Langkah seorang gadis cantik terlihat gontai menyusuri sepanjang jalan NanJing Road. Raut kesedihan terukir di wajah gadis itu. Semua itu karena ia gagal mendapatkan pekerjaan hari ini. Gadis itu adalah Ruby Xiao. Pekerjaan tetap yang telah diimpikannya selama tiga tahun ini sirna dalam sekejap.
Saat ini Ruby sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. Walaupun sedih, kekesalan juga menyelimuti gadis itu. Ia terus mengumpat di dalam hati sepanjang perjalanan dari Gedung King Group ke arah rumahnya.
"Dasar pria sombong! Jangan sampai aku bertemu denganmu lagi!" maki Ruby kepada pria arogan yang ia temui di Gedung King Group tadi. Pria yang telah menggagalkan wawancaranya.
"Kalau bertemu dengannya lagi, akan kuaduk wajahnya menjadi adonan kue sampai ibunya sendiri pun tidak akan mengenalnya lagi!" Ruby memperagakan gerakan tangannya secara acak di udara. Kekesalannya kepada pria asing itu semakin menumpuk setiap kali ia mengingat pria itu menghina dirinya.
"Cleaning service katamu, hah? Wajahmu yang datar mungkin lebih cocok dijadikan kain pel!" Ruby menunjuk ke salah satu manekin yang mengenakan stelan jas rapi di depan salah satu toko pakaian pria sambil menyerocos tanpa henti hingga salah seorang pelayan toko keluar dan berdeham kepadanya.
Wajah pelayan toko itu terlihat begitu seram dengan kedua tangan melipat di d**a. Ruby pun menyengir dan membungkukkan badannya. "Maaf, maaf," sahut Ruby dan segera lari terbirit-b***t dari tempat itu.
"Huh, dasar nenek lampir," gerutu Ruby setelah berlari menjauh. Tiba-tiba perut rata gadis itu berbunyi, meminta pemilik tubuh kurus itu untuk mengisinya. Gadis itu telah menghabiskan hampir seluruh tenaganya untuk memaki pria itu sejak tadi. Ia memegang perutnya dan menarik nafasnya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Menetralkan kembali emosinya.
Ruby merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sisa uangnya hari itu yang hanya terdiri dari beberapa koin receh.
"Apa yang harus aku makan hari ini?" keluhnya sedih.
Sebenarnya Ruby bukan tidak ada penghasilan sama sekali. Gadis itu ada melakukan beberapa pekerjaan sambilan, tetapi sayangnya pemasukannya tidak mencukupi untuk membayar pengeluaran dan hutang yang dibebankan kepadanya.
Dulu ayah Ruby terpaksa meminjam uang dari rentenir untuk membiayai pengobatan rumah sakit ibunya, tetapi pada akhirnya penyakit ibunya tidak berhasil disembuhkan dan meninggal.
Seharusnya ayahnya dapat melunasi semua hutang itu, tetapi sayangnya ia meminjam kembali dalam jumlah besar untuk membuka usaha. Usahanya gagal dan bunga hutang pun semakin membengkak. Ayah Ruby pun kabur meninggalkan Ruby karena terus dikejar oleh para lintah darat itu yang bahkan terkadang memukulnya sampai babak belur jika tidak bisa melakukan p********n bunganya.
Saat itu Ruby baru saja lulus kuliah, sehingga ia terpaksa melakukan beberapa pekerjaan sambilan untuk membayar bunga pinjaman atas hutang ayahnya itu. Setiap hari Ruby harus memikirkan bagaimana caranya untuk berhemat dan membayar hutang tersebut. Ia tidak tahu sampai kapan ia harus hidup seperti itu.
Secercah harapan muncul ketika ia menemukan lowongan pekerjaan di sebuah website. Posisi khusus untuk Sekretaris CEO King Group dengan penghasilan yang sangat menjanjikan. Tanpa pikir panjang, ia pun langsung mengajukan lamaran dan akhirnya mendapatkan panggilan wawancara. Namun, sayangnya harapannya itu hanyalah tinggal harapan. Ia harus menelan pil pahitnya kembali sekarang.
Ruby menghela nafas pelan dan berjalan masuk ke sebuah mini market yang berada tidak jauh dari komplek rumahnya. Ia memutuskan membeli sesuatu yang bisa mengenyangkan perutnya yang meronta.
Langkah kakinya tertuju ke arah rak yang berisi deretan berbagai macam mie instan. Ia mengambil dua bungkus mie dengan rasa yang berbeda.
'Hari ini aku terpaksa memakan dirimu lagi. Di saat seperti ini memang kamu yang paling bisa diandalkan,' batinnya. Gadis itu memeluk dua bungkus mie instan dan menepuk-nepuknya pelan seolah-olah itu adalah makanan paling berharga yang dibelinya.
Setelah membayar belanjaannya di kasir, Ruby pun melanjutkan perjalanannya kembali ke rumah. Namun, alangkah terkejutnya Ruby ketika melihat barang-barang miliknya telah berserakan di halaman rumahnya. Beberapa di antaranya bahkan telah hancur tak berbentuk. Pintu rumahnya pun telah terbuka lebar.
Gadis itu segera berlari masuk ke dalam rumahnya. Keadaan di dalam rumah malah lebih mengenaskan. Serpihan kaca berhamburan di lantai ruang depan yang berasal dari meja tamu rumahnya yang telah patah dengan kaca yang pecah.
"Apa yang terjadi?" gumamnya pelan.
Tampak seorang wanita berusia sekitar empat puluhan yang sedang duduk termenung di sofa meratapi beberapa barang yang hancur. Wanita itu adalah Norin Lee, pemilik rumah kontrakan Ruby.
Ruby berjalan menghampirinya. "Tante," panggilnya.
"Akhirnya kamu pulang juga, Xi Xi," ucap Norin melihat kedatangan gadis itu. Ia tersenyum lega.
Xi Xi adalah panggilan kecil Ruby yang berasal dari nama kanjinya, Xiao Xi. Hanya orang terdekat yang memanggilnya seperti itu.
"Apa yang terjadi, Tante?" tanya Ruby memegang lengan Norin dan memeriksa keadaan wanita itu.
"Apa kamu tidak apa-apa, Tante?" tanya Ruby memastikan.
"Tante tidak apa-apa, Xi Xi. Tadi para preman itu datang lagi. Dia memaksaku untuk membuka pintu rumah ini. Maaf ...." Norin menatap Ruby dengan perasaan bersalah.
"Mereka datang lagi?" tanya Ruby yang diangguki oleh Tante Norin.
Gadis itu memijat pelipisnya. Ia tidak menyangka kali ini para penagih hutang itu datang dengan kekerasan. Padahal seminggu yang lalu ia baru saja membayar bunga pinjamannya.
Akhir-akhir ini mereka semakin gencar datang meminta p********n karena bunga pinjaman yang semakin tinggi, sehingga gadis itu pun sedikit kewalahan menghindari mereka.
"Maaf ya, Tante. Aku jadi melibatkanmu." Ruby menggenggam tangan Tante Norin sambil duduk di hadapannya. Ia merasa bersalah terhadap wanita itu.
"Xi Xi, sudahlah. Tante tahu bukan salahmu. Ini semua karena ayahmu yang tidak bertanggungjawab itu!" ujar Tante Norin kesal mengingat tindakan ayah Ruby, Peter Xiao. Norin sangat tidak menyukai sikap Peter meninggalkan putrinya seorang diri menanggung beban hidup yang begitu berat di usianya yang sangat muda.
Ruby hanya diam dan menundukkan wajahnya. Ingin rasanya ia berteriak dengan keadaannya saat ini, tetapi ia tidak tahu ke mana ia harus mengadu. Terkadang sempat terbesit di benaknya untuk mengakhiri hidupnya, tetapi untungnya gadis itu memiliki dukungan dari orang sekitarnya seperti Tante Norin. Ruby mulai menata hidupnya kembali dan menyemangati dirinya bahwa dirinya bisa melalui hari-harinya dengan baik.
"Apa sampai sekarang ayahmu belum menghubungimu?" tanya Tante Norin.
Gadis itu menggeleng pelan. "Belum, Tante."
Wanita yang berusia hampir mendekati senja itu menghela nafas mendengar jawaban itu. Ia merasa kasihan dengan Ruby. Seharusnya di usianya seperti ini, Ruby dapat bersenang-senang dengan teman seusianya dan menjalin cinta, tetapi karena beban hutang itu, gadis itu tidak memiliki waktu untuk hal-hal seperti itu. Hampir 24 jam dalam hidupnya digunakan untuk bekerja mencari pundi-pundi uang demi membayar bunga pinjaman, bahkan waktu untuk menyenangkan dirinya sendiri pun tidak ada.
"Oh iya, bagaimana wawancaramu hari ini?" tanya Tante Norin yang memang mengetahui Ruby pergi melamar pekerjaan hari ini. Gadis itu menggeleng lagi.
"Gagal?" tanya Tante Norin.
"Bukan, Tante. Tapi dibatalkan karena sesuatu hal," jawab Ruby tersenyum sedih.
Tante Norin menepuk pundak gadis itu pelan. "Sudahlah nanti dicoba lagi saja. Masih banyak perusahaan lain. Jangan patah semangat!" hiburnya dengan mengepalkan kedua tangannya di udara.
"Terima kasih, Tante," sahut Ruby. Gadis itu kembali tersenyum lebar. Ia tidak ingin Tante Norin mencemaskannya.
Ruby melirik beberapa barang yang hancur di sekitarnya. "Hm, barang-barang yang hancur ini nanti aku ganti ya, Tante. Tapi setelah dapat upah di tempat sambilanku."
"Sudahlah, hanya barang kecil. Uangnya kamu simpan saja untuk bayar bunga pinjaman itu," ujar Tante Norin sambil beranjak dari sofa.
"Tapi, Tan—" Ruby pun ikut berdiri.
"Xi Xi, kamu sudah Tante anggap sebagai anak sendiri. Tante tahu kamu anak seperti apa. Sebaiknya uangnya kamu simpan untuk kebutuhanmu," sela Tante Norin. Pandangan wanita itu beralih pada kantong yang berisi mie instan yang dibawa Ruby tadi.
Gadis itu menyadari lirikan Tante Norin ke arah kantong belanjaannya. Ia menunduk malu dan menyembunyikannya di belakang tubuhnya.
Tante Norin tersenyum dan menepuk lengan Ruby. "Ayo, ke rumah Tante. Hari ini Tante masak sup iga," ajaknya.
Ruby hanya diam termenung. 'Tante Norin baik sekali padaku. Aku selalu merepotkannya.'
"Sudah, tidak usah malu. Ayo!" ajak Tante Norin lagi dan kali ini ia menggandeng lengan Ruby agar mengikutinya.
Jarak rumah Tante Norin dan Ruby hanya beda dua unit rumah saja. Tante Norin sudah mengenal Ruby sejak kecil dan berteman dengan almarhumah ibu Ruby, sehingga ia pun telah menganggap Ruby sebagai putrinya sendiri.
Tidak jarang Tante Norin sesekali membantu keuangan Ruby. Ia pun tidak menuntut biaya kontrakan kepada gadis itu seperti pemilik kontrakan lainnya. Beruntung Ruby masih memiliki keluarga seperti Tante Norin, walau mereka tidak memiliki hubungan darah.