"Mas gimana masih nggak mau buka pintu istri pertamamu? Ya sudahlah biarkan saja. Kan masih ada aku," ucap Maya yang tiba-tiba saja membuatku dongkol.
"Kalau dia mau buka pintu, aku tidak mungkin masih di sini! Kalau bertanya itu yang pakai logika kenapa!" bentakku membuat Maya terdiam. Tak peduli apa yang dia pikirkan.
"Minggir kamu! Aku mau dobrak pintunya!" pintaku dengan nada suara yang meninggi. Tampak mata Maya berkaca-kaca. Tapi, aku tak memperdulikannya karena fokusku saat ini ada pada Indah.
Maya menyingkir, aku pun mulai mengambil ancang-ancang. Satu, dua, dan…
Brak!
Brak!
Brak!
Akhirnya setelah mencoba tiga kali hingga badanku terasa sakit, pintu itu terbuka juga.
"Ma! Mama!" panggilku. Aku mencari saklar lampu karena suasana di dalam kamar seperti kosong.
Tek!
Betul saja. Saat lampu menyala Indah tidak ada di dalam kamarnya. Jelas saja membuatku semakin panik.
"Ma! Kamu kemana? Ini sudah larut malam. Kenapa pergi tidak memberi kabar?" Jujur saja aku merasa panik. Ada-ada saja Indah itu. Kenapa egois sekali. Pakai acara pergi dari rumah tanpa pamit pula. Seperti anak kecil saja. Apa salahnya menerima pernikahan ini. Toh aku menikah lagi semata-mata juga agar bisa mendapatkan anak dan bisa menjaga kita kelak jika sudah tua nanti.
"Mas sudahlah! Mbak Indah itu sudah dewasa. Mungkin dia sedang mencari ketenangan agar pikirannya tenang. Pergi ke tempat orang tuanya mungkin? Karena jika mengadu ke mertua tidak mungkin! Orang tuamu kan sudah meninggal Mas!" ucap Maya.
"Sudah kamu diam saja! Masuk kamar sana. Jangan buat aku tambah pusing. Keluar cepat dan masuk ke kamarmu!" ujarku daripada Maya menjadi sasaran kemarahanku nantinya.
"Dimana-mana, malam pengantin itu lagi seneng-senengnya. Ini malah kaya gini!" protesnya seraya berlalu.
Seperginya Maya, sejenak aku duduk di depan cermin. Memikirkan kemana Indah pergi. Mungkinkah dia pulang ke rumah mertuaku? Tapi sepertinya tidak mungkin karena rumah mertuaku bahkan sangatlah jauh. Aku tahu betul tentang Indah, dia tidak mungkin pergi jauh tanpa pamit padaku. Selama 10 tahun menjadi istriku, baru kali ini dia meninggalkan rumah tanpa pamit.
Netraku menangkap sebuah buku catatan miliknya. Iseng aku Membuka buku itu. Siapa tahu dapat kutemukan petunjuk. Biasanya, perempuan suka menggoreskan tintanya di sana.
[AKU SAKIT] k*****a judul dalam tulisan di atas. Dengan seksama. Namun, sebelum itu aku beranjak untuk menutup pintu kamar kemudian mengganjalnya dari dalam menggunakan sofa. Karena pintunya rusak dan tidak bisa terkunci. Jelas saja agar Maya tidak masuk tiba-tiba saat aku tengah serius membaca goresan Tinta dari tangan Indah.
[Hari ini adalah hari pernikahan suami dan temanku. Teman yang bekerja sebagai sekretaris suamiku di kantor. Ini seperti mimpi dalam hidupku. Semua ucapan Mas Danang yang akan setia semua hanya ucapan semata. Tidak ada buktinya. Apakah begitu ucapan laki-laki? Tidak bisa dipegang? "Aku akan menerima Indah apa adanya, Pak. Bahkan sekalipun Indah Mandul, aku akan tetap setia dan menjaganya," ucapnya kala itu sebelum menjadikanku seorang istri. Namun, ucapan hanya tinggalah ucapan. Faktanya dia menikah lagi.]
[Aku hanyalah wanita biasa yang juga lemah. Saat suamiku mengutarakan keinginannya untuk menikah lagi, jelas saja hatiku terasa sangat sakit. Sakit sekali. Duniaku seakan runtuh. Aku seperti tidak punya kaki supaya kuat untuk berdiri. Wajar aku merasa seperti itu karena aku mencintai suamiku.]
[Hal yang paling menyakitkan adalah saat dia memintaku untuk menghadiri acara pernikahannya. Sungguh, hati suamiku itu seakan sudah tertutup kabut. Apa dia tidak memikirkan bagaimana perasaanku? Bagaimana sakitnya aku menyaksikan pernikahan itu? Saat mendengar kabar dia ingin menikah, dan melihatnya bermesraan dengan calon istri barunya saja sudah sangat menyiksa dan membuat d**a ini terasa sesak, sakit untuk bernafas. Apalagi menyaksikan pernikahan itu? Aku tidak cukup kuat untuk melakukannya. Hingga aku pun memilih untuk tidak menghadirinya. Bahkan melihat pakaian yang diberikan calon maduku saja sudah mampu membuat air mataku mengalir deras.]
[Sekarang aku tidak tahu lagi kedepannya akan seperti apa? Ikhlaskah aku dimadu? Meskipun aku tahu, aku tidak sempurna dan suamiku memang punya hak untuk menikah lagi. Aku sadar itu, tapi hatiku pun tidak siap. Rasanya sangat-sangat menyakitkan. Aku tak kuasa jika harus melihatnya keluar kamar bersama perempuan lain. Aku tak sanggup. Entahlah, mungkinkah aku akan bertahan? Atau memilih untuk meninggalkan Mas Danang. Yang jelas saat ini aku sakit ….]
"Kamu tidak boleh meninggalkan aku, Indah. Kamu harus bertahan. Aku akan memberimu sebuah pemahaman dan nasihat betapa pentingnya seorang anak untuk masa tua kita nanti. Rasa sakitmu akan hilang seiring berjalannya waktu."
"Maafkan aku yang tidak bisa menepati janjiku. Karena bagiku keturunan itu sangat penting. Ndah. Tapi aku janji aku akan terus menyayangimu. Kamu hanya perlu waktu untuk menerima semua ini dan menghilangkan rasa sakitmu. Aku yakin kamu akan bisa menerimanya karena aku tahu kamu mencintaiku dan tidak bisa hidup tanpaku. Aku yakin itu. Kamu hanya harus mengesampingkan egomu, Ndah."
Tok ...tok … tok ….!
"Mas aku ngantuk! Cepat buka pintunya. Ngapain sih pake acara ditutup segala?" teriak Maya dari luar.
Aku pun segera beranjak. Kembali menarik sofa dan membuka pintunya.
"Kamu ngapain sih, Mas?" protes Maya.
"Nggak apa-apa, Sayang. Maaf ya, Mas tadi ngebentak kamu," ujarku sembari mengelus rambutnya. Maya nampak sangat cantik dengan lingerie berwarna putih tipis yang ia kenakan.
"Aku ngerti kok, aku paham perasaan kamu, Mas," ujarnya seraya bermanja. "Kamu sudah merasa tenang? Apa sudah tahu dimana keberadaan Mbak Indah?" tanyanya.
"Sudah. Benar kata kamu, mungkin Indah sedang menenangkan pikiran. Jadi biarkan saja dulu. Nanti juga dia pulang. Dia sudah bukan anak kecil lagi dan pasti punya pikiran. Aku dan Maya pun melanjutkan langkah kami menuju kamar pengantin yang mungkin sudah disiapkan oleh Maya meskipun tak seindah kamar pengantin lainnya. Tapi, yang terpenting kamarnya luas dan cukup nyaman untuk kami menghabiskan malam bersama.
Krek!
Langkahku terhenti seiring bunyi pintu terbuka. "Panjang umur, Mas. Itu Mbak Indah pulang," ucap Maya. Indah melirik penampilan Maya dari atas hingga bawah. Mungkin dari ujung kepala hingga ujung rambut. Segera aku pun menghampirinya.
"Dari mana kamu?" tanyaku.
"Dari tempat teman," singkatnya terlihat malas menjawab.
"Kenapa tidak meminta izin padaku? Ingat, Ndah! Aku ini suamimu! Hormati dan hargai keberadaanku," ujarku mengingatkan.
"Aku sudah meminta izinmu, aku sudah mengirim pesan untukmu. Tapi mungkin kamu terlalu sibuk hingga tak sempat membaca pesan dariku," ujarnya seraya berlalu.
"Sudah Mas, tak usah berdebat. Aku lelah dan ingin segera beristirahat. Mau punya anak gak?" bisik Maya mesra.
Belum sempat kami masuk ke kamar, Indah kembali keluar sambil menggelengkan kepala.
"Mau kemana kamu?" tanyaku lagi.
"Pindah kamar! Sepertinya ada yang sudah lancang masuk ke kamarku dan merusak pintunya. Entah kenapa orang itu suka sekali mengusik ketenanganku!" singkatnya.
"Oh, Mbak Indah mau pindah kamar ya? Bagus deh. Biar aku saja kalau begitu yang menempati kamar Mbak Indah ya?" ucap Maya. "Mas, kita pindah ke kamar Mbak Indah saja," ujar Maya.
"Tapi, May?"
"Pakailah kalau kalian ingin. Dan aku akan tidur di kamar atas," ujar Indah seraya bergegas menyusuri anak tangga.
"Sebaiknya kita memakai kamar lain saja, May. Apalagi disitu masih terisi pakaian Indah," ujarku karena ada perasaan tidak enak.
"Nggak apa-apa, Mas. Orang Mbak Indahnya juga yang mengizinkan kok."
"Tapi, May…."
"Nggak ada tapi-tapian. Ayo cepat." Maya pun menarik tanganku dan membawaku masuk ke kamar Indah.
Sampai di dalam, bau parfum Indah begitu menyengat. Membuatku merindukan akan kehangatan tubuhnya.
"Mas," Rajuk Maya setelah menutup pintu.
"Hum."
"Tolong matikan lampunya ya," ucapnya. Aku pun mengangguk…..
******
POV Indah….
Demi Tuhan ini sangat menyakitkan. Kalau sampai mereka pindah ke kamar kami, sementara pakaianku masih ada di kamar itu. Kalau seperti itu, mereka benar-benar tidak berperasaan dan berpikiran. Aku tidak boleh lemah dan aku harus kuat. Semua sudah terjadi, kini aku hanya bisa pasrah. Mencoba bertahan dan bersabar sampai batas mana. Melihat dulu bagaimana sikap mereka kedepannya.
Baiknya aku diam terlebih dulu sambil memperhatikan bagaimana sikap mereka. Untuk mencari kesibukan pun, mungkin aku akan kembali bekerja. Aku akan mencari pekerjaan di kantor Haris yang tak lain adalah saingan dari perusahaan Mas Danang. Aku juga akan meminta menjadi sekretarisnya. Aku tahu betul bahkan Mas Danang sangat membenci Haris. Dia mengira kalau Haris yang tak lain adalah teman kuliahku dulu itu, memiliki rasa untukku. Padahal itu hanyalah pemikiran Mas Danang saja. Permusuhan mereka bukan hanya dari bangku kuliah karena kebetulan kami kuliah di tempat yang sama. Tapi hingga ke perusahaan kami yang juga bersaing dengannya. Terutama produk yang dijual oleh perusahaan kami juga produk yang bersaing di pasaran. Ideku terlalu banyak tertimbun selama ini. Kini waktunya aku keluarkan semua kemampuan yang aku punya untuk bersaing dengan suamiku sendiri.
Begini caraku mengobati luka hati yang telah kau torehkan, Mas. Caramu meminta izin menikahi temanku sangat menyakitiku. Kau terus ingatkan aku sebagai wanita yang tak sempurna.
Kau bilang mencintaiku dan mau menerima kekuranganku. Bahkan saat aku mandul sekalipun. Tapi kenyataannya? Ucapanmu, janjimu, hanyalah pemanis yang kau gunakan untuk mendapatkanku dulu. Aku bukanlah wanita mandul karena dokter pun tidak mengatakan aku mandul. Hanya saja, memang aku belum dipercaya untuk memiliki keturunan. Tapi kau sudah menjudgeku seperti itu.
Caraku membalas sakit hatiku dengan bekerja di perusahaan musuhmu. Kau bekerja bersama istri barumu, lantas aku menjadi babu di rumah ini karena aku wanita rumahan? Oh tidak mungkin. Jika esok kau memberiku tugas seperti itu, maka aku akan dengan tegas menolaknya…..
Mari kita mulai permainan kita Mas. Aku pun ingin melihat seberapa adilnya dirimu.