah mengemis untuk kembali. Jadilah wanita mandiri yang kuat. Semoga suatu saat nanti, kamu juga bisa mendapatkan laki-laki yang baik, dan benar-benar menerima setiap kekuranganmu. Hakikatnya, pasangan adalah saling menyempurnakan kekurangan masing-masing. Karena tidak ada manusia yang sempurna," ujar Harus. "Jangan pernah berkecil hati. Hakikatnya, hak mendapat keturunan, adalah mutlak kehendak Allah. Jangankan kamu yang tidak divonis mandul, yang mandul saja bisa punya anak jika Allah berkehendak. Asal, kita pasrah. Ikhlas pada Allah. Kita jangan menjadi manusia yang seperti tidak punya Tuhan," ujarnya. "Kamu benar, Ria. Terimakasih suportnya. Ris, aku mau minta tolong boleh?" tanyaku lagi. "Apa? Katakan saja," jawabnya singkat. Bagaimana ini? Aku katakan saja kali ya, kalau aku ingin bekerja di tempat dia. Aku ingin membuat perusahaannya menjadi maju dengan ide-ide yang kumiliki selama ini untuk melawan perusahaan Mas Danang. Tapi aku segan untuk mengatakannya. Aku benar-benar butuh pertolongan Haris. Terutama untuk mencari tempat tinggal baru bagi kedua orangtuaku. Uang aku sama sekali tidak punya. Selama ini aku menabung di ATM. Tapi ATM pun sudah diambil oleh Mas Danang. Aku benar-benar tidak punya uang. Dan yang menjatah uang bulanan bagi orang tuaku juga Mas Danang. Mas Danang rajin mengirim uang untuk mereka sebesar 1 juta rupiah untuk kehidupan di kampung. Sedangkan aku? Aku mendapat uang jajan 1 juta 500 perbulan. Kata Mas Danang, untuk jajanku sendiri. Karena aku belum mempunyai anak. Itu di luar uang belanja. Semua kebutuhan sehari-hari, pakaian, hingga perhiasan yang aku kenakan semua Mas Danang yang mengatur. Aku hanya cukup menjadi istri yang penurut dan diam di rumah. Tidak boleh pergi kemanapun tanpa seizinnya dan bersamanya. Untuk menutupi kekurangan kebutuhan orang tuaku di kampung, aku selalu menyisihkan untuk mereka dari hasil uang yang diberi Mas Danang. Maklum, usia mereka sudah menua. Dari uang itu pula, aku bisa membantu setiap orang susah yang membutuhkan. Kadang aku melakukannya pun seizin Mas Danang. Tidak diam-diam. Aku tidak pernah menyangka kalau ternyata hidupku berakhir seperti ini. Aku seperti orang yang biasa hidup bergantung dengan suami, tapi tiba-tiba harus dituntut menjadi mandiri. Itu pun karena aku enggan untuk dimadu. Meskipun aku mandul, aku enggan untuk berbagai suami. Mungkin aku egois, tapi aku sungguh tidak mampu membohongi perasaanku sendiri. "Ndah, mau minta tolong apa? Katakan saja," ucap Haris. "Em,,, anu…." Ya Allah, aku bingung. Bagaimana ini? Katakan saja atau? Urungkan? Aku benar-benar merasa segan dan tidak enak. Tapi aku benar-benar butuh pertolongannya. Aku juga memikirkan bagaimana keadaan Ibu dan Bapak di kampung saat ini. Apa Mas Danang sudah mengusir mereka sama sepertiku?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN