"Jadi Andin mau tinggal di sini sama kita?" tanya suami Freya, kakak ipar Andin yang bernama Ghani.
"Iya, Mas. Enggak apa-apa' kan? Kami kan udah enggak punya orang tua di kampung. Lagipula Andin juga mau kerja kan, Andin?"
Andin menoleh pada Freya. "Insyaallah, Mbak. Kata temen Andin ada lowongan ngajar di TK tempatnya ngajar." Andin menatap Ghani sekilas lalu kembali menundukkan kepalanya.
Ghani menatap Andin dengan tatapan penuh arti, lalu tersenyum tipis pada Freya "Boleh ko, sayang. Andin kan adikmu, itu artinya dia juga adikku, benar?"
Freya tersenyum lebar. "Terima kasih, Mas. Kamu memang suami terbaik untukku. Iya, dong. Dia adikku itu artinya Andin juga adikmu." Freya memeluk Ghani dengan sedikit memberikan kecupan mesra di depan mata Andin tanpa malu. "Andin, sini Mbak tunjukkin kamarmu."
Andin beranjak mengikuti Freya i menuju kamarnya. "Ini kamarmu. Jangan neko-neko, udah sukur Mas Ghani mau mengizinkan kamu tinggal di sini."
"Iya, Mba. Terima kasih."
"Ya udah, Mba mau masak. Kamu istirahat aja dulu."
"Iya, Mba. Sekali lagi terima kasih."
Setelah kepergian Freya, Andin mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kamar itu. Lalu Andin membereskan barang-barangnya dan menatanya di lemari yang sudah disediakan oleh Freya Andin bersyukur ternyata kehidupan Freya di kota tidak begitu memprihatinkan. Bahkan, Freya mempunyai suami yang begitu baik dan sudah mengizinkan dirinya tinggal di rumah mereka.
Setelah selesai, Andin pun mandi karena badannya terasa begitu lengket. Andin berencana untuk menghubungi Elsa setelah mandi nanti. Elsa adalah teman Andin di desa yang kini juga mengajar di kota Jakarta setelah dirinya ikut dengan sang ibu ke kota Jakarta. Betapa terkejutnya Andin saat selesai mandi, Aisyah mendapati Ghani nyelonong ke kamarnya tanpa ketuk pintu. Untung saja Andin sudah selesai memakai bajunya.
"Andin." Ghani masuk ke kamar lalu menutup pintunya.
Tentu saja membuat Andin terkejut. "Mas, kok pintunya ditutup?"
Ghani menyeringai penuh arti. "Jangan takut, Andin. Saya hanya ingin tahu kabar kamu kok," ujarnya mendekati Andin.
Andin mundur karena Ghani semakin mendekatinya. "Mas mau apa?"
Ghani menarik tangan Andin. "Jangan jual mahal, Andin! Kamu pun pasti nanti akan ketagihan kok," ucapnya dengan seringai aneh. "Memangnya kamu pikir aku mau apa? He he."
"Jangan kurang ngajar, Mas!" Andin hendak beranjak kaluar kamar, tapi tangannya di cekal oleh sang kakak ipar.
"Mau kemana sih? Main-main dulu sebentar lah, Din." Ghani semakin mencengkram tangan Andin.
Andin menepis tangan Ghani. "Mas, istighfar. Aku ini adik iparmu. Jangan buat Mba Freya salah paham padaku."
Ghani kembali menyeringai dengan menoleh ke arah luar kamar takut Freya menghampiri mereka. "Asal kamu tidak bilang apa-apa sama Freya, semua akan baik-baik saja, Andin. Sudahlah, jangan munafik begitu. Kamu tahu? Freya saja ketagihan dengan permainanku, he he."
Andin menggelengkan kepalanya tak percaya dengan sikap sang kakak ipar yang sangat keterlaluan. "Astaghfirullah, Mas. Jangan sampai Mbak Freya tahu kebusukanmu lalu dia meninggalkanmu, Mas."
Andin ingin teriak, tapi takut jika Freya malah salah paham padanya. Andin merasa, Ghani tipe pria yang pintar bersilat lidah. Apalagi Andin baru datang dari desa dan belum tahu bagaimana keadaan rumah tangga Freya yang sebenarnya.
"He he, itu tidak mungkin. Karena dia begitu mencintaiku."
Dengan cepat Andin keluar dari kamar itu karena tak tahan dengan ucapan menjijikan dari Ghani. Untungnya, kali ini Ghani pun tidak menghentikan langkahnya. Entah terbuat dari apa hati pria itu, Andin hanya merasa kasihan pada sang kakak yang harus memiliki suami bejad seperti Ghani.
"Din, kamu kenapa?" Freya menatap Andin sedikit ketakutan.
"Emm, enggak kok, Mbak. Aku pengen bantu Mbak, apa ada yang bisa aku bantu, Mbak?"
Andin rasa berada di sisi Freya lebih baik daripada harus dihampiri oleh Ghani lagi. Gadis itu jadi bingung, bagaimana kehidupannya nanti. Tentunya Andin tidak ingin kembali berinteraksi dengan Ghani. Akan tetapi, Andin harus kemana?
Sampai tiba waktu malam, Andin langsung mengunci kamarnya. Beruntung kamar itu memiliki kunci sehingga Andin bisa merasa aman jika saja Ghani datang lagi. Setelah memperbanyak doa, Andin akhirnya tertidur.
Hari sudah berganti. Andin sebenarnya tidur dalam keadaan hati yang tidak tenang karena ulah kakak iparnya. Bahkan Andin tidur memakai pakaian yang benar-benar tertutup karena takut jika ternyata Ghani bisa masuk ke kamarnya. Walau bagaimanapun Ghani pastinya tahu seluk beluk rumah itu dan bisa saja melakukan hal di luar nurul.
***
Akhirnya Andin sudah mulai mengajar di salah satu TK tempat Elsa, teman dari Andin mengajar. Andin terlihat begitu ceria ketika berkenalan dengan anak-anak di TK itu. Namun, setelah jam belajar selesai, Andin kembali tertegun karena merasa enggan untuk pulang ke rumah kakaknya.
"Sa, berapa sih di sini sewa kontrakan?"
Elsa menoleh dan menatap Andin "Kamu mau ngontrak? Kenapa?"
Andin terdiam. Andin tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya pada Elsa tentang kakak iparnya. Tentu saja Andin takut jika itu malah menjadi fitnah yang berakibat tidak baik untuk rumah tangga kakaknya.
"Enggak apa-apa, aku pengen hidup mandiri aja gitu."
"Nanti deh aku tanya Ibu ya. Soalnya, Ibu yang tahu soal begituan, he he."
"Ok deh, makasih ya, Sa."
Waktu pulang sudah tiba. Andin pun mau tidak mau harus pulang ke rumah sang kakak. Walau Andin begitu malas untuk pulang karena pasti bertemu dengan sang kakak ipar, tapi Andin tidak punya pilihan.
Andin hendak melangkahkan kaki untuk memasuki gang di mana rumah sang kakak berada. Namun, mobil sang kakak ipar tiba-tiba mencegatnya di jalan raya. Andin pun di bawa masuk dengan paksa ke dalam mobil dan dibawa entah ke mana.
"Mas, hentikan! Turunin, Mas. Aku mau di bawa ke mana?"
Ghani tidak mengatakan apapun selain menyeringai penuh arti. Tiba di depan gedung kosong yang jauh dari keramaian, mobil itu berhenti. Andin menoleh ke kanan dan kiri mengedarkan pandangannya.
"Kita di mana, Mas?"
Ghani membuka pintu mobilnya dan menghampiri Andin di jok belakangnya. "Karena kamu di rumah tidak mau. Jadi, sebelum kita pulang kita akan bersenang-senangnya di sini."
Jantung Andin berdetak kencang. Badannya begitu bergetar mendengar ucapan sang kakak ipar. Sungguh Andin menyesal mengapa harus ikut tinggal bersama Freya, jika saja Andin tahu dari awal jika sang kakak ipar adalah pria b******k. Apalagi selama ini Andin tidak pernah mendapat perlakuan seperti itu. Karena hidup Andin di desa dalam keadaan aman dan damai.
"Apa maksudmu, Mas?"
"Sudahlah, Din. Jangan menjual mahal. Tadi juga kamu pulang sama pria kan?" Ghani mendekatkan wajahnya pada wajah Andin.
Andin menggelengkan kepalanya. "Sadarlah, Mas. Aku ini adik iparmu, aku adik dari istrimu, Mas!"
Ghani menyeringai licik, lalu berbisik pada telinga Andin "Freya tidak bisa membuatku puas. Dan aku lebih tertarik melihat tubuhmu, Din."
Andin mendorong tubuh Ghani yang hendak mengecupnya. "Jangan, Mas! Istighfar, Mas!"
Ghani tak menghiraukan teriakan dan berontakkan dari Andin. Ghani terus menarik tubuh dan tangan Andin yang terus berusaha menghindar dan mempertahankan bajunya. Mobil itu bergoyang-goyang dan terdengar teriakan dari Andin karena Ghani pikir tidak akan ada yang lewat ke tempat sepi itu jadi, pintu mobilnya tetap terbuka sebelah. Andin terus mendorong tubuh Ghani yang terus berusaha untuk menarik bajunya.
Karena tenaga Andin tidak seimbang dengan tenaga Ghani. Akhirnya Ghani pun berhasil merobek lengan baju Andin sehingga kulit itu terpampang jelas. Andin segera menutupinya dengan tangan satunya, tapi Ghani kembali menariknya.
"He he, sudah ku duga kamu lebih seksi dan menggoda dari Freya, Din. Sudahlah, buka aja, Andin. Kamu juga nanti pasti minta lebih seperti kakakmu yang bahkan tidak bisa memuaskanku," ujar Ghani kembali mendekati Andin.
"Tidak, Mas. Jangan, Mas. Aku mohon, hiks!"
Ghani menarik tangan Andin dan hendak menempelkan bibirnya pada bibir Andin. Namun, tangan kekar dari arah belakang Ghani menarik tubuh Ghani dan membawanya keluar dan memukuli Ghani tanpa ampun. Andin yang masih sok pun hanya menatap pria itu memukuli Ghani. Andin hanya terdiam menutupi lengannya yang satu karena kini sudah tidak tertutup kain dan menjadi awal petaka dalam hidupnya.