BAB : 3

1287 Kata
Lova memejamkan kedua matanya, dengan deguban jantung yang sudah tak karuan. Tangannya mencengkeram kaosnya saking deg-deg'an. Tapi, di saat rasa itu ia rasakan, segelintir kalimat tiba-tiba menghiasi pendengarannya. Bahkan, tangan Mirza dengan seenaknya melingkar di pinggangnya. "Berharap ciuman dari saya? Atau justru lebih?" Kedua matanya langsung melek seketika saat mendengar dan mendapat perlakuan itu semua. Kesal, iapun langsung mendorong tubuh Mirza dengan kuat, hingga segera menjauh dari hadapannya. "Bapak pikir saya cewek apaan!?" Asli, tiba-tiba saja ia merasa kesal sendiri. Mirza tersenyum di sudut bibirnya menanggapi perkataan dan balasan sikap Lova padanya. Padahal ia hanya bercanda, kenapa bocah ini menanggapinya dengan begitu serius? "Kenapa marah begitu?" tanya Mirza. "Oo ... apa jangan-jangan, benar apa yang saya katakan barusan ... kamu memang berharap mendapatkan sesuatu dari saya?" Lova yang posisinya sedikit berjarak dari Mirza, kini mendekat. Tentunya dengan Ekspressi kesal, marah dan sejenisnya. "Bapak Mirza yang terhormat!" tegasnya dihadapan Mirza sambil bersidekap d**a. "Meskipun di sekolah nilai saya nggak bagus-bagus amat, sering keluar masuk ruang BK, tapi jangan sampai berpikir kalau saya ini w************n!" Mirza berdecak dan duduk di pinggiran tempat tidur. "Kamu yang mengatakan itu, bukan saya, Lova," komentarnya. "Tapi perkataan Bapak mengatakan seolah-olah saya ini w************n!" "Dan kamu mengatakannya lagi," timpal Mirza langsung. Sungguh, ia benar-benar gregetan dengan cowok yang berstatus sebagai gurunya ini. Kenapa takdir malah membuatnya terdampar di sini? Tak adakah tempat lain yang bisa dipilih oleh papanya, yang lebih baik? Setidaknya jangan ada makhluk sejenis Mirza di dalamnya. "Bapak nggak suka, ya, saya di sini?" tanya Lova. "Tergantung," jawabnya simple. Tanpa memberikan komentar lagi, ia beranjak dari posisinya. Berjalan menuju lemari pakaian. Dua buah koper ia ambil dan mengisinya dengan pakaian miliknya. Begitupun perlengkapan sekolah yang ada di meja belajar, ia masukkan semua. Awalnya Mirza hanya biasa saja, memperhatikan apa yang sedang dilakukan gadis itu. Tapi saat dia mengenakan sepatu, barulah dirinya bereaksi dan beranjak dari posisi duduknya. "Mau kemana kamu?" tanya Mirza. Tapi pertanyaannya tak mendapatkan jawaban sama sekali. Lova bersiap untuk keluar dari kamar, lengkap dengan kopernya. Rasanya ia tak sanggup jika harus berlama-lama berada di rumah ini. Bukan karena Diana maupun Gilbert tak baik padanya, justru putra mereka yang sepertinya tak menyukai keberadaannya di sini. "Dengar pertanyaan saya, kan?!" ulang Mirza yang membuat langkah Lova terhenti saat hendak membuka pintu kamar. Ia tetap tak berniat untuk menjawab pertanyaan itu. Terserah, mau dibilang murid yang durhaka sekalipun. Terlanjur kesal membuatnya tak mau bersikap baik. Mirza menghampiri Lova dengan kedua tangan berada di kedua sakunya. "Lihat, kan, sekarang sudah malam ... dan kamu masih berniat untuk pergi? Jangan membuat saya semakin berpikir kalau kamu ..." "Pak! Ini bukan di sekolah. Jadi, jangan terlalu mencampuri urusan saya. Apalagi sampai memikirkan hal-hal negatif tentang saya! Nggak suka, kan, saya disini? Yaudah, kalau gitu permisi, saya mau pergi!" Dengan sengaja, Lova menyenggol Mirza yang berdiri di depannya karena menghambat langkahnya untuk pergi. Awas saja kalau semua ini malah dikaitkan dengan nilainya di sekolah. "Lova, berhenti!" Anggap saja teriakan dan panggilan itu seperti kentut. Bau, tapi setelah beberapa saat baunya juga akan hilang. Mirza segera menyusul Lova yang berlalu pergi dan menuruni anak tangga. Seolah-olah dua koper besar yang dia seret, tak ada beratnya sama sekali. Kenapa candaannya malah dianggap seserius ini? "Heii ... kamu mau kemana?" tanya Mirza terus mengekori Lova. "Pulang! Saya masih punya rumah. Ngapain saya di sini, kalau pemiliknya saja merasa terganggu," jawabnya terus melangkah dan membuka pintu utama. Sampai di teras, ia berhenti. Begitupun dengan Mirza yang langkahnya juga ikut terhenti. "Dan tolong Bapak bilang sama Om dan Tante, kalau saya balik ke rumah. Saya juga nggak mau mereka berpikir yang tidak tidak seperti Bapak. Makasih atas tawarannya untuk tinggal di sini. Tapi sayang, anaknya begitu menyebalkan!" Setelah mengatakan itu semua, ia segera berlalu pergi. Sampai di depan gerbang, untungnya bertepatan dengan lewatnya sebuah taksi. Jadi, ia bisa langsung pergi tanpa harus menunggu sampai tulangnya keropos. Sementara Mirza masih berdiri diam di teras menatap kepergian gadis itu. "Apa-apaan sikap gadis itu? Apa dia sedang berniat membuat posisiku jadi salah di sini, begitukah? Oke, terserah," gumamnya kembali masuk ke dalam rumah. Untung saja kedua orang tuanya tak terbangun. Kalau tidak, habislah ia. Tahu sendiri, kalau marah, amukan mamanya seperti induk macan yang kelaparan. ---000--- Kini ia sudah sampai di rumah. Ya ... rumah yang ia rindukan, meskipun baru beberapa jam ia tinggalkan. Rumah yang lebih baik dan membuat otaknya tenang. Tak seperti di kediaman Gilbert dan Diana, dimana di dalamnya ada makhluk menyebalkan bernama Mirza. Dan jangan lupakan kalau dia adalah gurunya. Astaga! Guru macam apa, sih, yang punya sikap seburuk itu. Sepertinya pihak sekolah salah mengambil keputusan untuk menerima dia menjadi guru. Dirinya juga bodoh, karena selama ini sudah meng'agung-agungkan sosok seorang Bapak Mirza yang terlihat dingin dan Kalem. Padahal sikap aslinya justru berbanding terbalik. Bahkan jungkir balik. "Mang!!!! Buka pintunya!!!!" Ia berteriak setelah turun dari taksi, agar penjaga segera membukakan pagar besi setinggi tiga meter yang menutupi area rumah. Ia sudah seperti seseorang yang ditendang secara tak hormat saja. Mang Juned yang ada dibalik pagar, sedikit mengintip siapa yang datang. Takutnya maling, karena ini sudah larut malam. "Loh, Non Lova?" "Buka pagarnya, Mang!!!" Dan kali inipun ia dianggap layaknya maling. Segera, laki-laki paruh baya itu membuka gembok agar sang majikan bisa masuk. "Kok, Non balik lagi?" tanya Mang Juned melihat sang majikan yang balik, apalagi lengkap dengan dua koper yang dia seret dengan lelah. Ia tak menjawab, melainkan terus berjalan memasuki rumah. Ini sudah malam, matanya mengantuk dan otaknya masih memikirkan Mirza. Memikirkan betapa menyebalkannya dia. "Mulai hari ini, aku harus memutar haluan. Jangan ada lagi yang namanya mengidolakan makhluk menyebalkan itu," gumamnya sambil terus berjalan memasuki kamar. Setelah membuka sepatu, langsung saja ia hempaskan badannya di tempat tidur. Ini adalah hari yang begitu melelahkan. Semoga besok lebih baik lagi.                                                         ---000--- Pagi ini seperti biasa, di kediaman Gilbert dan Diana tradisi sarapan bersama diwajibkan! Pokoknya, nggak ada yang namanya perkataan kenyang di pagi hari. "Lova kok nggak dipanggil sekalian, Za?" tanya Diana sesaat setelah Mirza mendudukkan bokongnya di kursi. "Dia udah pergi semalam, Ma," jawabnya santai. Tapi respon mamanya justru malah menakutkan. Seakan-akan barusan ia mengatakan 'Ma, besok akan ada perang dunia'. "Apa!!!?" Kalau ayam goreng yang ada di meja makan masih memiliki nyawa, saking kagetnya mendengar suara mamanya mungkin akan kabur dari piring. "Iya, semalam dia udah pergi ... lengkap dengan dua koper," tambahnya menjelaskan sambil melahap roti dengan selai margarin dan kacang kesukaannya. Mendengar penjelasan putranya, Diana yang sedang menikmati sarapan langsung terhenti. Sendok dan garpu yang ada di pegangannya ikut terlepas dan membentur piring. "Jangan bilang sama Mama kalau kamu udah ngusir dia?!" "Ma ... jangan berpikiran jelek terus padaku. Mana mungkin aku ngusir dia, ditengah malam. Jangan lupa juga, kalau aku ini guruny. Ya ... mungkin saja memang dia nya yang enggak mau tinggal di sini." Ini masih pagi buta dan jangan ada omelan untuknya sebagai sarapan tambahan. "Kalau memang dia enggak mau, pasti dia udah nolak sebelum ke sini, Za," komentar Diana. "Ya aku nggak tahu, Ma. Yang jelas, sekarang dia udah balik ke rumahnya. Alasannya? Jangan tanya padaku. Kalau Mama penasaran, bisa langsung datang ke sana." "Pa ... gimana ini?" tanya Diana pada Gilbert yang duduk di sebelahnya. Bagaimana ia tak cemas. Arnel menitipkan putrinya pada ia dan suaminya, tapi sekarang keduanya seolah-olah tak menjaganya dengan baik. "Kalau sampai alasan Lova pergi dari sini memang karena kamu dan ada hubungannya sama kamu, awas ya, Za." "Pa ..." "Jangan memamerkan status guru mu di depan Papa!" Gilbert langsung menimpali perkataan Mirza. "Walaupun kamu seorang presiden sekalipun, tetap saja status orang tua lebih tinggi dari anaknya," jelas Gilbert. Bukannya tak percaya, hanya saja ia tahu sifat putranya yang sedikit menyebalkan. Bahkan bisa lebih. Sepertinya hari-harinya akan mengalami perubahan yang signifikan. Lova, gadis itu yang akan merubahnya. Mungkin, pertarungan antara murid dan guru akan segera dimulai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN