11. Tidak Seindah Biasanya

1043 Kata
Kursi yang sama, suasana malam yang sama, seseorang di samping yang sama pula. Namun nampaknya kondisi hati tidak sama bahagianya. Tidak semenyenangkan hari-hari sebelumnya. Nampak jelas dari raut wajah Reygan yang tidak lagi ramah. Hanya Shena yang terlihat menikmati suasana malam hari semacam ini. Tidak untuk Reygan yang datar dan enggan menunjukkan satu ekspresi. Membiarkan Shena menjadi satu-satunya yang tersenyum. Membalas kerlipan bintang di atas sana. Entah untuk alasan apa, Reygan menjemput Shena untuk menikmati langit malam hari di Senin malam. Karena biasanya Reygan akan datang setiap Sabtu sore. Shena yang memang sedang membutuhkan hiburan di tengah tugas kuliah yang menggunung. Membuatnya tidak perlu memutar otak, langsung saja mengiyakan ajakan Reygan. Shena menghela napas panjang. Menyandarkan punggungnya yang semula tegak pada punggung kursi. Meletakkan sejenak beban tugas yang beberapa minggu terakhir menyita pikirannya. Semakin bertambahnya semester, tugas semakin tidak tahu diri. Seenaknya datang rombongan dan memaksa Shena untuk tetap terjaga sampai tengah malam. Dan itu benar-benar melelahkan. Shena cukup beruntung karena memiliki teman kos yang memiliki beban sama. Jadi saat mengerjakan tugas yang berat itu, akan terasa lebih ringan. Karena dikerjakan bersama teman-teman yang lain. Mengisi waktu-waktu menyebalkan itu sembari saling melempar candaan. "Prodiku udah dapat pengumuman dosbing magang dan TA." Kalimat awal untuk membuka percakapan. Sejak tadi Reygan diam, tanpa suara. Membuat Shena yang memang peka, harus membuka pembicaraan terlebih dahulu agar suasana malam yang dingin ini tidak semakin beku oleh sikap Reygan. Benar saja. Reygan menoleh. Memperhatikan sejenak wajah Shena dari samping. Sebelah tangannya terangkat. Menyelipkan anak rambut Shena yang tergerak karena angin. "Dapat siapa?" tanyanya. Masih mengusap lembut kepala Shena. "Bu Laksmi. Beliau dosen Manajemen Keuangan. Aku pernah masuk kelas beliau di semester tiga," jelas Shena yang diangguki oleh Reygan. "Udah kenal, 'kan? Nggak begitu perlu adaptasi lagi." Shena mengangguk setuju. "Aku nanya kating juga katanya beliau enak diajak diskusi, ngemong, dan mungkin akan sedikit susah dapat persetujuan sidang. Soalnya beliau peduli banget sama mahasiswa. Nggak bisa ngebiarin mahasiswa bimbingan sidang gitu aja tanpa bekal ilmu yang cukup." "Bagus dong. Lo beruntung dapat dosen pembimbing yang begitu, Shen. Lebih baik susah di awal yang penting sidangnya lancar." Shena menoleh ke arah Reygan yang duduk menghadapnya. Memperhatikan guratan wajahnya yang nampak berbeda. Terlihat lebih lelah, lusuh, dan sepertinya Reygan kurang tidur. Ada lingkaran hitam di bawah matanya. Shena memberanikan diri untuk mengusapnya. Membuat Reygan tersentak di beberapa detik awal. Tapi selanjutnya biasa saja. "Kamu kurang tidur beberapa hari ini?" tanya Shena pelan. Masih mengusap lingkaran hitam di bawah mata Reygan. Reygan tersenyum sejenak menyadari perhatian Shena yang tidak bisa disembunyikan. Shena memang cenderung diam, tidak banyak ingin tahu tentangnya. Tapi dalam diamnya, Shena tidak pernah luput untuk memberi perhatian. Shena juga sangat jarang melakukan kontak fisik terlebih dahulu. Selalu Reygan yang memulai. "Tugas kuliah makin nggak beres, Shen. Nggak ngerti kenapa di semester ini dosen seneng banget nyiksa mahasiswanya." Shena refleks tertawa. Ternyata bukan ia saja yang sedang menjalani beratnya kehidupan perkuliahan. Reygan pun sama. Dan nampaknya jauh lebih berat karena mata kuliah Reygan hanya dihabiskan di dalam kelas atau di lab komputer. Tidak seperti Shena yang terkadang mengunjungi kantor-kantor pemerintahan, proyek, sampai pada bisnis-bisnis kecil menengah. Walaupun sama lelahnya, tapi Shena menganggap hal itu sebagai hiburan tersendiri. Bisa berkeliling sembari mengerjakan tugas. Tidak seperti Reygan yang hanya berada di ruang kelas. Pasti sangat membosankan. "Emang harus begitu ya, Rey." "Ya, hidup akan semakin berat kalau posisi kita udah semakin tinggi. Tapi bukan masalah, Shen. Karena kita pasti mampu. Kita udah di posisi ini otomatis kita bisa menjalani sampai akhir nanti." Shena tersenyum sangat manis sampai Reygan terpesona untuk kesekian kali. "Selalu. Kalimatnya mood banget." Shena menepuk-nepuk bahu Reygan. Sebagai bentuk rasa bangganya pada Reygan. Yang selalu bisa mengambil sisi positif dari kejadian yang dialami. Karena memang begitulah seharusnya manusia. Menyadari jika setiap tahapan hidup yang dijalani hari ini, adalah hasil dari hidup di masa lalu. Dan yang dijalani hari ini akan menentukan bagaimana hidup kita di masa depan. Karena sejatinya hidup bukan hanya tentang takdir Tuhan. Namun juga tentang pilihan yang diambil untuk setiap tahapannya. Tuhan tidak memberi jalan yang mulus tanpa hambatan. Tapi Tuhan memberi kita alat untuk membuat jalan sesuai dengan keinginan kita. Bagaimanapun hasilnya nanti, tergantung pada usaha juga doa yang senantiasa terucap pada Yang Memberi Kehidupan. "Kamu udah pikirin mau magang di mana, Rey?" Reygan menggeleng ragu. "Belum jelas di mananya. Tapi ya gue di sini aja, Shen. Kalau ambil di luar, tambah lagi biayanya." Shena mengangguk setuju. "Emang ya makin ke sini makin gengsi minta uang sama orang tua. Padahal ya tahu diri, masih jadi mahasiswa belum bisa cari uang." "Normal, Shen. Emang udah fasenya begini. Nikmatin aja, jangan dianggap beban. Kalau memang butuh ya bilang. Nanti ada masanya lo yang kasih uang sama Ibu. By the way, lo magang di mana nanti?" "Aku di rumah, Rey. Kantor Bappeda." Reygan mengernyit heran. "Di sini juga ada kantor Bappeda, Shen. Kenapa harus di rumah?" "Nggak tahu juga. Mau coba ngerasain kerja di lingkungan sendiri. Sekalian cari peluang, siapa tahu kerjaanku bagus di sana dan setelah lulus bisa ditarik masuk. Nggak perlu repot cari kerjaan lagi. Aku juga bisa lebih hemat, karena dua bulan di rumah." Ada jeda sejenak. Reygan nampak tidak menyukai kalimat yang baru saja Shena ucapkan. "Lo mau kerja di luar? Mimpi lo yang mau jadi penulis apa kabar?" "Ya akan tetap aku lanjutin mimpi itu. Tapi aku juga realitas, Rey. Manusia butuh uang. Dan seperti yang kita bahas tadi, aku nggak bisa selamanya minta uang sama ibuku. Aku udah cukup dewasa untuk bisa cari uang sendiri. Mimpi itu akan tetap berjalan beriringan sama apa yang aku kerjakan nantinya." "Sekalipun lo nggak suka dan menganggap hal itu hanya rutinitas?" Shena terkekeh pelan. Selanjutnya mengangguk setuju. "Jangan paksa diri lo, Shen. Jalani apa yang lo suka, jalani apa yang lo mampu." "Aku nggak apa-apa, Reygan. Aku bisa kok. Perlu kamu tahu, kalau aku bisa lebih tangguh daripada yang terlihat." Reygan tersenyum. Senyuman yang nampak lain. Sebelah tangannya terulur. Menepuk kepala Shena lembut. Tatapannya menyiratkan satu hal yang tidak mampu Shena ketahui makna di baliknya. "Apa gue harus kaya lo, Shen? Berlandaskan realistis sampai mengesampingkan mimpi yang udah gue usahakan sejak lama?" Shena mengernyit bingung dengan kalimat Reygan yang tiba-tiba berbeda. "Kamu ada masalah?" tanyanya penasaran. Reygan langsung tertawa dan menggeleng. "Nggak. Gue nggak apa-apa." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN