Sesuai anjuran Mbak Mitha aku pergi ke apotik untuk membeli testpack. Hari ini aku memang ijin sekolah. Rasanya percuma juga aku sekolah jika hatiku tidak tenang.
"Em, aku ingin cari alat test kehamilan untuk temanku. Apa dijual di sini?"
Sungguh aku tak berniat berbohong hanya saja diusiaku yang baru 16 tahun apa pantas aku membeli alat tersebut. Setelah aku mendapatkan testpack, buru-buru aku pergi ke luar apotik untuk pulang.
Setelah sampai rumah. Ku amati benda yang baru saja aku beli. k*****a perlahan aturan pakainya. Sesekali langkahku ragu, aku begitu takut bahkan jantungku berdegub kencang. Cukup lama aku berdiam diri. Sampai aku rasa siap. Kutampung urinku di wadah kucelupkan testpack sesuai anjuran pakai.
Hatiku terus berucap negatif. Biar kali ini negatif, ya Tuhan. Jika kebanyakan wanita menginginkan positif aku justru sebaliknya.
Tetapi sepertinya doaku meleset perlahan 2 garis itu berwarna dan semakin terang. Ku goyang-goyangkan hasilnya takut salah. Ku kucek mataku tak percaya. Tetapi justru warna merahnya semakin terang. Hatiku semakin tak karuan, ku buka lagi testpack dengan merk berbeda memastikan.
Aku memang membeli 5 macam testpack dengan merk yang berbeda. Takut hasilnya meleset. Nyatanya Ke-5 test pack yang aku gunakan semua menampilkan hasil yang sama positif hamil.
Melihat hasilnya membuat tubuhku goyah, bahkan aku jatuh dan duduk di lantai, akupun menangis putus asa. Entah apa yang selanjutnya aku lakukan?
Setelah sore, aku baru ke luar dari kamar mandi. Aku langsung masuk ke kamar tanpa makan terlebih dulu. Ku pandangi diriku di cermin. Ku usap perutku, ku dongakkan wajahku ke atas.
Hemm, aku sudah menjadi bagian wanita-wanita yang memiliki anak tanpa pernikahan. Bagaimana kelak nasib anakku ? Apa yang orang lain akan katakan tentangku ? Apa aku harus memberi tahu Rendra, dan apa nanti anak ini mesti tahu siapa papanya ?
Padahal sejak dulu aku sangat berharap anakku dapat merasakan kasih sayang yang lengkap dari kedua orangtuanya
Sementara ibu.
Tok! tok!
"Mira... Mira kamu kenapa, Nak ?" Kenapa dari kemarin malam kamu mengurung diri. Kamu punya masalah di sekolah ? Bicarakan pada Ibu, Nak."
Ibu terus saja berada di depan pintu kamarku. Ibu sangat cemas denganku. Apalagi aku belum keluar juga. Total sudah 2 hari aku mengurung diri di kamar. Dan dipanggil seperti apapun aku tak kunjung ingin ke luar.
*
Ibu semakin cemas dan dengan terpaksa akhirnya ibu menelpon Maher. Ibu merasa harus ada orang lain yang menasehati Mira.
"Assalamuaikum, Nak. Bagaimana kabarmu di Bandung?" tanya ibu Ratih setelah panggilan teleponnya terjawab.
"Walaikumsalam, Bu. Aku baik-baik saja di sini. Bagaimana Ibu dan Mira?" balas Maher lembut.
"Hm, ibu menelpon kamu sebenarnya ingin meminta bantuan kamu, Nak. Akhir-akhir ini Mira terlihat berubah. Anak itu lebih sering murung dan mengunci dirinya di kamar. 2 hari ini Mira tidak ke luar kamarnya, ibu takut Maher ?"
"Hah. Kenapa Ibu baru bilang. Baik aku akan segera pulang ke Jakarta. Ibu tak perlu cemas. Aku rasa Mira tidak kenapa-kenapa."
*
Ke esokan paginya, Maher sudah menumpangi kereta arah Jakarta. Meski ia meminta ibunya untuk tenang tapi sebenarnya laki-laki itu sangat khawatir. Tiba-tiba saja ia takut Mira seperti Adel mantan pacarnya yang justru ketahuan hamil oleh sahabat Maher sendiri. Dan sejak itu Maher tidak pernah ingin percaya dengan wanita.
4 jam perjalanan akhirnya Maher sampai ke rumah. Diciumnya punggung tangan ibunya yang memang sudah menunggu Maher di depan gerbang.
"Bagaimana Bu, Mira. Apa ia sudah mau ke luar kamarnya?"
"Belum, Nak."
Raut kecemasan terlihat jelas diguratan wajah Ibunya.
Maher pun segera ke kamar Mira setelah menaruh tasnya.
"Mira... Mira ini abang tolong buka pintunya."
Merasa tak ada jawaban dari dalam kamar, semakin membuat Maher tak sabaran.
"Mira. Buka pintunya, abang mau bicara. Kalau Mira gak buka juga abang akan dobrak pintunya," ancam Maher.
Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka. Nampak Mira yang carut marut. Rambutnya mengembang layaknya singa, matanya sembab. Ada lingkaran hitam pada bawah matanya. Terlihat jelas jika Mira tidak tidur beberapa hari ini.
"Ibu dan Maher jelas kaget dengan keadaan Mira. Tak biasanya anak itu terlihat begitu putus asa. Maher menangkup wajah Mira.
"Mira kamu kenapa. Tolong bicarakan dengan abang, Mir."
Mira masih saja diam. Pandangan matanya kosong. Mira layaknya mayat hidup.
"Mira, Mir tolong kamu jangan begini apa kamu gak kasihan sama ibu. Ibu sama abang khawatir Mir."
Mira menoleh ke Maher, pandangan mereka bertemu. Dipeluknya Maher dengan erat. Tangis Mira pecah untuk kesekian kalinya. Hatinya hancur. Merasa putus asa dan frustasi tapi ia sama sekali tak berani membicarakan masalahnya. Maher pun hanya bisa menenangkan Mira dalam dekapannya. Bagaimana pun Mira adalah adik yang sangat ia sayangi. Untuk sementara waktu Maher memutuskan tidak memaksa Mira bicara.
Keluarnya Mira dari kamar dimanfaatkan Ibu untuk menyuapi Mira makan. Meski awalnya sulit, akhirnya Mira mau juga makan. Ini makanan pertamanya sejak 3 hari lalu.
Maher menghembuskan nafas dengan kasar. Ia tahu jika Mira sedang ada masalah tapi ia tak pernah menyangka jika masalahnya begitu berat sehingga membuat adiknya terlihat sangat kacau.
Maher yang baru tiba dari Bandung memutuskan mandi untuk mengurangi stress di otaknya.
Sebelum mandi Maher mengambil sabun baru. Saat ia ingin membuang kantongnya ke tong sampah, tiba-tiba matanya tertuju dengan sebuah bungkusan yang tampak janggal.
Dibukanya perlahan dan ternyata testpack yang menunjukan hasil positif.
Gegas Maher ke luar kamar mandi. Ia yakin ini adalah kepunyaan Mira. Maher sangat tahu wanita yang sedang hamil di luar nikah akan bersikap frustasi layaknya Mira. Mata Maher memanas. Amarahnya sudah sampai ke ubun-ubun. Siap untuk ia lontarkan.
"Mira... Mira!!" Panggil Maher dengan suara menggema.
"Kenapa, Bang ?" sahut ibu cemas. Sementara Mira hanya tertegun di samping ibu. Setelah jarak mereka dekat Maher langsung menunjukan benda yang dari tadi di tangannya.
"Apa ini Mira. Coba kamu jelaskan!"
Mata Mira langsung melotot sempurna. Ia tak menyangka jika Maher menemukan hasil testpacknya.
"Cepat jawab!" Kembali Maher membentak Mira.
"Bang. Maafkan Mira, T-tapi aku bisa menjelaskan semuanya."
Terlihat Mira yang begitu gugup. Dan sebelum mendengar penjelasan Mira tanpa sengaja tangan Maher telah melayang ke pipi Mira.
Plakkk!!
"Apa yang sudah kamu lakukan Mira? Bagaimana bisa kamu mencoreng nama keluarga? Kamu tahu,'kan kita bukan orang kaya. Kamu satu-satunya harapan Abang dan ibu. Sekarang kamu malah menghancurkannya. Bagaimana dengan almarhum bapak, pasti beliau akan malu punya anak seperti kamu."
Maher terus saja dengan amarahnya tanpa mau mendengarkan alasan dari Mira. Matanya dan wajahnya sudah memerah sempurna ia bahkan sudah kehilangan akal sehatnya.
"Sudah, Nak. Sudah kasihan adik kamu. Dia sedang hamil, kamu tidak perlu kasar seperti itu."
"Iya, Bu. Dia sedang hamil. Hamil anak yang gak jelas. Katakan siapa ayah dari anak itu?"
Mira masih saja diam. Ia masih sangat syok. Bagaikan sebuah mimpi setelah pipinya ditampar oleh abang yang selalu menyayanginya. Sampai suara nyaring Maher kembali membawanya ke dunia nyata
"Katakan siapa ayah anak itu?!"
Tidak, Mira sedang tidak bermimpi ini nyata. Amarah Maher pun padanya nyata.
"Apa kamu menjual dirimu sehingga kamu tak tahu itu anak siapa ?"
Kali ini amarah Maher begitu keterlaluan bahkan ia tega mengatai Mira perempuan jal*ng.
"Cukup Bang, cukup. Dia bukan anak yang gak jelas. Dia anakku!" bela Mira bergetar, disertai isak tangisnya.
"Kamu berani. Baik. Pergi kamu dari rumah ini dan mulai sekarang lupakan kami sebagai keluargamu! "
"Maher. Kamu tidak bisa mengusir adik kamu."
Tanpa mengindahkan larangan ibunya, Maher tetap mengusir paksa Mira dari rumah. Ia dengan tega menyeret Mira ke luar rumah bahkan ia langsung menutup pintu rumah itu.
Mira hampir tidak mengerti ke mana ia harus melangkah. Berkali-kali gadis itu mengetuk pintu rumahnya, memohon pengertian Maher, tapi tak juga ada jawaban dari dalam. Bahkan tak ada baju yang ia bawa, kecuali satu yang melekat di badan.