Bab 10. MB

2229 Kata
Akhirnya Malik mengantar Luna ke kamar mandi untuk mencuci muka dan berganti pakaian. Malik juga mengambilkan alat mandi Luna yang selalu dibawanya di dalam mobil. Ia juga tak mungkin membiarkan Luna memakai sabun milik Jenar. Malik tau, peralatan mandi Luna bukan merk abal-abal. Pasti harganya sangat mahal dan itu langsung dari dokter kulit yang biasa Luna kunjungi tiap seminggu sekali. “Malik, aku sudah selesai,” ucap Luna dari dalam kamar mandi. “Baik, Non.” Malik lalu membuka pintu kamar mandi. Ia terkejut saat melihat Luna yang sudah berganti pakaian memakai pakaiannya. Pakaiannya terlihat begitu kebesaran di tubuh Luna yang mungil. Belum lagi, Luna hanya memakai celana hotpant. Dengan pakaian yang Luna pakai saat ini, ia seperti tak memakai celana, karena panjang celana itu bahkan tertutup dengan koas Malik yang dipakai Luna saat ini. Luna mengernyitkan dahinya, saat melihat Malik yang masih berdiri di depan pintu sambil menatapnya. Ia lalu melihat penampilannya sendiri. Ada yang aneh ya dengan penampilan aku? sepertinya gak ada yang aneh? Tapi kenapa Malik menatapku seperti itu? “Lik, ada apa? apa aku gak cocok ya pakai baju kamu? baju kamu memang kebesaran di badan aku?” tanyanya bingung. “Bu—bukan seperti itu, Non. Ta—tapi, celana yang Non Luna pakai apa gak terlalu pendek?” Malik bahkan harus menelan ludah dengan susah payah saat melihat penampilan Luna saat ini. “Ini namanya hotpant. Aku juga gak mungkin pakai celana jeans waktu tidur. Aku juga gak mungkin juga pakai celana kamu,” ucap Luna sambil mengerucutkan bibirnya. “Maafkan saya, Non. Saya akan membantu Non Luna untuk keluar.” Malik langsung membopong tubuh Luna dan membawanya keluar dari kamar mandi. Jenar yang melihat bagaimana Malik memperlakukan Luna, benar-benar merasakan sakit hati yang luar biasa. Tapi, ia juga tak bisa berbuat apa-apa, karena selama ini, Malik tak pernah menyukainya. Apalagi menganggapnya sebagai istri. Tapi, Jenar tetap bersyukur, karena ia masih bisa bersama dengan Malik. Itu semua sudah lebih dari cukup. Ia yakin, suatu saat nanti, Malik akan bisa menerimanya dan juga pernikahan mereka. Meskipun itu hanyalah pernikahan siri. “Malik, berhenti,” pinta Luna yang melihat Jenar tengah berada di dapur. Luna teringat dengan apa yang Malik katakan padanya tadi saat di kamar. “Katanya kamu bisa masak? Kok malah Jenar yang masak makan malam?” tanyanya kemudian. “Saya sudah memesankan makanan untuk Non Luna makan malam.” Luna mengernyitkan dahinya, “kenapa?” “Saya hanya takut, Non Luna gak akan suka dengan makanan kampung.” “Bawa aku ke dapur.” “Untuk apa, Non? Lebih baik Non Luna istirahat di kamar aja. Nanti kalau makanannya sudah datang, akan saya antar ke kamar.” Luna menggelengkan kepalanya, “aku ingin lihat, makanan apa yang dimasak Jenar. Kenapa aku gak makanan kampung?” Malik menghela nafas. Mau tak mau, ia membawa Luna ke dapur. Ia tak mau kembali berdebat dengan majikannya yang sangat keras kepala itu. Malik mendudukkan Luna ke salah satu kursi meja makan. “Kalau boleh aku tau, apa yang kamu masak?” tanya Luna sambil menatap Jenar yang tengah memasak. “Nasi goreng, Non. Soalnya saya belum sempat belanja sayuran tadi,” ucap Jenar sambil menepiskan senyumannya. Pantesan malik memesankan aku makanan. Luna menatap Malik, “Lik, kenapa kamu gak sekalian pesan makanan buat Jenar?” “Gak usah, Non. Saya makan ini saja. Tadi Mas Malik sudah menawari saya, tapi sayanya yang tidak mau,” ucap Jenar sambil menatap Malik. “Mas, kamu mandilah dulu, biar Non Luna disini sama aku,” lanjutnya dengan senyuman di wajahnya. “Iya, Lik. Badan kamu bau tau. Masa kamu gendong aku dengan badan bau gitu,” goda Luna sambil mengendus tubuh Malik. Masa sih badan aku bau? Malik mengendus-endus tubuhnya, “masa sih, Non. Enggak ah, badan saya gak bau.” Luna tersenyum, ia lalu mendorong tubuh Malik, “udah sana mandi. Aku akan tunggu disini.” Jenar melihat bagaimana sikap Luna kepada Malik. Ia lalu menghela nafas panjang, mencoba untuk menghalau rasa sakit di hatinya. Kapan, Mas. Kapan kamu bisa bersikap lembut seperti itu sama aku? Malik menganggukkan kepala, “kalau begitu saya mandi dulu. Non Luna jangan banyak bergerak. Duduk disini aja. Kalau butuh apa-apa, tunggu sampai saya selesai mandi. Saya janji, gak akan lama.” Luna menganggukkan kepalanya, “tenang aja, aku gak akan kemana-mana. Lagian ada Jenar disini,” ucapnya sambil menatap Jenar. Malik menatap Jenar, “jaga Non Luna baik-baik sampai aku kembali.” “Hem... aku akan jaga Non Luna dengan baik,” ucap Jenar sambil menepiskan senyumannya. Malik lalu melangkah keluar dari dapur. “Em ... apa aku boleh bertanya sesuatu?” tanya Luna kepada Jenar setelah Malik pergi. “Boleh, Non. Apa yang ingin Non Luna tanyakan?” Jenar mematikan kompor. Ia lalu mengambil piring dan memindahkan nasi goreng buatannya ke dalam piring kosong itu. “Sebelum tinggal disini, kamu sama Malik tinggal dimana? Soalnya tadi Malik bicara soal rumah lamanya.” “Kami dulu tinggal di Jakarta, Non. Desa ini adalah kampung halaman saya. Tapi, sekarang desa ini sudah banyak perubahan setelah saya tinggal pergi,” ucap Jenar sambil menepiskan senyumannya. Jenar melangkah menuju meja makan, meletakkan sepiring nasi goreng itu ke atas meja. “Non Luna mau?” tawarnya. Luna menggelengkan kepalanya, “terima kasih, tapi aku gak makan makanan yang berlemak,” tolaknya secara halus. Jenar mengangguk mengerti. Ia lalu menatap kaki Luna yang diperban, “kalau boleh saya tau, kenapa kaki Non Luna diperban?” Luna menatap kakinya yang diperban, ia kembali teringat dengan kejadian kemarin malam. Dimana Malik dengan begitu telaten mengobati kakinya. “Aku gak sengaja menginjak pecahan kaca. Untung ada Malik. Dia mengobati luka ku dengan penuh kesabaran. Aku gak menyangka, pria dingin seperti Malik, bisa seperhatian itu,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. Itu hanya sama kamu, tapi gak sama aku. Dari dulu sampai sekarang, Mas Malik selalu bersikap dingin sama aku. Malik yang sudah selesai mandi, segera berpakaian. Malam ini, ia memakai kaos oblong dengan warna yang sama dengan Luna. Dipadukan dengan celana pendek selutut yang biasa dipakai Malik setiap harinya. Malik melangkah menuju dapur, “Non, sebaiknya Non Luna beristirahat di kamar aja.” Luna menggelengkan kepalanya, “aku gak mau sendirian di kamar, kecuali kamu mau menemani aku di kamar.” Jenar menatap Malik, “Mas ... makan malam sudah siap.” Malik menganggukkan kepalanya, “kamu makan aja duluan, aku akan menemani Non Luna dulu sambil menunggu makanan yang aku pesan datang.” Baru saja Malik berhenti bicara, ia mendengar suara ketukan pintu. “Itu pasti makanannya sudah datang. Saya lihat dulu, Non.” Luna menganggukkan kepalanya. Jenar dan Luna menatap Malik yang melangkah pergi menuju pintu. Luna tersenyum, “Malik pria yang baik. Beruntung sekali wanita yang akan menjadi pendampingnya kelak.” Beruntung? Andai itu bisa aku rasakan. Tapi, yang aku rasakan selama menikah dengan Mas Malik hanya rasa hampa, sunyi, dan kesepian. Mas Malik selalu menghindar dariku selama ini. Apalagi sekarang, dia bekerja menjadi bodyguard dan sudah tak ada waktu lagi buat pulang ke rumah. Setelah selesai makan malam, Malik mengantar Luna ke kamarnya. Ia tau Luna sangat lelah. “Non Luna harus segera istirahat. Besok pagi kita kembali ke Jakarta.” “Lik, gimana kalau aku gak bisa tidur? Aku belum pernah tidur di rumah orang lain selama ini.” “Saya ‘kan sudah mengajak Non Luna untuk kembali ke Jakarta. Tapi Non Luna ngotot ingin menginap di rumah saya.” Luna mengerucutkan bibirnya, “jadi kamu nyalahin aku!” kesalnya. “Bukan begitu, Non. Saya hanya ...” “Aku gak mau tidur!” potong Luna sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya. Malik menghela nafas, “kalau Non Luna tidak tidur, Non Luna mau ngapain? Mau begadang sampai pagi?” “Hem ... tapi kamu temani aku ya,” ucap Luna sambil menggerakkan kedua alisnya naik turun. “Yakin, Non Luna mau begadang sampai pagi?” Luna menganggukkan kepalanya, “aku juga gak bisa tidur.” Malik tak punya pilihan lain selain melakukan apa yang Luna minta. “Sekarang Non Luna mau apa?” “Gimana kalau kita nonton TV?” Malik menganggukkan kepalanya, “kalau begitu, saya akan membawa Non Luna ke ruang tengah. Kamar saya gak ada TV nya.” Luna menganggukkan kepalanya. Seperti biasa, ia langsung mengulurkan kedua tangannya, agar Malik menggendongnya. Malik membopong tubuh Luna dan membawanya keluar dari kamar. Ternyata saat ini Jenar juga tengah menonton acara televisi. “Boleh kami gabung?” tanya Luna yang masih ada dalam gendongan Malik. Jenar menganggukkan kepalanya, “silahkan, Non.” Malik mendudukkan tubuh Luna di sofa panjang. Luna menarik tangan Malik, saat pria itu ingin duduk di sofa lain. “Duduk disini aja,” pintanya lalu menarik tangan Malik sampai Malik terduduk di sampingnya. Luna menatap ke arah layar datar berukuran 24 in di depannya. Sedangkan Malik dan Jenar menatap satu sama lain. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka saat ini. “Lik, apa aku boleh bersandar di bahu kamu?” tanya Luna sambil menatap ke arah Malik. Entah mengapa, kedua matanya sudah tak tahan untuk tetap terjaga. Malik menganggukkan kepalanya. Luna lalu menyandarkan kepalanya di bahu Malik, “aku kangen sama Papa, Mama, dan Adel.” “Saya sudah memberitahu Nyonya, kalau Non Luna menginap di rumah saya.” Mendengar apa yang Malik katakan, sontak membuat Luna kembali mengangkat kepalanya. “Apa! lalu apa yang Mama katakan? Mama pasti marah.” “Nyonya Melani tidak marah, Non. Beliau meminta saya untuk menjaga Non Luna dengan baik dan besok harus segera pulang ke Jakarta.” Tapi Nyonya marah sama saya. Luna menghela nafas lega. Ia lalu kembali menyandarkan kepalanya di bahu Malik. “Lik, kamu tau gak, kalau Mama Melani itu bukan Mama aku?” “Tidak, Non.” “Mama aku meninggal saat melahirkan aku. Papa membesarkan aku seorang diri sampai aku berusia satu tahun. Setelah itu, Papa menikah dengan Mama Melani. Mama Melani itu sangat baik sama aku. Dia bahkan lebih sayang sama aku, ketimbang sama Adel,” ucap Luna dengan senyuman di wajahnya. Luna dan Malik seakan melupakan keberadaan Jenar di ruangan itu. Jenar tak menyangka, Malik bisa menjadi pendengar yang baik, saat Luna menceritakan tentang kisah hidupnya. Padahal selama ini, Malik sekalipun tak pernah mendengar apapun yang Jenar katakan. Jenar melihat Luna yang sudah memejamkan kedua matanya. “Mas, sepertinya Non Luna sudah tidur. Apa gak sebaiknya Mas membawa Non Luna ke kamar?” “Biarkan saja. Kalau aku pindah sekarang, takutnya malah mengganggu tidur Non Luna.” Malik berbicara tanpa menatap Jenar. Tatapan mengarah ke layar datar yang ada di depannya. “Kalau kamu sudah mengantuk, tidurlah. Bukankah besok kamu harus pergi bekerja?” “Aku akan temani Mas disini.” Bagaimana bisa Jenar membiarkan Malik berduaan dengan Luna. Melihat kebersamaan mereka saat ini saja sudah membuatnya sakit hati. Apalagi harus membayangkan, Malik dan Luna dalam posisi seperti itu semalaman. Apalagi Malik tetaplah seorang pria. Luna gadis yang cantik. Bentuk tubuhnya juga sangat menggoda. Jenar hanya tak ingin, apa yang ada dalam pikirannya saat ini benar-benar terjadi. “Tidurlah, aku gak perlu kamu temani.” “Mas, bisakah Mas bersikap baik juga sama aku? sama seperti Mas memperlakukan Non Luna.” Malik mengalihkan tatapannya menatap Jenar, “jaga ucapan kamu. Apa kamu lupa kalau ada Non Luna disini?” Malik menatap Luna yang masih tertidur sambil bersandar pada bahunya. “Jangan membuatku marah. Lebih baik kamu pergi dari sini,” lirihnya. “Aku gak akan pergi kemana-mana. Aku akan tetap disini,” kekeh Jenar sambil melipat kedua tangannya di depan dadanya. “Terserah!” Malik kembali fokus dengan layar datar yang ada di depannya. Malik terkejut, saat tiba-tiba Luna memeluknya. Begitupun dengan Jenar. “Mas, lebih baik Mas bawa Non Luna ke kamar.” Jenar tak suka melihat Malik dipeluk oleh Luna. Aku aja belum pernah memeluk Mas Malik seperti itu! Jenar tentu saja merasa sangat kesal. Apalagi pemandangan itu tepat berada di depannya. Malik dengan perlahan menopang kepala Luna dengan tangannya, ia lalu membopong tubuh Luna, dan membawanya ke kamarnya. Malik merebahkan tubuh Luna di ranjangnya. Ia lalu menarik selimut untuk menutup tubuh Luna sampai ke bahunya. Selamat malam, Non. Semoga malam ini Non Luna bisa tidur dengan nyenyak. Malik lalu melangkah keluar dari kamarnya. Ia melihat Jenar yang masih berada di ruang tengah. “Tidurlah,” pintanya setelah mendudukkan tubuhnya di sofa. Jenar beranjak dari duduknya, lalu beralih duduk di samping Malik. “Aku akan temani suami aku disini,” ucapnya sambil merangkul lengan Malik. Malik terkejut dengan apa yang Jenar lakukan, “apa yang kamu lakukan!” serunya sambil melepaskan tangan Jenar dari lengannya. “Mas! Kenapa Mas marah saat aku bersikap manja sama, Mas? Tapi Mas diam saja, kalau Non Luna yang bersikap manja sama Mas. Kenapa, Mas?” kesal Jenar. Malik beranjak dari duduknya, bukannya menjawab pertanyaan Jenar, ia memilih untuk pergi. Mas, aku mencintaimu. Tapi kenapa kamu gak bisa mencoba untuk mencintaiku juga. Lima belas tahun kita bersama, Mas. Apa sekalipun Mas tak menyukaiku? Malik memilih untuk tidur di sofa ruang tamu. Karena merasa sangat lelah, tak butuh waktu lama, kedua mata itu mulai terpejam. Jenar melihat Malik yang sudah terlelap di sofa ruang tamu. Ia lalu masuk ke dalam kamarnya dan mengambil selimut. Jenar menutup tubuh Malik dengan selimut. Selamat malam, Mas. Sampai kapanpun aku gak akan pernah menyerah untuk mendapatkan hati kamu, Mas. Aku akan tetap berusaha untuk menjadi istri yang baik untuk kamu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN