5

1767 Kata
Satu minggu berlalu. Aexio menghentikan pekerjaannya saat ini. Ia terganggu karena kejadian satu minggu lalu. Ia sangat sadar bahwa malam itu bukan mimpi. Malam itu benar-benar terjadi. Ia tidur dengan seorang wanita dan merenggut keperawanan wanita itu. Aexio sudah mencoba mengabaikan itu selama satu minggu ini tapi ia sangat terusik karena ia selalu diajarkan oleh orangtuanya untuk bertanggung jawab pada apapun yang ia lakukan. "Sialan!" Aexio memaki kesal. Ia frustasi, sangat frustasi. Harusnya malam itu ia tidak mabuk, harusnya malam itu ia pulang ke apartemennya bukan ke hotel. Aexio mengambil ponselnya, "Siapa yang membereskan kamarku satu minggu lalu?" Aexio menghubungi seseorang di hotelnya. "Perintahkan dia untuk ke ruanganku setengah jam lagi." Aexio memutuskan sambungan itu. Ia bangkit dari tempat duduknya, meraih jas kerjanya lalu keluar dari ruangannya. "Tiff, aku keluar sebentar. Jika ada yang mencariku kau tahu harus mengatakan apa." Aexio berpesan pada Tiffany. "Baiklah." Balas Tiffany lemah. Ia terlihat tak bersemangat. "Sudahlah. Jangan terlalu menunggu minggu depan." Aexio menggoda Tiffany. Tangan Tiffany meraih kalender duduk di atas meja kerjanya, melemparnya ke Aexio dengan keras. "Waw, kau terlalu bersemangat, Tiff." Aexio segera pergi sebelum Tiffany melemparnya dengan vas bunga. Satu minggu lagi Tiffany akan kencan buta dengan anak sahabat ibunya. Hal ini membuat Tiffany menjadi bulanan Aexio. Sudah sejak dulu Aexio punya sifat usil seperti itu. Mobil Aexio meninggalkan perusahaannya, membelah jalanan yang cukup luang pagi ini. Dalam 15 menit ia sampai di salah satu hotel miliknya. Dalam bulan ini Aexio dua kali mengunjungi hotel padahal biasanya dia hanya akan datang 6 bulan satu kali untuk meninjau perkembangan hotelnya secara langsung. Sampai di ruangannya, Aexio menunggu orang yang ingin ia temui. Ia tak tahu harus mengatakan apa untuk memulai tapi yang pasti ia akan mempertanggung jawabkan perbuatannya. Jika wanita itu ingin ia nikahi maka ia akan menikahi wanita itu. Tok! Tok! "Masuk!" Pintu terbuka. Elif masuk ke dalam ruangan itu. "Selamat pagi, Pak." Elif menyapa Aexio dengan suara gemetaran. "Bapak mencari saya?" "Benar." Suara tegas Aexio semakin membuat Elif gemetaran. Entah kesalahan apa yang ia lakukan hingga pemilik hotel ingin bertemu dengannya. Aexio mengamati Elif, ia merasa bahwa Elif bukan wanita yang ia tiduri. Ia tak begitu mengenali wajah wanita itu tapi ia tahu dari mana ia harus memastikannya. "Buka bajumu!" Elif tentu saja kaget. Apa-apaan ini? Apa pemilik hotel ini laki-laki m***m yang suka melecehkan karyawannya. "A-apa, Pak?" "Aku tidak akan melakukan apapun yang kau pikirkan. Cukup buka bajumu saja." Elif terintimidasi oleh tatapan tajam Aexio. Ia membuka baju kerjanya. "Putar tubuhmu!" Elif menuruti Aexio. Ia tak mengerti apa yang mau bos besarnya lakukan. Bukan dia. Aexio tak melihat ada tahi lalat di punggung Elif. Pagi itu ia melihat bahwa wanita yang ia tiduri memiliki tahi lalat di punggungnya. "Pakai kembali pakaianmu!" Elif segera memakai bajunya lagi. "Siapa orang yang menyiapkan kamarku?" Elif memucat. Dia ketahuan. Bagaimana ini? Dia pasti akan dipecat. "M-maafkan saya, Pak. S-saya meminta seseorang untuk menggantikan saya. Tolong jangan pecat saya." Seru Elif ketakutan. Ia tak ingin kehilangan pekerjaannya. "Siapa yang menggantikanmu?" "Ophelia, Pak." "Baiklah, kau bisa pergi dari sini." "S-saya tidak dipecat, Pak?" "Kau akan dipecat jika kau mengatakan hal macam-macam setelah keluar dari sini." "S-saya tak akan mengatakan apapun, saya berjanji." "Baiklah. Keluar dari sini!" "Terimakasih, Pak." Elif membungkukan tubuhnya lalu keluar dari ruangan Aexio. "Perintahkan seseorang yang bernama Ophelia untuk ke ruanganku sekarang!" Aexio kembali menghubungi seseorang. Ia menutup panggilan itu setelah selesai. Beberapa saat kemudian pintu kembali di ketuk. Sosok Ophelia muncul dari balik pintu. Kali ini bayangan Aexio akan malam itu semakin nyata. Benar, wanita ini yang ia tiduri malam itu. "Jadi kau yang menyiapkan kamarku malam itu." Apa yang Ophelia takutkan benar-benar terjadi. Akhirnya hari ini datang juga. "Maafkan saya, Pak. Malam itu saya mabuk." Ophelia tak bisa membela diri. Ia hanya bisa meminta maaf karena telah melakukan kesalahan. "Kau tahu apa yang terjadi malam itu, kan?" "Saya tahu. Tolong jangan pecat saya. Sangat sulit mencari pekerjaan diluar sana." Katakanlah Ophelia tak tahu malu. Ia tak bisa kehilangan pekerjaannya. Dari semua yang terjadi malam itu, Ophelia hanya menghawatirkan pekerjaannya. Keperawanannya yang hilang pun tak begitu ia pikirkan. Ia menganggap kehilangan itu tak begitu penting. Aexio menatap Ophelia seksama, apa wanita ini sedang bersandiwara di depannya? Yang Aexio pikirkan adalah wanita ini akan menuntut tanggung jawab padanya tapi yang ia dengar barusan adalah permohonan untuk tetap bekerja. "Kau tidak ingin aku bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan padamu?" Aexio bertanya terus terang. "Anda dan saya sama-sama mabuk. Kesalahan tidak hanya pada Anda tapi juga pada saya. Hal ini tidak perlu dipertanggung jawabkan karena ini diluar kesadaran Anda dan saya." Jawaban Ophelia kembali mengandung kecurigaan Aexio. Wanita diluaran sana mengemis untuk mendekatinya bahkan rela melakukan hal murahan untuk mendapatkannya tapi wanita di depannya malah tak ingin tanggung jawab darinya. Apa ini masuk akal? Apakah wanita ini sama dengan Aley? Bersikap baik tapi ujungnya memiliki niat busuk? "Aku bisa menikahimu jika kau menginginkannya." "Tidak. Saya tidak ingin menikah. Saya hanya ingin bekerja." "Bagaimana jika kau hamil?" Hal ini tidak masuk dalam pemikiran Ophelia. Ia hanya memikirkan tentang dipecat, dipecat dan dipecat. "Hamil itu tidak mudah, Pak. Meski satu kali berhubungan bisa terjadi kehamilan tapi saya pikir saya tidak akan hamil." "Bagaimana kau bisa seyakin itu?" "Karena saya tidak berharap saya hamil." Ophelia akhirnya mengangkat wajahnya. Hamil dan menikah adalah dua hal yang tak pernah ia pikirkan dalam hidupnya. "Aku juga tidak berharap itu akan terjadi, tapi jika kau hamil aku akan menikahimu. Aku tidak ingin anakku lahir tanpa status yang jelas." Ophelia pikir ini sudah terlalu jauh, "Saya tidak akan hamil." "Kau seperti Tuhan saja." "Anggaplah saya akan hamil. Saya tidak mau menikah." "Lalu, kau ingin anakku lahir tanpa ayah, begitu?" "Anda bisa jadi ayahnya tapi Anda dan saya tidak harus menikah." "Kenapa? Kau trauma pada pernikahan?" Aexio mulai melenceng. Ia mencampuri privasi orang lain. "Menikah hanya untuk orang yang saling mencintai sedangkan Anda dan saya tidak dalam konteks itu. Saya tidak ingin terjebak dalam pernikahan bodoh hanya karena anak. Saya bisa membesarkannya tanpa harus menikah." "Kau melecehkanku, Nona. Aku bukan tipe pria tidak bertanggung jawab. Saat ini aku tak akan mendesakmu menikah tapi satu bulan lagi jika kau hamil maka kau tidak bisa menolak. Aku akan memecatmu dan menutup semua jalan untukmu bekerja." Ancaman Aexio benar-benar serius dan Ophelia tahu itu. Pria ini bukan tipe pria b******k yang sering ia pikirkan. Ophelia berpikir bahwa semua pria itu sama dengan pria yang membuatnya ada. Tak bertanggung jawab. "Saya harap hari itu tidak akan pernah datang." Aexio meringis tertahan, sebegitu tidak inginnya kah wanita ini ia nikahi? "Menikah denganku tak harus membuatmu bekerja keras, Nona. Kau bisa menikmati kekayaanku." Ophelia menatap Aexio datar, "Saya hidup tidak untuk menikmati kerja keras orang lain." Jawaban Ophelia tak bisa ditebak oleh Aexio. Wanita keras kepala macam apa lawan bicaranya ini? "Kau membutuhkan pekerjaan yang artinya kau membutuhkan uang, dan aku bisa memberimu cukup uang jika kau menikah denganku. Wanita yang ambisius pasti tahu kemana dia harus menjatuhkan pilihan." "Dan saya bukan wanita ambisius. Saya butuh uang tapi saya bukan penggila uang." Aexio semakin tertantang untuk berdebat dengan Ophelia. Wanita ini tidak seperti Aley dalam hal dandanan dan kepintaran tapi dari cara pandangnya ia mengingatkannya pada sosok Aleycia yang pertama ia kenal. "Kau bersikap seperti ini agar aku semakin ingin menikahimu? Tidak perlu melakukan hal seperti ini, aku akan tetap menikahimu meski kau hanya ingin kekayaanku." Ophelia merasa diinjak disini, tapi ia tak bisa marah-marah. Membela diri tak harus dengan kemarahan yang hanya akan buatnya sakit kepala. "Apa Anda menjamin kekayaan Anda tak akan habis? Jangan mendahului Tuhan." Aexio tertawa kecil, "Kau memilih jawaban yang tepat. Takdir Tuhan tak bisa ditebak. Aku kalah." Aexio mengaku kalah. Tuhan bisa membalik keadaan dengan cepat, seperti ia dan Aley contohnya. Ophelia masih wanita biasa. Tak bisa ia pungkiri bahwa tawa Aexio adalah tawa terindah yang pernah ia lihat dari seorang pria sepanjang hidupnya. Ia mengagumi tawa itu tapi tetap saja tawa itu tak bisa menggoyahkan pilihannya untuk tidak menikah dengan Aexio. "Setidaknya Anda percaya pada Tuhan." Lagi-lagi Aexio tertawa kecil, "Aku bukan pemeluk agama yang taat tapi aku percaya pada Tuhan. Baiklah, kita tunggu satu bulan lagi. Semoga hasilnya sesuai yang kita harapkan." "Ya, semoga saja." "Kau tidak boleh melakukan apapun sebelum hasilnya terlihat." "Saya tak sepicik itu. Saya tak berharap hamil tapi saya tak akan mengkonsumsi obat apapun sampai satu bulan ke depan." "Cerdas." Aexio menanggapi puas. "Kau bisa keluar. Kita akan berjumpa satu bulan lagi." "Saya permisi." Ophelia membungkukan tubuhnya lalu keluar dari ruangan Aexio. Aexio menghela nafas, ia tak berpikir untuk menikah dalam waktu dekat tapi jika benar Ophelia hamil maka ia akan menikahi. Masalah cinta itu urusan belakang. Ia hanya ingin anaknya memiliki kejelasan status. Aexio kembali meraih ponselnya di atas meja, ia menghubungi orang yang ia hubungi tadi. "Kirimkan semua data tentang Ophelia." "Baik, Pak." Aexio menutup panggilan itu. Ia penasaran dengan hidup Ophelia. Wanita itu terlalu tak biasa baginya. Ia sudah menawarkan segalanya untuk Ophelia tapi wanita itu menolak dengan tegas. ** Di ruang kerja dalam apartemennya, Aexio memeriksa data Ophelia yang dikirim oleh orang kepercayaannya. Ia akhirnya mengetahui bahwa Ophelia besar di panti asuhan. Tak ada nama ayah ataupun ibu di data yang ia baca. Wanita itu sekarang tinggal di sebuah apartemen kecil di pinggir kota. Ia memiliki hutang pada bank dengan jumlah puluhan ribu dolar. Sebuah alasan kenapa wanita itu harus terus bekerja. Aexio berpikir sejenak, dari wajahnya Ophelia bukan wanita yang gila make up atau barang mahal. Semua terlihat dari tak ada aksesoris apapun yang menempel di tubuh Ophelia. Ditambah ia juga tinggal di tempat murah berfasilitas rendah. Jadi, untuk apa uang yang Ophelia pinjam? Aexio mengangkat bahunya, ia tak bisa menebak. Ia kembali melihat berkas tentang Ophelia. Melihat keseharian wanita itu yang dengan detail dijelaskan di sana bahwa Ophelia tipe rumahan yang jarang bergaul dengan orang lain. Dan lagi-lagi sebuah pertanyaan muncul di benak Aexio, bagaimana bisa Ophelia berakhir mabuk jika ia saja tak suka ke tempat seperti itu? Entahlah, Aexio juga tak menemukan jawabannya. Ophelia ternyata murid yang cerdas ketika sekolah. Ia mendapatkan nilai tinggi di setiap mata pelajaran. Namun pendidikan wanita itu hanya sampai sekolah menengah atas. Padahal dari nilai-nilai Ophelia wanita itu bisa mendapatkan beasiswa. Tapi, lagi-lagi Aexio tak mau menebak kenapa Ophelia tak melanjutkan sekolahnya. Tangan Aexio menutup berkas yang ia baca. Ia pikir Ophelia bukan wanita yang buruk untuk menjadi ibu dari anaknya. Wanita itu memiliki pendirian yang tegas. Sejauh ini yang terlihat bukan penggila uang. Satu bulan lagi, Aexio akan kembali bertemu dengan Ophelia. Ia tak tahu takdir apa yang akan Tuhan berikan padanya. Entah ia akan menikah dengan Ophelia atau dia hanya akan menjadi perenggut mahkota wanita itu. Tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN