Saat bangun, Ziya merasakan berat pada perutnya. Dia mengerjapkan kedua matanya, menguceknya selama beberapa saat dan melihat Reinan masih tertidur sambil memeluknya.
Entah apa yang terjadi, dia mungkin sudah gila karena membiarkan pria ini melakukannya lagi untuk yang kedua kalinya. Setelah ini pasti akan lebih sulit untuk menolak pria ini. Ziya hanya bisa berharap semoga Reinan tidak akan sering menjadi gila seperti semalam. Rasa remuk dan sakit di sekujur tubuhnya memang tidak sesakit saat pertama kali. Namun tidak memungkiri kalau Ziya merasa kesal karena pria ini tidak mau melepaskannya cukup lama.
Ziya memperhatikan wajah tenang Reinan saat tertidur. Dia akui kalau penampilan pria ini memang tanpa celah. Karena letak celahnya hanya ada di perilakunya yang sangat b******n. Baru kemarin dia mendapatkan foto kalau dia bermalam dan bermesraan dengan wanita lain. Tapi sekarang apa?
"Sampai kapan kamu akan terus memandangiku?"
Suara serak khas bangun dan dalam terdengar dari bibir tipis Reinan. Pria itu perlahan membuka matanya. Menatap langsung ke arah Ziya yang juga balas menatapnya tanpa ekspresi.
"Apa kamu menginginkannya lagi?"
Ziya hanya memalingkan wajahnya. Jika dia tidak berusaha keras menahan dirinya, sudah pasti dia telah menampar pria ini sejak tadi. Terlepas dari perasaan satu sama lain, dia tidak bisa memungkiri kalau tubuh mereka memiliki kecocokan satu sama lain. Dia bukannya membenci saat pria ini menyentuhnya, namun hanya sebatas itu. Selama dia tidak melibatkan perasaan apapun di antara mereka.
"Lepaskan aku, sudah saatnya kamu pergi ke kantor." Ziya berkata dengan nada acuh, masih memalingkan wajahnya ke arah jendela kamar yang terbuka. Mengingat semalam tidak ada yang memikirkan untuk menutup jendela.
Bukannya melepaskan pelukannya, Reinan malah semakin menarik Ziya mendekat ke arahnya. Pria itu entah mengapa merasa nyaman dan tidak ada rasa jijik atau sebagainya saat berdekatan dengan Ziya. Suasana hatinya juga sedang baik, sehingga dia tidak rela melepaskan wanita ini yang berhasil membuatnya merasa uring-uringan beberapa hari terakhir ini.
"Urusan perusahaan telah diambil alih oleh asistenku."
Ziya memejamkan kedua matanya. Ingin sekali dia menendang pria di sampingnya ini agar tidak menjadi begitu lengket padanya. Dia curiga kalau orang yang sebenarnya mengalami gegar otak bukanlah dirinya, melainkan Reinan. Lihatlah perlakuan pria ini, Ziya bahkan tidak berani mempercayai kalau yang tengah memeluknya dan bermanja padanya saat ini adalah sosok Reinan yang arogan dan selalu mendominasi.
"Apa kamu mengalami gegar otak?" Ziya sedikit memiringkan kepalanya, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengungkap isi pikirannya.
"Anggap saja seperti itu." Reinan tidak berusaha membantah, dia juga enggan mengakui kenapa dia bisa berubah sikap seperti ini. Jangan tanyakan padanya, karena dia sendiri juga tidak mengetahui alasannya.
Reinan hanya menyadari kalau dia merasa nyaman saat berada di samping Ziya seperti ini. Memeluknya dari semalam hingga bangun di pagi hari. Aroma tubuhnya membuat Reinan merasa rileks dan enggan menjauh. Bahkan karena tindakannya ini, pria itu harus mengumpat dalam hatinya saat merasakan miliknya kembali terbangun di balik tebalnya selimut yang menutupi tubuh tanpa busana mereka.
"Lepaskan aku," Ziya bergerak beberapa kali, dia ingin lepas dari jerat Reinan yang tidak berhenti memeluknya.
Sekarang sudah pagi hari, dia ingin segera kembali ke kamarnya dan melanjutkan tidur. Ya benar, tidur. Karena Ziya merasa sangat lelah dan tidak nyaman di seluruh tubuhnya. Dia yakin saat berdiri di depan cermin, hasilnya tidak akan berbeda jauh dengan saat pertama kali mereka melakukannya. Pria ini seperti seekor binatang buas yang senang sekali menandai wilayah kepemilikannya. Sangat arogan dan mendominasi, tidak peduli meski dia melarangnya semalam, malah semakin membuat Reinan menggila. Jika ada yang memiliki prinsip bahwa aturan ada untuk dilanggar, maka dia yakin Reinan orangnya.
"Sial, kenapa kamu tidak bisa diam sebentar?"
"Memangnya kenapa? Aku hanya ingin kembali ke kamarku!" Ziya tidak berhenti, dia tetap berusaha lepas dari cengkeraman Reinan.
"Karena kamu terus memprovokasiku, mari kita lanjutkan shift pagi."
"Shift pagi?"
Tidak menunggu Ziya selesai mencerna maksud dari perkataannya, Reinan segera membalik tubuh wanita ini hingga berada di bawahnya. Reinan mengurung tubuh Ziya dan mendekatkan miliknya, membuat kedua mata Ziya melebar dan refleks mengulurkan tangannya untuk menampar Reinan. Tapi pria itu dengan sigap berhasil menahannya.
"Jangan memiliki kebiasaan suka menampar pipi orang, terutama suamimu sendiri." Reinan berbisik dengan suara serak di samping telinga Ziya. Jelas dia sudah berhasrat saat ini. Awalnya dia ingin tetap memeluk istrinya sampai miliknya kembali tenang dan melepaskan Ziya pergi. Sayangnya itu hanya rencana belaka, saat ini dia tidak akan berusaha menahan diri.
"Kamu yang memulainya, salahkan dirimu sendiri karena sudah berani mengusik ketenangannya."
Ziya merasa marah dengan statement yang diucapkan secara sembarangan dari bibir tipis Reinan. Dia ingin membantah, sayangnya Reinan tidak memberikan kesempatan itu. Pria itu langsung membungkam bibir Ziya dengan bibirnya. Menyesap rasa manis dan lembut saat bibir keduanya kembali menyatu, membuat pria itu merasa semakin bersemangat untuk kembali menaklukkan istrinya di pagi hari.
Untuk pertama kalinya, sosok Reinan yang biasanya sangat disiplin dan selalu menjalani rutinitas hariannya tanpa adanya kesalahan telah melalaikan tugasnya kali ini. Menyerahkan semuanya pada asisten pribadinya untuk menghandle urusan perusahaan dengan penuh keluhan di belakangnya.
Ziya mulanya ingin memberontak, dia berusaha mendorong Reinan dari atasnya. Sayangnya tenaga yang dimilikinya tidak tersisa banyak, pria itu dengan mudah kembali membuatnya luluh dan hanya bisa pasrah. Menerima segala bentuk perlakuan intim dari Reinan yang entah mengapa mulai bisa dia nikmati. Mencoba menepis rasa bersalah atas tindakannya saat ini. Namun pria itu sangat mahir membuatnya lupa akan tujuan utamanya untuk sesaat.
Keduanya terus melanjutkan kegiatan pagi hari dengan aktivitas yang menguras keringat dan tenaga. Berbagi kehangatan dari dinginnya pagi. Hingga membuat Ziya sekali lagi takluk dan tidak bisa melawan.
**
Kezia tampil cantik dan anggun dengan setelan kemeja dengan rok di atas lutut yang tampak membuatnya semakin manis. Dia datang ke kantor Reinan dengan membawakan kotak berisi bekal makanan yang dengan sengaja dia siapkan untuk pria itu. Senyum di bibirnya tidak luntur sejak tadi. Membayangkan pria itu akan memakan makanan buatannya dan tersenyum padanya membuat Kezia menjadi lebih tidak sabaran lagi.
"Reinan, aku membawakan kotak bekal untukmu. Aku sengaja memasaknya sendiri dan menyiapkannya sejak dini hari__" ucapan Kezia seketika terhenti, saat dia melihat asisten pribadi Reinan tampak duduk di kursi Reinan. "Kenapa kamu ada di sini? Dimana Reinan?"
"Tuan Reinan sedang ada urusan dan tidak bisa datang ke kantor." Asisten Reinan hanya menjawab dengan singkat. Dia tidak banyak bicara dan hanya fokus pada tumpukan berkas menggunung yang menunggu untuk dia tinjau.
Ada terlalu banyak perkerjaan yang dilimpahkan padanya dari bosnya. Bagaimana bisa dia memiliki waktu luang untuk memperhatikan wanita yang datang hanya untuk mencari perhatian dari bosnya. Dia tidak memiliki banyak waktu untuk disia-siakan oleh orang yang menurutnya tidak relevan.
"Urusan apa yang dilakukan Reinan sampai dia tidak datang ke kantor?"
"Anda bisa menghubungnya secata langsung untuk memastikan." Asisten Reinan hanya menaikkan kacamatanya untuk menyesuaikan posisinya. Lalu dia kembali sibuk dan tidak memperhatikan Kezia lebih lama.
Kezia yang merasa diabaikan hanya bisa menghentakkan kakinya kesal sambil keluar dari ruang kantor pribadi Reinan. Mengambil ponsel dari tasnya, segera menghubungi Reinan untuk memastikan dimana pria itu berada. Karena Kezia sudah capek-capek menyiapkan makanan ini, dia tidak akan rela sebelum berhasil memberikan ke Reinan secara langsung
"Kenapa tidak diangkat?"
Suara dering telepon yang terus bergetar dan tampak membangunkan seseorang dari tidur nyenyak ya. Mengucek sebelah matanya, Ziya terbangun oleh suara dering ponsel di atas laci. Menjulurkan tangan untuk meraihnya, melihat siapa orang yang telah mengganggu tidur lelapnya.
"Kezia?"
Ziya masih belum sadar sepenuhnya, dia hanya bisa menyipitkan matanya sejenak dan berpikir.
"Siapa Kezia?"
"Siapa yang menelpon?" Suara berat yang berjalan tanpa suara dari arah kamar mandi membuat Ziya menoleh. Melihat sosok pria yang tidak asing, siapa lagi kalau bukan Reinan. Suami palsunya.
"Kecantikanmu mencarimu."
Reinan mendekat dan mengambil ponselnya dari tangan Ziya. Berjalan menjauh ke arah luar balkon untuk mengangkat panggilan telepon dari Kezia.
Ziya yang melihat hal itu dari belakang hanya bisa mendengus pelan. Bergegas memunguti baju miliknya yang berserakan dan memakainya dengan asal. Tanpa suara berjalan keluar dari kamar Reinan meski jalannya agak tertatih karena rasa ngilu di area sensitif miliknya.
Sesampainya di kamarnya sendiri, Ziya dengan segera membuka laci di nakas samping tempat tidurnya. Mengambil pil pencegah kehamilan yang sebelumnya telah dia beli untuk berjaga-jaga. Dia tidak bisa hamil dan dia tidak ingin sampai hamil anak dari Reinan. Karena hal itu akan merusak semua rencana yang telah dia susun sebelumnya. Hubungan mereka hanya akan dia anggap sebagai hubungan yang saling menguntungkan, tanpa menggunakan perasaan sama sekali.
"Apa yang baru saja kamu minum?"