Kring.. Kring.. Kring.. sebuah jam weker mengeluarkan suara nyaring ketika jarum panjang tepat menyentuh angka 12. Sebuah tangan meraih jam itu, mematikan bunyi yang membuatnya terjaga dari tidurnya.
Ia menyibak selimutnya, menurunkan kaki jenjangnya hingga menyentuh lantai yang dingin.
Seperti pagi biasanya, gadis itu masuk ke dalam kamar mandi. Membersihkan tubuhnya, keluar dari kamar mandi, membuka lemari yang ia beli 4 tahun lalu. Mengambil acak pakaian dari dalam sana, ia tak perlu memilih pakaian karena dalam lemari itu hanya terdapat beberapa lembar pakaian saja. Entah sudah berapa lama dia tidak membeli pakaian. Ophelia tidak memiliki uang yang banyak. Setiap menerima gaji, uang itu akan habis bahkan sebelum satu minggu berlalu. Jangankan untuk membeli pakaian, untuk membeli makanan yang bergizi saja ia tidak bisa, hanya makanan di cafetaria hotel yang mencukupi gizi yang ia butuhkan.
Selesai menyiapkan dirinya, Ophelia melangkah menuju ke dapur. Kontrakan yang ia tempati tidak besar namun terdapat dapur, kamar dan ruang tamu kecil disana. Untuk Ophelia yang tinggal sendirian dengan tamu yang jarang mendatanginya, itu sudah benar-benar cukup baginya.
Mie instant dan telur adalah perpaduan sarapan terbaik yang Ophelia miliki saat ini. Hampir setiap pagi ia bertemu dengan dua makanan yang menurut sebagian orang adalah makanannya para rantauan akhir bulan. Makanan terlezat ketika uang gajian sudah habis untuk membayar ini dan itu.
Ophelia keluar dari rumahnya, mengunci rumahnya dan memeriksanya kembali. Tak ada barang berharga di kediaman Ophelia, namun bagi Ophelia yang tak memiliki cukup banyak uang, apa yang ada di rumahnya adalah barang-barang berharga. Televisi kecil, lemari pendingin yang ia beli di pasar loak. Dan pakaiannya yang bisa melindunginya dari panas dan dingin. Ya, semua yang ada di kediamannya adalah barang-barang berharga yang ia miliki.
Bus telah datang. Ophelia menempelkan kartu lalu duduk di bangku kosong yang terletak di bagian belakang. Melihat keluar jendela kaca bus adalah hal yang paling Ophelia sukai dalam perjalanan menuju ke tempat bekerjanya. Melihat orang-orang berjalan di trotoar dengan tujuan mereka masing-masing. Melihat pepohonan hijau yang berbaris rapi yang selalu berhasil menyegarkan penglihatannya.
Tak terasa bus telah membawa Ophelia ke tempatnya bekerja. Ophelia turun di halte, berjalan beberapa meter dan ia sampai di hotel tempatnya bekerja.
"Pagi, Ophelia." Seseorang menyapa Ophelia.
"Pagi, Pak Nath."
Pria yang bernama Nath itu tersenyum, "Bagaimana pagimu? Apakah ada yang menarik di jalanan?"
"Seperti biasa." Bagi Ophelia Nath bukan orang asing, hanya saja ia juga menjaga jaraknya dari Nath. Nath adalah seorang Manager Personalia, ia tidak ingin ada orang yang menggosipkan Nath karena terlalu dekat dengannya. Ia tidak ingin membuat orang yang memasukannya ke dalam hotel ini terkena masalah.
"Baiklah. Gantilah pakaianmu, selamat bekerja, Ophelia."
"Baik, Pak. Anda juga." Ophelia berlalu. Ia segera melangkah menuju ke loker tempat pakaian bekerjanya berada. Karena ia hanya tamatan sekolah menengah atas, ia hanya bisa menduduki posisi pelayan hotel, meski begitu Ophelia sangat bersyukur. Setidaknya ditengah kota besar yang kejam ini, ia memiliki sebuah pekerjaan. Ia tidak akan terlunta di jalanan tanpa mengantongi sepeser uangpun.
"Ophelia, bersihkan ruangan 101 dan 204!" Atasan langsung Ophelia memberi perintah pada Ophelia yang baru saja mengganti pakaiannya.
"Baik, Bu Xaviera." Ophelia segera menjalankan tugas dari atasan langsungnya. Xaviera adalah Housekeeping Supervisor, orang yang bertanggung jawab langsung untuk mengarahkan para bawahannya.
Ophelia mendorong cleaning trolley menuju ke ruangan 101 yang ada di lantai 5. Seperti inilah pagi Ophelia dimulai, membersihkan ruangan yang sudah dikosongkan atau merapikan ruangan yang ditinggalkan sementara oleh penyewa. Berteman dengan penyedot debu, pembersih kaca dan peralatan kebersihan lainnya.
**
Ophelia berada di cafetaria hotel, ia sedang menikmati makan siangnya.
"Anne Roses dikabarkan membeli sebuah villa mewah di Maldives, selebriti yang kemarin mendapatkan penghargaan itu mengeluarkan jutaan pound sterling..."
Ophelia makan dengan tenang, ia tak begitu tertarik dengan berita yang disiarkan oleh presenter sebuah acara gosip tersebut.
"Waw, dia benar-benar luar biasa. Usianya sudah 40 tahun tapi wajahnya tetap terlihat cantik. Sangat wajar jika ia berhasil menggaet beberapa pengusaha kaya raya."
"Benar, dia bahkan sudah bercerai sebanyak 2 kali. Mungkin ia mengumpulkan kekayaan dari hasil perceraiannya."
Ophelia berhenti makan, ia bangkit dari tempat duduknya padahal ia belum selesai makan.
"Kenapa tidak menghabiskan makan siangmu?" Nath mengejutkan Ophelia.
"Saya sudah kenyang."
Nath melihat ke tempat makan Ophelia, kenyang? Sekecil apa perut Ophelia hingga dengan makanan sedikit saja sudah kenyang. Nath tahu benar porsi makan Ophelia tak pernah banyak dan sekarang malah tidak dihabiskan.
"Makanlah yang banyak, Ophelia. Kau membutuhkan banyak tenaga untuk menyelesaikan pekerjaanmu." Menyadari bahwa ia baru saja melewati batasannya, Nath segera memperbaiki kata-katanya, "Aku tidak bermaksud mengaturmu, aku hanya mengkhawatirkanmu, Ophelia." Nath menatap sendu Ophelia yang tak pernah menatap wajahnya ketika mereka bicara. Ophelia bukannya tak sopan, ia hanya menghormati Nath sebagai atasannya. Dan Nath mengerti itu.
"Terimakasih atas perhatian Anda, saya bisa mengurus diri saya sendiri." Ophelia melangkah pergi.
Bukan hanya Nath yang mendapatkan perlakuan dingin dari Ophelia, hampir seluruh orang yang mengenal Ophelia pernah diperlakukan seperti ini oleh Ophelia. Dan itu terus berlaku hingga saat ini. Ophelia tak terlalu suka ada orang yang memasuki kehidupannya. Ia tak mengizinkan siapapun melewati dinding yang ia bangun. Ophelia terbiasa hidup sendiri, ia tak banyak bicara dengan orang dan cenderung menikmati dunianya sendiri. Di saat sekolah, ketika para remaja sibuk bermain dengan teman-teman sebayanya, Ophelia lebih memilih pulang ke panti asuhan dan mengerjakan semua pekerjaan di panti asuhan. Ibu panti tidak pernah membatasi jam keluar Ophelia tapi Ophelia tetap memilih untuk pulang tepat waktu dan menyelesaikan pekerjaan rumah. Itulah kenapa Ophelia begitu disayangi oleh Ibu panti. Dalam hidup Ophelia, hanya satu orang yang bisa masuk ke hidupnya, hanya ibu panti yang saat ini sudah tiada sejak 2 tahun lalu karena penyakit kanker.
Di saat bekerjapun ia juga seperti itu. Ia bekerja sesuai dengan perintah supervisornya, meski ia tidak pandai dalam bergaul tapi ia bisa mengerjakan pekerjaannya dengan baik, itulah kenapa ia bisa bekerja hingga 3 tahun di tempat itu. Ketika selesai bekerja Ophelia akan langsung pulang, tak ada banyak hal yang bisa ia lakukan di kediamannya selain menonton, membaca dan tidur, tapi ia lebih memilih melakukan hal itu daripada ikut rekan kerjanya ke club atau berpesta. Ophelia tak pernah sekalipun mendatangi club malam, ia juga tak memiliki teman dekat yang bisa ia ajak berbelanja.
Jam istirahat Ophelia masih tersisa, ia memilih untuk naik ke atap hotel. Duduk sendirian di tempat tinggi itu, tempat yang sangat jarang di datangi oleh orang-orang. Tempat yang sangat cocok untuk Ophelia yang menyukai kesendirian.
Iris abu-abu Ophelia menatap ke langit biru, cuaca hari ini tidak terlalu terik, matanya tak terlalu sakit untuk melihat hamparan awan yang terlihat indah.
Tak banyak arti yang diperlihatkan dari tatapan mata Ophelia, hanya kehampaan yang ada disana. Kehampaan yang tak pernah hilang dari hidupnya.
**
"Kembalilah ke rumah minggu depan. Cello akan memperkenalkan kekasihnya pada kita." Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik tengah berbicara dengan seorang pria dewasa yang tak lain adalah putra sulungnya.
"Cello tak akan senang aku ada di rumah, Mom. Aku tidak ingin merusak makan malam."
"Apa yang kau katakan? Kau tidak merusak apapun, Aexio."
Pria yang dipanggil Aexio itu mengalihkan pandangannya dari laptop, melihat wajah ibunya yang terlihat mengharapkan kehadirannya.
"Daddy merindukanmu. Kau tidak merindukannya? Sudah satu bulan kau tidak pulang ke rumah."
"Baiklah. Baiklah. Aku akan datang, tapi jangan salahkan aku jika makan malam itu rusak."
"Tidak akan. Adikmu tidak akan marah karena kedatanganmu."
Aexio juga berharap begitu, biasanya Aexio akan menolak ajakan untuk makan malam bersama keluarga. Bukannya ia tak menghargai keluarganya. Ia hanya tak ingin adiknya tak senang karena kehadirannya.
"Ah, bagaimana hubunganmu dengan Aley?"
"Baik-baik saja. Sampai pagi ini kami masih saling mengatakan 'aku mencintaimu'."
Ibu Aexio, Katherine tersenyum karena penuturan anaknya, "Baguslah. Setelah ini kau juga harus membawa Aley ke kediaman kita. Kami ingin mengenalnya."
"Nanti, Mom. Aley masih ingin mengejar mimpinya. Dia masih ingin berkeliling dunia untuk menambah wawasannya."
"Baiklah. Mommy tidak akan menekanmu untuk menikah cepat. Kau sibuk?"
Aexio melihat tumpukan berkas di depannya, sebagai seorang CEO dari perusahaan yang baru beberapa tahun lalu ia bangun, Aexio cukup sibuk. Ia pergi keluar kota bahkan keluar negeri hampir tiap minggunya. Aexio memiliki ambisi yang kuat, ia tidak ingin menggunakan harta kekayaan orangtuanya. Aexio berdiri sendiri dengan kedua kakinya, merasakan jatuh dan bangkit lagi tanpa bantuan orangtuanya. Hingga saat ini ia sudah memiliki beberapa hotel mewah dan sekarang ia sedang merencanakan untuk membuka sebuah perusahana asuransi jiwa.
"Cukup sibuk. Ada apa? Ingin mengajakku berbelanja?"
Kath tersenyum, putranya selalu tahu apa yang dia inginkan, "Hm, Mom ingin berbelanja."
"Baiklah. Ayo."
"Kau memang putra Mommy." Kath terlihat sangat senang.
Aexio meradang karena kata-kata Kath, putra Mommy? Andaikan kata itu adalah kenyataannya maka saat ini ia pasti akan sangat senang namun kenyataannya kata-kata itu menjadi belati yang menyakiti hatinya.
Ketika usianya 12 tahun, ia mengetahui bahwa ia bukanlah anak kandung dari ayah dan ibu yang sangat ia cintai. Nama belakangnya memang Schieneder tapi ia tidak memiliki darah Schieneder sama sekali. Ia hanyalah anak seorang supir di kediaman Schieneder, ia diangkat oleh keluarga Schiener ketika ia berusia 1 tahun, itulah kenapa ia tak pernah menyadari bahwa ia bukan anak kandung keluarga Schieneder.
"Aexi!" Suara panggilan dari Kath membuat Aexio tersadar dari lamunan singkatnya.
"Oh, ya, Mom. Ayo, ayo kita pergi." Aexio meraih jasnya dan segera bangkit dari kursi kebesarannya.
Kath menggandeng lengan putranya, hal yang selalu ia lakukan ketika mereka akan pergi bersama. Kath tak pernah menganggap Aexio sebagai putra dari supirnya, baginya, Aexio adalah putra sulungnya. Ia adalah orang yang akan berdiri paling depan ketika ada orang yang mengatakan bahwa Aexio hanyalah anak angkat.
TBC..