2. Momen Patah Hati

1920 Kata
“Mau sampai kapan lo biarin ponsel lo bunyi, sialan! Pecah konsentrasi gue.” Fian yang sebelumnya sibuk berkutat dengan laptop dan buku-buku tebal, terpaksa berhenti. Hanya untuk melayangkan tatapan sebal pada Reygan yang masih setia menunduk. Jemarinya memainkan senar gitar pelan, menghasilkan bunyi petikan yang tidak bernada. Fian mengumpat. Mengeluarkan seisi kebun binatang sebagai pelampiasan kekesalan. Semenjak datang dan mengisi kasur kosnya, Reygan belum mengubah ekspresi wajahnya. Tetap datar dan nampak tidak peduli pada deringan ponsel yang berkali-kali menyahut, dengan satu nama yang sama. “Njing, angkat woi. Lo mau diemin cewek lo semalaman?” lanjut Fian dengan nada ketus yang sama. Berhasil. Ada sedikit pergerakan dari Reygan. Walaupun hanya sebuah lirikan singkat ke arah layar ponsel. Menampilkan satu nama yang sama, Shena. Reygan meraih ponselnya. Tanpa berniat menggeser warna hijau. Hanya menatapnya sampai layar ponselnya kembali menghitam. Reygan kembali meletakkan ponselnya ke tempat semua. Namun sedetik kemudian layar ponsel itu kembali menyala, disusul deringan yang sama kerasnya. “Ya Tuhan,” teriak Fian. Kedua tangannya mengusap wajahnya kasar. “Gue yang angkat nih?” Fian menatap Reygan dengan tatapan yang seribu kali lebih jengah dibanding sebelumnya. Reygan mengangkat bahu tak acuh. Tanpa persetujuan Reygan, Fian meraih ponsel yang masih bernyanyi-nyanyi riang itu dan mengangkat panggilannya. “Hallo, Rey,” sapaan riang menyapa rungu dua lelaki itu. Fian sengaja menyalakan speaker agar Reygan bisa mendengar pembicaraan dari perempuan di seberang sana. “Ya, Shen. Ini Fian,” jawab Fian. Shena terdiam untuk beberapa saat. Shena bergumam pendek. “Fian, Reygan ada sama kamu?” tanyanya. Nada ragu terdengar jelas. Fian melirik Reygan meminta pendapat. Reygan hanya mengisyaratkan dengan gelengan kepala. “Iya, Reygan ketiduran. Kecapekan mungkin. Ada yang mau lo titipin ke dia?” tanya Fian. Berhasil menyampaikan kebohongan pertamanya. Shena kembali terdiam. Ada helaan napas yang tidak sengaja terdengar. Fian kembali menatap Reygan yang terlihat tidak peduli. Bahkan setelah suara Shena yang riang berubah menjadi lirih. “Oh nggak. Aku cuma kangen dia,” ucap Shena diiringi suara tawa. Siapa pun tahu, itu hanya tawa palsu. Untuk kesekian kalinya, Fian menatap Reygan. Merasa tidak tega dengan perempuan di seberang sana yang sudah sering kali dibohongi. Atau sesekali membohongi diri sendiri. Selalu mencoba baik-baik saja di tengah sikap Reygan yang berubah banyak. “Kursinya hampir penuh. Nyaris semuanya datang sama pasangan dan keluarga. Kayaknya aku jadi satu-satunya yang sendirian,” lirih Shena. Suaranya kian meredup. Fian bahkan mengira jika itu hanya bisikan yang tidak sengaja terdengar. Shena tidak bermaksud menyampaikan kalimatnya dengan lirihan serak. Menandakan jika sudah ada beberapa buliran air mata yang terjatuh. “Gue sampaikan itu,” ucap Fian. Sudah tidak tahan untuk terus berusaha baik-baik saja. Seolah tidak tahu situasi. Padahal kenyataannya, Fian mengerti untuk semuanya. “Ya, Fian. Terima kasih.” Shena memutus sambungan. Fian menatap Reygan yang juga sedang menyorotnya datar. “Bisa ‘kan lo berhenti ngajak dia ketemu kalau akhirnya dia cuma bisa menunggu?” Fian melempar ponsel Reygan ke arah kasur kosnya. Yang langsung ditangkap oleh Reygan. Mengecek beberapa pesan masuk sebelum Shena memutuskan menghubunginya. Salah satunya sedikit membuat hati Reygan tercubit. Kamu tahu, aku merasa sangat bahagia hari ini. Keramaian kota dan lampu-lampu jalan udah menunggu kehadiran kita. Sampai ketemu nanti malam, di tempat yang sama, Sayang. Reygan beranjak. Meraih jaketnya dan bergegas meninggalkan kos Fian. Tanpa pamit. Membuat si penghuni kos mengumpat kesal pada teman seperjuangannya yang tidak tahu sopan santun. “Anjir, sialan! Setelah lo ninggalin cewek lo itu, seenaknya nambahin dosa gue. Lo berniat ke mana sekarang, Reygan?” teriak Fian yang tidak mendapat respon sama sekali. Reygan sudah bergegas keluar menuju halaman rumah lantai dua itu. Segera mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Fian yang memperhatikan dari kaca jendela kamarnya hanya bisa menggeleng. Setelahnya mengangkat bahu tak acuh. Mencoba tidak peduli dengan rumitnya hubungan Reygan dan Shena. *** Shena menghela napas lelah. Tersenyum miris dengan tatapan yang masih menyapu. Memperhatikan orang-orang yang tersenyum, berbagi cerita, sesekali suara tawa itu sampai di rungunya. Belum lagi pemandangan malam hari yang indah. Dihiasi lampu-lampu taman. Beberapa kendaraan melintas tenang. Satu pemandangan yang sudah sering kali ia nikmati, dengan Reygan di sampingnya. Namun kali ini berbeda. Shena menikmati keindahan malam seorang diri. Sudah berjalan dua bulan ini Reygan berbeda. Sulit dihubungi, terkesan lebih dingin, dan perhatiannya yang semakin mengikis. Reygan hanya sesekali menghubunginya dan mengatakan sedang sibuk. Reygan memang sedang memulai pengerjaan Tugas Akhirnya, setelah sekian lama dibiarkan tergeletak. Reygan lulus tidak tepat waktu. Bahkan di saat Shena sudah sibuk dengan lingkungan barunya di perkantoran, Reygan masih menjadi mahasiswa akhir yang kehilangan motivasi. Shena tidak menyalahkan itu. Reygan pasti butuh lebih banyak semangat untuk memulai semuanya. Butuh lebih banyak penyesuaian dengan kondisi yang terbilang baru. Shena beranjak dari duduknya. Kembali tersenyum miris menatap pemandangan kota yang masih sama indahnya. Bahkan tanpa kehadiran Reygan di sampingnya. Satu pemandangan yang seharusnya menimbulkan senyuman bahagia. Namun nampaknya tidak berlaku untuk saat ini. Mengeratkan jaket yang membungkus tubuhnya. Hari semakin malam dan udara semakin dingin. Sudah saatnya ia pulang. Akan sangat berbahaya berada di luar sendirian. Apalagi untuk seorang perempuan sepertinya. Shena berbalik, berniat untuk benar-benar pulang dan membiarkan keindahan perkotaan di malam hari senyap. Berubah menjadi pagi yang cerah tanpa tambahan kenangan di antara keduanya. Shena terpaku. Wajah datar nan dingin milik Reygan sudah nampak tepat di hadapannya. Sedetik setelahnya berbalik. Shena bisa merasakan atmosfer berbeda saat ini. Bukan karena wajah dingin itu, namun karena tatapannya. Reygan sempat membuang tatapannya ke sembarang arah guna menghindari tatapan Shena yang jelas-jelas tertuju padanya. Mata sayu itu membuat Reygan semakin merasa bersalah. Shena hanya terdiam dengan kedua tangan berada di dalam saku jaketnya. Tidak biasanya. Ya, Shena selalu berlari memeluk Reygan jika keduanya bertemu. Namun kali ini tidak. Shena sedikit merasa takut. Reygan yang berdiri di hadapannya nampak jauh berbeda dari yang terakhir ia lihat. Reygan juga sama saja. Masih berdiri diam di posisinya. Menatap lurus ke arah perempuan berambut panjang. Bibirnya tidak menampilkan senyuman, tatapannya juga nampak sendu. Setelah beberapa saat menunggu, Reygan berjalan mendekat dan menarik Shena ke pelukannya. Memeluk erat. Sangat erat sampai membuat pipi Shena menempel sepenuhnya pada d**a bidang Reygan. Mendengarkan debaran jantung di dalam sana. “Berhenti menungguku bodoh! Kamu bisa kedinginan semalaman di sini.” Reygan berbisik tepat di telinga Shena. Perempuan dalam pelukan Reygan mengangkat kepalanya. Menatap wajah dingin Reygan yang nampak berbeda. Sepasang matanya terlihat lelah dengan wajah tegas yang sama. Namun Shena bisa merasakan perbedaan Reygannya dengan Reygan yang memeluknya saat ini. “Kamu banyak mengalami kesulitan?” Shena menatap Reygan khawatir. Lelaki itu balas menatap Shena yang masih berada dalam dekapannya. Reygan mengangguk pelan. Sebelah tangan Shena terulur, mengusap pipi Reygan yang nampak semakin tirus. Apa Reygannya kekurangan waktu tidur? Apa Reygannya sampai melupakan waktu makan? Pertanyaan-pertanyaan itu bergerumul di kepala Shena. Namun bibirnya enggan mengeluarkan satu pertanyaan. “Aku antar pulang.” Reygan melepas dekapannya. Beralih meraih sebelah tangan Shena dan menariknya menuju mobil. Yang terparkir tidak terlalu jauh dari tempat mereka. “Berhenti menungguku!” Reygan kembali mengucapkan kalimat menyakitkan itu sebelum Shena keluar dari mobilnya. Lelaki itu juga masih setia mengusap rambut Shena pelan. Shena bimbang. Reygan sudah jauh berbeda dari Reygannya. Reygan yang dingin tapi penuh perhatian tidak lagi terlihat dalam tatanan wajah tampan di hadapannya. Shena hanya mengangguk ragu. Reygan meraih kepala Shena, mencium kening itu lama. Sampai Shena memejamkan matanya menikmati sensasi hangat di keningnya. Sampai akhirnya Shena beranjak keluar dari mobil Reygan. Benar-benar menghilang dari pandangan Reygan. Shena bersandar di balik pintu kamar kosnya. Perlakuan Reygan sangat jauh dari biasanya. Shena memegang dadanya, merasakan debaran jantung yang semakin berdetak keras. Seiring dengan ingatannya yang melayang. Membayangkan kejadian beberapa menit lalu. Reygan semakin menakutkan dalam diamnya. *** Lampu temaram berwarna-warni tidak hentinya menyoroti pengunjung club malam ini. Suara musik yang memekikkan telinga sudah menjadi hal biasa. Tapi anehnya para pengunjung yang didominasi oleh para dewasa baru itu merasa nyaman dengan musik club yang terputar dengan biadabnya. Pelayan berpakaian rapi hilir mudik membawa nampan berisi gelas-gelas kecil bening dan botol berukuran besar. Beberapa penjaga berbadan besar sudah berdiri di depan pintu untuk menjaga keamanan. Takut, jika saja ada anak di bawah umur yang menyelinap masuk. Di bagian sudut club, terdapat dua orang lelaki yang sedang menduduki tempat duduk. Dengan seorang wanita lainnya. Mereka Reygan dan Fian. Fian melayangkan tatapan tajamnya pada lelaki yang duduk di hadapannya. Di sampingnya ada seorang wanita berpakaian layaknya perempuan malam. Lebih menyebalkannya lagi, wanita itu terus menuangkan minuman keras ke gelas Reygan. Dan bodohnya Reygan menerima perlakuan itu dengan cuma-cuma. Fian menggeram menahan marah. Melihat kelakuan Reygan yang setiap harinya semakin menjadi. Tidak tahukah, ada satu orang yang akan sangat sakit jika tahu hal ini? “Sepertinya dia sudah minum terlalu banyak.” Wanita itu menatap Fian. Fian berdecih menatap wanita yang sudah berdiri di samping Reygan. “Sialan! Lo yang bikin sohib gue jadi begini!” Fian kembali menggeram sebelum dihadiahi tatapan aneh dari si wanita. Fian menghela napas lelah. Ya, benar-benar lelah dengan semua kelakuan Reygan. “Lo bisa pergi. Gue yang urus.” Fian beranjak dari duduknya. Membantu Reygan membenarkan posisinya. Reygan memang tidak terlalu kuat minum. Namun entahlah. Banyaknya masalah di kehidupan justru membuatnya kalap seperti ini. “Lo harus bayar mahal untuk pertolongan gue malam ini, Rey. Gue bisa dipanggang kalau Tania tahu gue balik ke tempat begini.” Pandangan Fian beralih pada layar ponsel Reygan yang menyala. Meraih ponsel itu dan kembali menghela napas. Lagi-lagi, nama yang sama, Shena. “Ya Tuhan. Gue harus ngomong apa?” Tidak mau kembali membohongi Shena, Fian memilih menulikan telinganya. Berpura-pura tidak tahu jika Shena menelepon. “Lo tahu, ada hati yang seenaknya lo sakiti, Rey,” ujar Fian. Menjatuhkan pandangannya pada lelaki yang sudah memejamkan matanya. Percuma memang berbicara pada orang yang sedang mabuk berat seperti ini. Fian membantu Reygan berdiri. Berjalan meninggalkan club malam yang semakin malam justru semakin ramai didatangi pengunjung. Menjatuhkan Reygan di jok mobil bagian belakang, posisi berbaring. Bagaimanapun juga Reygan adalah sahabatnya sejak ia hidup di perantauan. Semarah apapun Fian pada Reygan, ia tidak akan tega meninggalkan Reygan sendirian di club malam, dalam keadaan tidak sadar. Bisa menjadi santapan hangat para perempuan malam di sana. “Lo bisa istirahat sekarang. Tapi kalau besok lo begini lagi, gue nggak akan segan-segan buat penggal kepala lo,” ucap Fian saat baru saja membaringkan Reygan di kasur kamar kosnya. Tidak mungkin mengantarkan Reygan dalam keadaan mabuk begini. Ayah Reygan akan sangat marah mendapati putranya bertingkah tidak bermoral. “Shena, gue harap lo segera tahu kondisi Reygan,” gumam Fian sebelum meninggalkan Reygan di dalam kamarnya yang gelap. *** Reygan terbangun, merasa pegal di seluruh tubuhnya. Kepalanya terasa berat. Lelaki itu menatap sekitar. Pakaiannya masih sama seperti malam tadi. Setelah mengamati dinding dan apa yang bisa ditangkap inderanya, Reygan tahu jika ia berada di kos Fian. Memanjangkan tangannya untuk meraih ponsel yang tergeletak di nakas samping tempat tidur. Panggilan tidak terjawab, Shena. Reygan kembali meletakkan ponselnya. Pikirannya melayang, membayangkan wajah kekasihnya yang dipenuhi kekhawatiran. Sudah terlalu banyak kesalahan yang Reygan perbuat pada Shena. Entah kebohongan seperti apalagi yang akan Reygan katakan jika Shena datang dan kembali bertanya. Reygan mencintai perempuan itu, kekasihnya, Shenanya. Namun kondisi membuatnya harus menyakiti Shena untuk beberapa waktu terakhir. Tanpa disadari, luka itu terus menjadi dalam di antara keduanya. Reygan merasa puas bersenang-senang di luar sana sendirian. Namun hatinya semakin menjerit sakit. Hatinya ingin kembali pada perempuan manis itu. Namun sayangnya, Reygan belum memiliki keberanian untuk menentang keadaan. Biarlah semua berjalan seperti semestinya. Reygan terlalu lelah untuk memikirkan semuanya. Memilih melanjutkan tidurnya di pagi hari. Mungkin akan sedikit membantunya melupakan semua yang terjadi. Walau hanya sejenak. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN