4. Cerita di Waktu Senja

1754 Kata
“Reygan,” pekik Shena begitu mendapati Reygan sudah duduk di atas motornya. Lajunya pelan, mengikuti langkah Shena. Shena sempat dibuat panik karena mengira ada orang jahat yang menguntitnya. Tidak tahunya malah sosok tegap berwajah tampan itu yang menguntitnya. “Kamu ngapain?” tanyanya begitu Reygan menghentikan laju motornya. Tetap mengisi sebagian jalan tanpa menepi. Shena yang berdiri di samping motor hanya mengerutkan kening tidak mengerti. Bukannya menjawab, Reygan malah mengulurkan helmnya. “Buat apa?” tanya Shena bingung. “Pakai terus naik,” perintahnya mutlak. Shena yang akan menyahut pun menjadi urung karena kalimat berikutnya. “Lo nggak mau kita berdua dimarahin pengguna jalan lain, ‘kan?” lanjutnya seraya melirik ke arah belakang. Shena tidak mampu menolak. Ini pukul empat sore. Jalanan sedang padat-padatnya karena memang bertepatan dengan orang-orang pulang bekerja. “Barusan cara kamu ngajak pulang bareng?” celetuk Shena setelah duduk tenang di boncengan Reygan. Lelaki di hadapannya hanya mengangkat bahunya tak acuh. “Kalau begini, aku jadi penasaran. Ada berapa banyak perempuan yang kamu bonceng sebelumnya?” Ada jeda sejenak. Reygan baru saja menambah kecepatan motornya untuk menyalip dua kendaraan lain. Membiarkan pertanyaan Shena dijawab oleh embusan angin yang lebih kencang. “Kamu nggak jawab,” ujar Shena begitu laju motor kembali normal. “Itu pertanyaan?” “Menurut kamu? Jelas aku bertanya, Rey.” Shena mendengus sebal. Sudah mulai paham dengan cara Reygan berbicara. Ketika ditanya, Reygan tidak akan suka rela menjawab. Justru memutar pembicaraan dan membuat kesal. “Gue kira kalimat lo lebih cocok jadi tuduhan, bukan pertanyaan.” Shena tidak langsung menjawab. Mengingat kembali pertanyaan yang ia ajukan sebelumnya. Shena hanya menebak asal, ada sedikit nada gurauan juga di sana. Sungguh, Shena tidak serius sampai membuat Reygan tersindir. Reygan tampan. Itu penilaian pertama saat melihat Reygan yang hadir dan menyapanya. Laki-laki asing yang langsung hadir, memasang senyuman manis, mengulurkan tangan sembari mengucap nama. Dan juga keberanian Reygan yang tetap berada di sisi Shena padahal Shena nampak keberatan. Dan sejauh yang Shena tahu, laki-laki seperti Reygan sepertinya ramah pada semua orang. Tidak menutup kemungkinan jika sudah banyak perempuan yang Reygan tawari naik di boncengannya. Didukung wajah tampannya. Juga trik mengajaknya yang akurat. Siapa yang mau menolak? “Maaf kalau kalimatku bikin kamu tersinggung. Aku nggak ada niat untuk begitu. Cuma iseng, dan ya kamu tahu, aku perempuan kaku yang baru keluar dari zona amanku. Aku nggak tahu gimana bikin suasana jadi nggak kaku.” “Nggak harus sejauh itu mikirnya, Shen. Dan jangan berusaha untuk jadi orang lain. Gue paham kok sama cewek polos yang baru merantau setelah 18 tahun hidup. Gue cuma khawatir kalau tiba-tiba lo lupa jalan pulang ke kos,” jelas Reygan. Shena refleks memukul bahu Reygan. Menimbulkan suara tawa renyah dari si lelaki. “Loh, ini bukan jalan ke kos, Rey,” ucap Shena saat laju motor Reygan justru berbelok di lampu merah. Kembali memasuki kawasan kampus, tepat di gerbang depan. Karena keduanya pulang melalui gerbang samping dekat Fakultas Hukum. Motor Reygan terparkir di kantong parkir pujale, karena memang yang paling dekat dengan tempat keduanya melaksanakan kegiatan gladi resik penerimaan mahasiswa baru. Reygan tidak menjawab. Tetap melajukan motornya dengan kecepatan standar. Membiarkan Shena memperhatikan sisi jalan dekat gerbang masuk kampus. Reygan memberhentikan motornya di salah satu penjual. Ada banyak pompom yang bergantungan. Penjualnya juga masih sibuk menyatukan tali rafia untuk dibuat menjadi pompom. “Turun,” ucap Reygan. Shena menuruti itu tanpa banyak tanya. “Pompom lo, Shen,” lanjutnya. Shena mengangguk dan mengulurkan pompomnya pada Reygan. Membiarkan si lelaki yang berbicara pada penjual. Untuk menambah beberapa tali agar pompom Shena bertambah besar sesuai aturan yang diterapkan panitia. Selagi menunggu, Shena mengedarkan pandangannya. Menatap banyaknya penjual di sisi jalan. Semua yang dibutuhkan selama masa penerimaan mahasiswa baru dijual di sini. Mulai dari pompom, camping, sampai pada kemeja putih juga bawahan hitam. Tanpa sadar, Shena menghela napas. Wajahnya berubah cemberut. Membuat Reygan yang baru saja selesai berbicara dengan penjual menoleh. “Kenapa?” Gelengan singkat. “Aku merasa apa yang aku lakukan sia-sia,” jawabnya lirih. “Maksudnya?” “Aku jauh-jauh dari rumah bawa barang macem-macem. Termasuk pompom sama camping yang makan banyak ruang. Mana naik motor. Eh ternyata di sini banyak yang jualan. Kalau aja aku tahu, nggak akan repot-repot sampai ke penjual sulak.” Senyuman Reygan kembali muncul sampai giginya yang berjajar rapi nampak. Sebelah tangannya terulur untuk mengusap rambut Shena. “Anak kecil, polos,” komentarnya membuat Shena kian cemberut. “Kamu juga beli di sini?” Reygan mengangguk. “Tadi sebelum acara mampir sini dulu buat beli pompom sama camping,” jelas Reygan. Shena menghela napas panjang. Entahlah, kalimat Reygan justru membuatnya merasa kesal. “Nggak ada yang sia-sia kok. Lo nggak tahu ‘kan karena memang bukan orang sini. Baru ke sini juga. Wajar, Shen. Yang penting sekarang lo udah tahu. Jadi nantinya kalau ada adik kelas lo yang kuliah di sini, lo bisa kasih info ini. Biar nggak ribet.” “Harusnya aku kenal kamu sejak awal ya.” Reygan tertawa. “Padahal pertama gue datang lo kelihatan keberatan. Sekarang udah sadar kalau gue ada gunanya?” “Ya ‘kan beda. Itu baru awal. Jaga-jaga aja siapa tahu kamu orang jahat. Atau playboy mungkin yang suka sepik sana-sini. Aku dari kampung, baru pertama merantau, sendirian pula. Harus pinter jaga diri.” “Mulai sekarang gue akan ikut jagain lo.” “Ha?” Shena terkejut, sampai mulutnya terbuka. Tatapannya terus mengikuti Reygan pertanda meminta penjelasan. Namun Reygan justru mengabaikannya. Kembali berbicara dengan penjual yang memberikan pompom milik Shena. “Yuk, pompom lo udah jadi,” ucapnya. Menarik sebelah tangan Shena. Membiarkan Shena dengan beragam pertanyaan yang tidak menemukan jawaban. *** “Shen, turun. Kita makan dulu,” ucap Reygan setelah memarkirkan motornya di sisi jalan. Hari sudah setengah gelap. Keduanya menghabiskan waktu lumayan lama untuk menambahkan tali pada pompom milik Shena. Setelahnya, bukannya langsung mengantar Shena ke kos, Reygan justru mengajaknya makan. Shena memperhatikan sebuah spanduk besar berwarna kuning yang terpasang di sisi jalan. Ada tulisan, Nasi Goreng Daging Sapi. Di bawahnya ada dua baris tulisan tambahan, Kanot (Kantor Notaris). Belum juga menelisik lebih jauh, Reygan sudah menarik sebelah tangannya. “Pak nasi gorengnya dua ya. Sama es tehnya dua,” ucap Reygan pada seorang laki-laki berumur yang sedang mengaduk nasi goreng satu wajan penuh. “Duduk, Shen.” Shena mengangguk. Mengambil duduk beralaskan tikar di sebuah halaman kantor yang sudah tutup. Pandangannya mengedar. Memperhatikan banyaknya pembeli yang hadir. Penjualnya juga terlihat cekatan dalam melayani. Tidak membutuhkan waktu lama, dua piring nasi goreng dengan telur di atasnya terhidang. Mengeluarkan bau yang membuat perut lapar Shena semakin meronta-ronta. “Wangi banget,” komentar Shena. “Ini terkenal jadi salah satu alternatif kuliner malam hari. Kita beruntung karena datang awal. Cobain, lo pasti ketagihan.” Sebenarnya tanpa disuruh pun, Shena sudah siap melahap satu porsi yang Reygan pesankan. Perutnya sudah minta diisi sejak siang tadi. Karena memang Shena hanya membawa bekal roti, tidak cukup untuk mengganjal perutnya yang elastis. “Kamu sering makan di sini?” Reygan mengangguk. “Gimana rasanya?” “Enak, aku suka bau rempahnya. Nggak kaya nasi goreng kebanyakan. Ini khas banget kayaknya.” “Nggak berasa makan di pedagang kaki lima ya?” tanya Reygan. Ada tawa di akhir kalimatnya. “Bukannya itu nilai plusnya ya? Makan sekalian ngeliatin pemandangan yang hampir gelap. Bising, berdebu, duduk di emperan begini. Kelihatan sederhana banget dari luar tapi nggak tahu kenapa, aku bisa ngerasain ketenangan. Bawaannya enak aja.” Reygan tersenyum. Tatapannya terkunci pada Shena yang masih sibuk menikmati makanannya. Tidak menyangka jika perempuan yang baru dikenalnya memiliki satu sifat itu, sederhana. Satu sifat yang Reygan harapkan bisa ada dalam diri perempuan masa depannya nanti. Perempuan apa adanya, tidak banyak menuntut, dan kondisional. “Lo nggak keberatan makan di tempat begini?” Shena menggeleng. “Kenapa harus keberatan? Aku pribadi nggak terlalu mempermasalahkan tempat. Asal makanannya enak dan bikin perutku kenyang.” “Makanan pinggir jalan terkadang nggak baik buat kesehatan, Shen.” “Kalau udah lapar ya mana peduli sama sehat nggak sehat. Asal perutku diisi makanan, kenyang. Kelar masalahnya.” “Nggak takut sakit?” Shena menghentikan kegiatannya. Menoleh, menatap Reygan yang sejak tadi memperhatikannya. “Aku ini udah 18 tahun, Rey. Udah bukan waktunya dikasih tahu hal begitu.” “Jadi intinya asal makanannya enak, mau sehat atau nggak, tetap lo makan?” “Iyalah. Perutku elastis, muat banyak porsi.” Jawaban polos Shena membuat tawa Reygan terdengar. Tidak bisa menahan tangannya untuk tidak mengusap rambut Shena. Melampiaskan rasa gemasnya pada perempuan di sampingnya. “Tukang makan ternyata.” “Gendut nanti," lanjutnya meledek. “Nggak peduli.” “Oh ya? Biasanya perempuan ribet banget sama masalah berat badan. Nanti kalau gendut nggak cantik, nggak dilirik laki-laki. Susah dapat jodoh.” Shena mengangkat bahunya tak acuh. “Kalau kataku sih, mau bentuk badanku kaya apa juga kalau laki-lakinya sayang sama kita, nggak akan jadi masalah. Justru aku bisa menilai ketulusan laki-laki dari kekurangan yang aku punya.” Ada perasaan asing yang menyapa. Menimbulkan senyuman yang kian lebar. Dunia seakan berhenti berputar. Membuat tatapan Reygan sulit untuk beralih ke arah lain. Seperti sudah menemukan sesuatu yang selama ini ia cari. “Gue akan sering ajak lo kulineran,” ucap Reygan. Shena langsung menatapnya berbinar. “Beneran?” Hanya anggukan sebagai jawaban. Menimbulkan senyuman manis yang nampak begitu jelas. Membuat Reygan terpaku, untuk kesekian kalinya. Mengagumi gambaran indah di hadapannya. Wajah Shena yang memang nampak ayu, juga senyumannya yang terlampau manis. Ditambah sifatnya yang membuat Reygan berkali-kali berdecak kagum. Shena berbeda dari perempuan kebanyakan. “Perutku siap menampung,” seru Shena semangat. Reygan tidak yakin jika ini yang disebut cinta. Karena pada kenyataannya, keduanya baru mengenal beberapa jam lalu. Reygan juga tidak percaya dengan yang namanya cinta pada pandangan pertama. Walaupun mungkin benar-benar ada yang mengalami hal seperti itu. Hanya saja, Reygan sudah meyakini penelitian yang dilakukan Stanford University. Ia sudah menghabiskan empat menit pertamanya dengan pembicaraan tanpa topik tetap. Dan anehnya, Reygan langsung merasa cocok dengan pembicaraan keduanya. Reygan merasa nyambung saling bertukar kata dengan Shena. Nilai tambah lainnya, Shena adalah perempuan sederhana yang apa adanya. Juga polos dan menggemaskan. Jika sudah seperti ini, sepertinya Reygan tidak bisa mengabaikan keberadaan Shena untuk waktu-waktu yang akan datang. Dan juga, sepertinya hubungan keduanya memiliki potensi untuk berlanjut. Pada tahap yang lebih serius. Teman dekat. Ya setidaknya itu hubungan yang akan Reygan jalin untuk pertemuan selanjutnya. Hubungan yang paling mudah untuk dijangkau dalam waktu selanjutnya. Karena jika langsung mengarah pada berpacaran, nampaknya masih sangat jauh. Shena mungkin akan menatapnya dengan tatapan aneh seperti yang dilakukannya tadi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN