setelah

1001 Kata
Setelah kejadian semalam aku sudah tidak mau banyak bicara dan sedikit menjaga jarak kepada Mas Albi. Ingin kutunjukkan protes dan memperlihatkan padanya betapa aku kecewa tentang hal ini. Iya, keluarga kami memang mapan dan dia memberiku uang belanja tapi ada saatnya ketika aku kehabisan uang di dompet dan tidak punya stok lagi, sementara deposito anak-anak yang kusimpan untuk biaya tabungan pendidikan mereka, tentu tidak bisa diganggu. Meski Mas Aldi tetap sudah minta maaf dan tetap berusaha membela istri barunya tetap saja itu membuatku tanpa jengkel "Maafkan aku Dan tolong maklumi filsafat mungkin kesibukannya mengurusiku dan Gibran membuat dia lupa segalanya tolong maafkan dia." "Aku juga sibuk mas tapi aku tidak pernah melewatkan apapun terlebih jika itu menyangkut amanah seseorang, seperti yang terjadi pada Fatimah kau sudah mengecewakan anak kita dan event yang sudah lama dia tunggu terpaksa harus dilewatkan." aku menahan jengkel ketika mengatakan itu. "Sekarang Fatimah di mana?" "Di kamar, pulang sekolah tadi dia sangat lesu dan kecewa juga murung dan sedih, aku sudah berusaha menghiburnya namun dia mengkunci diri seperti biasa begitulah kelakuan putrimu ketika dia merasa sedih." "Aku akan membujuk anakku," jawab Mas aAlbi sambil mendekat ke pintu kamar Fatimah. "Fatttum, anakku .. ini Abi, Abi minta maaf atas kejadian ini," ujar Mas Albi sambil mengetuk pintu. Tak lama kemudian anak kami keluar dan dia terlihat menunduk sedih, mas Albi yang paham akan perasaan anaknya langsung memeluk dan menghibur anak sulung kami. "Maafkan Abi ya ..." "Sejak abi punya istri baru dan Gibran, Abi sudah tidak memperdulikan aku dan Fatin," jawab Fatimah lirih. "Tidak itu salah! Abi sangat menyayangimu," jawab Mas Albi. "Tetap saja," sanggah anak kami. Mas arbi menatapku dengan penuh keheranan sementara aku hanya menggeleng sambil mengangkat bahu tanda tidak mengerti dan tidak pernah ikut campur, apalagi sampai mengajari. "Anak Abi di mata Abi semuanya sama, abi sayang dan sangat mencintainya." "Bukannya Abi sendiri yang bilang bahwa Fatimah harus mengutamakan pendidikan dan kegiatan sekolah. Kenapa sekarang Abi mengabaikan semua itu?" "Ya Allah, Abi khilaf dan tidak sengaja maafkan tante Filza yang juga lupa ...." "Aku sangat kecewa tapi sudahlah lupakan saja," jawab Fatimah sambil kembali masuk ke kamarnya. Sebenarnya mas Abi masih ingin bicara tapi karena Fatimah sudah menutup pintu suamiku hanya bisa menahan ucapannya di tenggorokan. "Lihat apa yang di katakannya?" tanyanya padaku. "Aku harus bagaimana Mas?" "Jangan sampai anak kita terlihat seperti anak yang kurang asuhan, dia berangsur kurang sopan terhadap orang tua." "Dia hanya kecewa Mas Jadi tolong jangan terlalu dipikirkan. aku akan bicara padanya nanti." "Baiklah, tapi kenapa Uang belanjamu bisa habis secepat itu?" "Aku membayar arisan, dan mengirimkan uang untuk ibu karena ada kerabatku yang akan menikah jadi kita harus membantunya." "Oh begitu ya, baiklah akan kuberikan kau uang lagi." *** Tiga hari kemudian Mas Albi pulang ke rumah dan kini gilirannya untuk tinggal denganku selama 3 hari. Kusambut kedatangannya dengan membuatkan dia rawon dan sate kesukaannya. Dia terlihat lahap dan bahagia menyantap makanan, setelah selesai makan dia menghampiriku di kamar saat aku sedang menyusun pakaian di lemari. "Malam nanti ada acara keluarga Abi berniat mengajak umi untuk pergi beserta anak-anak kita." "Acara apa?" "Acara pernikahan anak pak Heri di sana semua keluarga berkumpul dan aku juga ingin mengajak keluarga kita secara lengkap agar bisa berbaur dan berbahagia." "Aku setuju, apa yang harus kupakai." "Pakai gamis berwarna merah yang Abi belikan sebelum Ramadan kemarin, umi terlihat cantik mengenakannya." "Baik," jawabku dengan senyum lebar dan rasa antusias karena merasa ada bangga dan senang akan dibawa suami untuk membaur bersama keluarganya Aku merasa sangat diistimewakan Kuambil baju gamis cantik dengan aksen sayap berwarna hitam lalu pakaian yang warnanya senada milik suamiku agar kami terlihat serasi. Kubawa kemeja setrika dan mulai menyalakan setrikanya ke steker listrik. Di saat mulai menyetrika dengan hati senang aku tak sengaja mendengar suamiku sedang berbicara ditelepon karena jaraknya juga tidak cukup jauh. " .. ya Bunda, kenakan gamis merah yang Abi belikan di awal Ramadan kemarin, bunda terlihat cantik mengenakannya dan kita akan serasi bersama." Sontak saja aku sangat terkejut, kaget, tanganku gemetar tak menyangka Abi akan mengatakan hal yang sama pada Filza, dia bahkan membelikan gamis dengan warna yang sama di waktu yang sama pula. Kelihatannya suamiku terlihat sangat ingin adil terhadap istri-istrinya tapi aku merasa kecewa dan hancur sekali. Perasaan jengkel dan geramku bercampur menjadi satu. "Ya Sayang, nanti Abi jemput, pakaikan Gibran baju yang bagus juga agar Abi bangga dengan anak-anak Abi." "Iya Bi." Mendengarnya air mataku langsung menetes begitu saja, bahkan setrika itu tiba-tiba saja mengenai ujung jemariku dan membuat Aku kaget lalu setrikanya terjatuh ke lantai. "Auh!" Mas Albi langsung beristighfar dan menghampiriku. "Ada apa umi kenapa umi bisa seceroboh ini?" "Aku tidak apa apa," jawabku melihat ujung tanganku yang melepuh. "Tidak usah disetrika jika itu menyusahkanmu aku juga tidak mau menyusahkan istriku. Sudah biar aku saja yang menggosok baju, kau pergilah mandi dan dandan cantik," ujarnya sambil mendorong lembut diriku ke kamar. Aku memang masuk ke kamar dan menutup pintu tapi dia tidak pernah tahu bahwa di dalam kamar mandi aku menangis sesenggukan dan tidak sanggup menahan kesedihanku. * Tak selesai sampai di situ ketika kami sudah berangkat masa Albi harus berbelok ke rumah filsa. Hal ini yang bener-bener sangat membuatku malas dan jengkel karena aku sangat menghindari pertemuan dengan wanita menjijikan itu. Dia memang tidak merebut suamiku seperti pelakor pada umumnya Tapi tetap saja kemauannya untuk menjadi istri kedua sudah membuat diriku kecewa. Nampak sekali bahwa dia seperti tidak menemukan figur lelaki lain dan sungguh gatal sekali wanita itu terhadap suami orang. Ketika sudah keluar dari pintu gerbang dia membuka pintu depan di mana Aku sedang duduk bersama Mas Albi. "Mas biar aku aja yang di depan karena aku suka pusing dan mabuk juga agar Gibran merasa nyaman juga." "Yang tua harus duduk di depan, selain untuk menghargai juga untuk menghormati bahwa yang pertama dialah yang utama!" Jawabku sambil menahan kesal. "Ya ampun ...." Wanita itu berdecak dan langsung membuka pintu belakang. Itu kesalahan Mas Albi yang kedua yang ingin menyatukan kami dan memaksa kami untuk akrab di dalam mobil yang sama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN