Chapter 14

1252 Kata
Seorang waiters datang menawarkan pesanan pada Edward. "Cappuccino, please"  ucap Edward. Dan ketika sang waiters menanyakan Grace. Grace hanya menggelengkan kepala. Karena memang sebenarnya Grace sudah selesai menyantap makan siang. "Dan ternyata, ketika aku datang. Kau sepertinya sangat merindukanku hingga membicarakanku dibelakang seperti tadi" ujar Edward membuat Grace merasa tertohok. Tidak ada kata-kata yang dikeluarkan Grace. Semua pernyataan maaf yang susah payah ia susun dipikirannya terasa sangat sulit untuk diucapkan. Edward terdiam. Suasana menjadi hening.  Grace tidak tau harus mengucap apa, namun tiba-tiba ia bersuara. "Bagaimana kabarmu?" tanya Grace tanpa menatap Edward. Grace hanya menunduk dan menatap tangan Edward. Edward menyeringai, ia mendekat kearah Grace. Menyentuh dagu Grace lalu mengangkatnya hingga Grace kini menatapnya. "Jika berbicara dengan seseorang , kau harus menatap matanya." ujar Edward. Namun Grace hanya terdiam. "Aku sakit." jawab Edward. "Sakit apa?" tanya Grace, ia terkejut. Pasalnya, Edward terlihat sehat saat ini. Memangnya penyakit apa yang dapat menyerang seorang CEO Playboy seperti Edward, HIV? "Aku sakit karena merindukanmu, tapi.." ucap Edward sengaja tidak dilanjutkan. Ia menanti ekspresi Grace. Grace memutar bola matanya. Ia menyesal telah bertanya pada Edward yang justru dijawab dengan bualannya yang membosankan. "Tapi aku langsung sehat setelah bertemu denganmu" ucap Edward tetap dengan senyum mautnya. Membuat Grace ingin memuntahkan segala makanan yang baru saja tadi ia nikmati bersama Devani. Omong-omong, Grace bersyukur karena Edward tidak jadi marah ataupun memakinya. Setidaknya ia hanya perlu bersikap biasa saja sekarang, seolah dirinya tidak pernah berbuat dosa dengan membicarakan orang lain dibelakang dan justru malah diketahui oleh yang bersangkutan. "Kau memang sehat. Tetapi sepertinya jiwamu terganggu" ucap Grace. Edward terdiam. Suasana menjadi canggung, dan Grace pun merasa bersalah. "Emh, aku hanya bercanda." ucap Grace berusaha menutupi kegugupanya. "Lucu." ujar Edward dengan ekspresi datar. Pandangan Edward kini teralih pada buket bunga mawar merah yang tergeletak disamping Grace. Dan lagi ia tersenyum maut, meskipun Grace tidak melihatnya. "Kau sangat suka bunga mawar merah ya?" tanya Edward.  Grace kini juga melirik kearah bunga mawar merah dari pengirim misterius. Seperti mengerti akan maksud pertanyaan Edward, Grace langsung menjawab. Sekaligus berusaha mengalihkan pikiran Edward agar tidak hanya mengingat tentang sikap Grace tadi. "Ya aku sangat suka." jawab Grace. "Benarkah?" tanya Edward. "Ya, dan aku akan sangat lebih suka jika pengirimnya memberikan secara langsung." ucap Grace sejujur-jujurnya. Edward tersenyum manis. Membuat Grace menatapnya aneh. "Baiklah. Kalau begitu biar aku berikan secara langsung agar kau makin menyukaiku." ujar Edward. Grace berpikir keras. Berusaha mencerna maksud dari ucapan Edward. Tetapi sayang, otak cerdasnya itu hanya mampu mencerna angka, persentase,dan tulisan. Bukan ucapan dari playboy dengan jutaan rayuan mematikan seperti Edward. "Maksudmu?" tanya Grace yang masih tidak paham. Edward dengan santai berkata "Aku yang memberikan bunga itu."  Grace berasa ingin menghilang saat ini juga. Ia malu. Jika tau Edward yang memberikanya, pasti Grace akan langsung membuangnya. Tapi tunggu, belum tentu Edward yang memberikannya. "Ehm. Anda jangan mengaku-ngaku Mr.Edward. Ini adalah kirimin dari kekasih saya." entah mengapa Grace berucap seperti itu. Padahal kata-kata yang ada dipikirannya berbeda. "Jadi, kau sudah menerimaku sebagai kekasihmu?" Edward tersenyum. "Ah tidak. Tentu saja tidak, dan tidak akan." ujar Grace. Edward terdiam. Ia memandang Grace, lalu ia berkata "Benarkah?" Edward menyeringai. "Aku berkata jujur, memang aku yang memberimu mawar merah itu. Kemarin aku juga yang memberikannya. Dan mawar merah yang tadi pagi berada dikamarmu itu. Itu pemberian dariku." ujar Edward. "Dan ya. Bahkan anak anjing yang kau belai dan kau ciumi itu. Itu dariku."  Ucapan terakhir Edward menggema di telinga Grace. Barbie? Tidak. Ayahnya yang mengirim semua itu. Tapi bagaimana Edward bisa tau semua. Grace ingin agar dirinya ditelan hidup-hidup. Dia merasa malu. "Dan kau sangat menyukainya bukan." ujar Edward tetap dengan seringaiannya. "Aku..." Grace tergugup. ---- "Emh. Bagaimana kau tahu aku mendapat anak anjing?" tanya Grace. "Sudah kukatakan bahwa aku yang memberinya untukmu." ucap Edward. "Tidak mungkin" ucap Grace lirih. Edward tersenyum. "Aku. Jika memang kau yang memberikannya. Aku akan mengembalikan itu semua. Terimakasih." ujar Grace. Edward mengepalkan tanganya. Rahangnya mengeras. "Aku tidak menerima penolakan, Grace. Barang yang sudah kuberikan, aku tak akan pernah menerimanya kembali." ujarnya dengan tatapan mengintimidasi, membuat Grace sedikit merasa bersalah. "Dan aku tidak menerima perintah Edward" ucap Grace tak mau kalah. Edward menghela napasnya kasar. Lagi, dia berusaha menahan emosinya. "Benarkah? Tapi sepertinya kau tidak akan rela mengembalikan anjing lucu itu." ucap Edward dengan seringaian liciknya. Grace tertegun. Benar, tentu saja Grace tidak akan rela mengembalikan anjing lucu yang sudah ia namai Barbie itu. Anjing perempuan yang sangat sesuai dengan keinginannya . Tapi mengapa harus Edward yang memberikan semua itu. Mengapa bukan Ayahnya. Grace belum rela, bahkan tidak akan pernah rela. Belum sehari anjing itu tinggal bersamanya, dan kini harus dikembalikan kepada Edward. Grace tidak rela, namun gengsinya saat ini terlalu tinggi untuk menerima pemberian Edward. "Tidak usah dikembalikan. Aku memberi itu sebagai hadiah. Karena kudengar, kau baru saja memenangkan kontrak" ucap Edward. "Ah dan ya selamat atas keberhasilanmu" ucap Edward sambil menyodorkan tangannya berniat menyalami Grace. Namun hanya dibalas dengan tatapan malas dari Grace. Edward hanya berusaha tersenyum meskipun sebenarnya ia ingin membanting sesuatu ataupun memukuli seseorang saat ini juga. "Dimana kau mendengarnya?" tanya Grace kemudian. "Ayahmu yang memberitahuku." jawab Edward dengan santainya. Ia sangat suka memandang raut wajah Grace yang terlihat penasaran. Lagi Grace tertegun. Jadi, yang diperkirakan Devani benar.  Bisa saja Ayahnya dan Edward bertemu saat di Las Vegas. Tetapi mengapa bisa Ayahnya sedekat itu dengan Edward. 'Mungkin hanya sebatas rekan bisnis' batin Grace. Grace menatap Edward dengan pandangan penuh tanda tanya. Sedangkan Edward yang baru pertama kali ditatap oleh Grace selama itu, mengeluarkan senyum mautnya dan balas menatap Grace. Mereka berpandangan. Cukup lama, hingga membuat Grace lupa akan keadaan sekitar dan terpesona dengan ketampanan Edward. Ini adalah pertama kalinya Grace mengakui bahwa Edward sangatlah tampan. Menatapnya sedekat ini. Tentu saja membuat jantung Grace berdebar. Hingga saat Grace tersadar akan dirinya, ia memutuskan kontak mata dengan Edward. "Aku suka melihatmu menatapku seperti itu." ucap Edward membuat jantung Grace berdetak semakin cepat. "Aku harus kembali keruangnku. Masih banyak pekerjaan." ucap Grace langsung berdiri. Diikuti Edward yang kini juga berdiri. "Mengapa terburu-buru?" tanya Edward  "Aku sibuk." jawab Grace mulai melangkah. Namun Edward mencekal lengannya. "Aku masih ingin bicara denganmu" ujar Edward. "Aku banyak pekerjaan Mr.Edward. Dan ya, tolong lepaskan tanganku. Semua orang menatap kita." ucap Grace karena merasa terganggu akan perilaku Edward yang berlebihan dan juga para karyawan yang kini menatapnya dan Edward. Menjadikan dirinya pusat perhatian hingga kini terdengar beberapa bisikan. "Kumohon duduklah dulu. Aku masih merindukanmu. Aku buru-buru datang kesini untuk bicara denganmu." ucap Edward dengan memohon. Ya memohon. Hal yang baru pertama kali ia lakukan dalam hidupnya. Memohon pada perempuan yang tadi mengatakan segala keburukan tentang dirinya. Keburukan yang tidak benar. "Maaf Mr.Edward . Tetapi aku benar-benar sibuk. Kita bisa mengobrol lain kali." ucap Grace. Ia memang tidak berbohong. Selain karena malas dan masih merasa malu berbicara bersama Edward, Grace baru ingat jika pekerjaannya menumpuk. Ia benar-benar tidak punya waktu untuk meladeni Edward. Grace menarik tangannya hingga terlepas dari Edward. Dengan sesegera mungkin ia berlari agar Edward tidak mampu mengejarnya. "Wanita yang arogan" ujar Edward dengan kesal. Ia kemudian menatap bunga mawar merah yang masih tergeletak diatas meja. Bahkan Grace mengabaikan bunga pemberiannya. Edward lantas meletakkan beberapa lembar uang diatas meja untuk membayar cappucinonya. Kini Edward menatap tajam bunga mawar merah itu.  Dengan gerakan kasar ia mengambil bunga mawar merahnya dan melangkah meninggalkan restoran itu. Mengabaikan tatapan dan bisikan orang-orang disekelilingnya. Edward kemudian menuju mobilnya.  "Ke kantor cepat!" ucap Edward dengan tegas pada supirnya. Emosinya cukup memuncak saat ini. Sangat terlihat dari wajah sangarnya yang membuat setiap orang yang melihatnya ketakutan. Seperti supirnya saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN