Chapter 43

1114 Kata
Grace menghela napas. Tulang wajahnya terasa pegal karena hanya tersenyum sedari tadi. Menyapa para tamu undangan dan kolega bisnisnya. Grace terus menggerutu dalam hati. Pesta pernikahannya terlalu mewah. Terlalu banyak tamu undangan yang datang. Kebanyakan kolega bisnis Ludwig, Federico, Edward dan dirinya.  Grace tidak tahu berapa banyak jumlah orang yang telah mengucapkan selamat padanya. Intinya dia lelah pura-pura terlihat bahagia. Grace hanya menurut saja ketika Ibunya mengatakan akan mengurus resepsi pernikahan. Ia tidak berminat sedikitpun untuk menyiapkan resepsi pernikahannya. Semuanya ia serahkan pada Angelina dan sang mertua, Stefani. Grace sempat protes karena rencana resepsi akan dilakukan dua kali. Bahkan awalnya Grace tidak mau melaksanakan prewedding. Akan tetapi, berkat rayuan dari Stefani. Grace mau melakukannya meskipun terpaksa. Dan disinilah Grace sekarang. Ia duduk di salah satu kursi. Resepsi malam ini dilaksanakan outdoor di halaman hotel milik keluarga Jacob. Grace mengistirahatkan kakinya sejenak. Ia kelelahan berdiri dan kini kakinya terasa pegal. Belum lagi Grace memakai high heels yang menambah rasa sakit dikakinya. Sebenarnya Grace sudah biasa memakai high heels. Hanya saja, kali ini ia merasa seperti baru pertama kali memakainya. Grace memijit perlahan tumitnya. Berharap dengan pijatannya dapat meredakan rasa sakit kakinya. "Ada apa, Grace?" tanya Edward. Ia menghampiri Grace yang duduk sendirian. Gerakan Grace yang mulanya memijat segera ia hentikan. "Tidak apa-apa." sahut Grace singkat. Edward tersenyum. Ia bangkit dari duduknya dan berlutut dihadapan Grace. "Hey, apa yang kau lakukan?" tanya Grace.  Edward tidak menjawab. Ia mulai melepaskan high heels dari kaki Grace.  "Aku tau kau kelelahan. Memakai heels pasti membuat kakimu terasa sangat sakit. Lebih baik dilepas saja." ujar Edward. "Tidak. Kakiku baik-baik saja, Ed" ujar Grace.  "Biar aku pijat kakimu." Edward memijat tumit Grace dengan perlahan. Grace terkejut dibuatnya. "Edward, apa yang kau lakukan. Sudah, tidak perlu. Kakiku baik-baik saja." ujar Grace. Ia berusaha menghentikan pergerakan tangan Edward yang memijat kakinya.  Edward hanya terdiam dan tetap memijat. "Edward, sudah. Orang-orang memperhatikan kita."  Edward mendongak menatap Grace.  "Memangnya kenapa jika mereka memperhatikan kita. Itu tidak akan menambah rasa sakitmu." "Tapi aku merasa tidak enak, Ed. Sudah hentikan." Pergerakan tangan Edward terhenti. Ia kembali duduk di sebelah Grace. "Kalau begitu. Kau duduk saja disini. Biar aku yang menyapa para tamu." ucap Edward. "Tapi ak-" "Stt.." Edward menempelkan telunjuknya di bibir Grace. "Mereka akan mengerti jika pengantin wanita kelelahan." ucap Edward. Devani melihat Edward dan Grace duduk di kursi. "Jadi kalian bermesraan disini." ujar Devani yang mendekati mereka.  Edward dan Grace menoleh.  "Devani. Tolong kau temani sahabatmu ini. Jangan biarkan dia menyapa tamu. Dia kelelahan." ucap Edward. "Dev, jangan dengarkan dia. Aku ha-" "Kau istirahat dahulu sebentar. Jangan dipaksakan." ucap Edward. Devani mengangguk membenarkan ucapan Edward. "Benar. Kau istirahat dulu. Biar aku yang temani." "Kalau begitu aku menyapa tamu dulu. Dev, jaga istriku ya." ujar Edward, ia mengacak lembut Grace yang terurai. Setelah Edward melangkah menjauh. Devani segera duduk di sebelah Grace.  "Jadi bagaimana, mrs.Jacob? Kau adalah wanita yang beruntung bisa menikah dengan pria seperti Edward." Grace mengerutkan keningnya. "Beruntung?" tanya Grace remeh.  "Ya. Kau lihat tadi bagaimana dia begitu perhatian padamu." "Hanya dengan perilaku seperti itu tidak lantas membuatku merasa beruntung, Dev. Aku justru merasa sial karena menikah dengan playboy seperti Edward. Menyebalkan!" ucap Grace. "Hey, kau tidak boleh bicara seperti itu. Dengar ya, Alex bilang padaku bahwa Edward sudah tidak pernah bermain wanita lagi semenjak menyukaimu. Itu artinya dia benar-benar mencintaimu. Dan harusnya kau merasa beruntung mendapat suami seperti Edward." "Kenapa kau jadi memujinya? Itu hanya berdasarkan pengakuan Alex. Kita tidak pernah tahu apakah itu benar atau hanya sebatas ucapan saja." Devani menghela napas. "Dengar, Grace. Aku tidak tahu mengapa sampai detik ini kau tetap tidak menyukai Edward. Dia itu sudah menjadi suamimu, Grace. Kau harus belajar menerimanya dan mencintainya." "Aku menikah karena dipaksa! Aku tidak pernah meminta dia untuk menjadi suamiku." Devani menggelengkan kepalanya. Ia tidak habis pikir dengan pemikiran Grace. Jika saja Devani berada di posisi Grace pasti Devani akan merasa beruntung karena ia bisa mendapatkan pria sebaik Edward. Meskipun Edward sering bergonta-ganti wanita. Tetapi Devani tahu alasan dibalik sikap Edward yang seperti itu, Edward adalah orang baik. Dan menurutnya, Grace terlalu bodoh karena tidak mau menerima Edward. "Setelah kau tinggal bersamanya. Kau pasti akan jatuh cinta padanya, Grace." ucap Devani. "Tak akan."  Devani tersenyum sinis.  "Kita lihat saja nanti."  "Bisakah kau membicarakan topik lain?" ujar Grace. Ia merasa semua orang hanya membicarakan Edward, membela Edward, memuji Edward. Tidak ada yang memikirkan perasaannya. Bahkan termasuk Ayah dan Ibunya. Kini Devani juga seolah menyalahkan Grace karena tidak bisa menerima Edward. Grace merasa muak. Jujur, jika saja Grace bisa lari dari kenyataan ini pasti dia akan lari. Hanya saja, Ayahnya yang tidak pernah main-main dengan ucapannya membuat Grace hanya mampu menurut dan mengikuti perintah. Tidak ada pemberontakan. Karena Grace tahu, memberontak hanya akan menambah masalah.    Grace mengalihkan pandangan. Ia menatap beberapa tamu yang hadir. Tampak membosankan. Ia tidak merasa bahagia sedikitpun dihari pernikahannya. Tentu saja, ini karena ia menikah karena terpaksa. Grace langsung berdiri ketika ia melihat Leo mendekat kearahnya. Jantungnya bergemuruh. Devani langsung menyusul Grace berdiri. "Ada apa, Grace?" tanya Devani. Grace membeku saat melihat Leo mendekat. Bukan karena Leo. Melainkan Grace melihat wanita yang di gandeng Leo. "Hai, Grace. Ternyata kau disini. Aku mencarimu kemana-mana." ujar Leo.  "Selamat ya, atas pernikahanmu. Semoga pernikahan kau dan Edward selalu diberkati." Leo menyalami Grace. Ia tersenyum canggung. "Selamat ms.Grace. Semoga kalian cepat diberikan momongan." ucap wanita Itu sembari menyalami Grace. Grace ingin menanyakan sesuatu. Namun tenggorokannya terasa tercekat. Ia hanya bisa tersenyum tipis. Hatinya bertanya-tanya siapa wanita disamping Leo. "Hai Devani. Kita bertemu disini lagi." ujar Leo. "Hai, Leo. Wah, bisa kau katakan siapa wanita cantik disampingmu itu?"  tanya Devani. Leo terkekeh. Ia sempat menatap Grace. "Ini Katherine. Dia.. Dia kekasihku." ucap Leo terlihat canggung. Senyum tipis di wajah Grace memudar. Hati Grace terasa mencelos ketika mendengar pengakuan Leo. Ia menatap lekat-lekat Katherine. Wanita beruntung yang bisa menjadi kekasih Leo. Devani bersalaman dengan Katherine sebagai formalitas perkenalan mereka.  Sedangkan Grace hanya mematung dengan tatapan kosong.  Leo yang menatap Grace menjadi merasa tidak enak. Suasana menjadi sedikit canggung. "Terimakasih. Sudah datang." hanya itu yang Grace ucapkan. Ia bersusah payah mengucapkan itu. Bahkan wajahnya ia paksakan tersenyum tipis meski sebenarnya sulit karena ia harus menahan perih di hatinya. Juga menahan air mata yang hendak turun. "Sama-sama ms.Grace. Senang bisa datang ke pernikahan anda." "Em. Aku permisi. Aku harus menyapa tamu lainnya." ucap Grace. Ia benar-benar tidak tahan berada dalam atmosfer kecanggungan. Hatinya juga memanas jika terus-terusan berdiri disini. "Tapi, Grace. Edward bilang kau ti-" "Aku hanya ingin menyapa beberapa tamu saja." potong Grace.  "Aku permisi" ucap Grace kemudian. Dan tanpa menunggu balasan dari siapapun Grace segera melangkah. Ia sudah tidak kuat menahan air matanya. Bagi Grace. Hari ini adalah hari terburuk dalam hidupnya. Hari yang sangat menyedihkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN