Mistake - 07

1827 Kata
Wanda dan Mia sudah selesai masak. Keduanya kini tengah menata makanan di meja makan. "Tante siap-siap dulu, ya! Kamu ke kamar lagi juga nggak apa-apa. Nanti Tante panggil kalau sudah mau sarapan," ujar Mia. "Wanda nunggu di sini aja deh, Tan. Malas naik-turun. Heheh..." balas Wanda. Setelah Mia pergi, Wanda memilih duduk. Ia meminum s**u coklat miliknya sambil memainkan ponsel. Ada beberapa pesan dari Melisa yang menanyakan kenapa ia tak kunjung sampai. Dan Wanda hanya bisa menghela napas panjang. Wanda mengetikkan pesan balasan pada Melisa, sekalian bahan ghibah soal Davin yang mencegahnya pergi. "Masih aja seperti bayi. Pagi-pagi minumnya s**u," komentar Davin yang baru saja tiba di ruang makan. Wanda memutar bola matanya malas. Ia berusaha abai dengan keberadaan laki-laki itu. Namun bagaimanapun juga pada akhirnya mereka akan duduk berdampingan. Wanda masih asyik bercakap-cakap dengan Melisa di room chat ponselnya. Sementara Davin juga asyik membaca beberapa file sembari sesekali melirik ke arah Wanda. Keadaan menjadi canggung. Tak ada percakapan antara dua bersaudara itu. "Senyap sekali. Gitu deh kalau udah pada asyik sama handphone-nya." Ucapan Mia barusan berhasil membuat Wanda daj Davin kompak menyimpan ponselnya, lalu saling melirik satu sama lain. Rasanya aneh. Dulu, ia dan Davin sangat akrab. Selalu bersama dan tak pernah kehabisan bahan obrolan. Tapi, sekarang dunianya bak dijungkir balikkan. Bahkan untuk tertawa bersama Davin saja rasanya malas. Wanda menggeleng. Mengembalikan kesadarannya agar tidak terus-terusan memikirkan Davin. Saat Wanda hendak mengambil lauk, tangannya bersenggolan dengan milik Davin. Refleks, ia pun segera menarik tangannya menjauh. Namun, siapa sangka jika gerak-gerik itu sempat diperhatikan oleh Mia? "Kalian kenapa, sih? Kok diem-dieman gitu?" selidik Mia dengan nada curiga. Wanda malas menjawab. Lagi pula, memangnya ia bisa memjawab apa? "Palingan dia masih marah karena gara-gara aku, dia nggak jadi menginap di rumah temannya," ceplos Davin sambil menatap Wanda yang kini tengah meliriknya sinis. 'Sotoy amat ini orang!' batin Wanda. Meski ia menyadari jika alasan yang dibuat oleh Davin cukup bagus, daripada Mia mengetahui alasan yang sebenarnya. "Iyalah. Pokoknya jangan ajak aku ngobrol dulu! Jauh-jauh dulu sana!" ucap Wanda. Mia terkekeh mendengarnya. Wanita paruh baya itu tampaknya percaya begitu saja dengan jawaban putra dan keponakannya. "Ya ampun, lucu sekali. Kalian masih seperti saat kanak-kanak. Marahan boleh, wajar kok. Tapi jangan lama-lama, ya!" pesan Mia. Davin terkekeh, sementara Wanda memilih tak menyahuti sama sekali. "Ya udah ayo buruan makan! Nanti kesiangan lagi," ajak Mia. Setelah itu, ketiganya makan dalam diam. Wanda berusaha setengah mati agar tidak sampai menatap Davin sedikitpun. Meski rasanya sangat susah, bahkan lehernya sampai terasa pegal karena terus menunduk. Selesai sarapan, Wanda membantu Mia membereskan meja makan. Urusan cucian piring, nanti akan ada asisten rumah tangga yang datang untuk membersihkannya. Setelah itu, Wanda kembali ke kamarnya. Toh hari ini sebenarnya ia baru ada kelas di jam kedua. Ia masih bisa bersantai-santai selama satu setengah jam, baru kemudian memesan ojek online. Wanda duduk di sofa sambil bersandar ala orang-orang pemalas. Tangannya asyik menggulir layar ponselnya untuk mengusir rasa bosan. 'Cklek' Kalau Wanda tidak salah dengar, sepertinya ada yang membuka pintu kamarnya. Ia pun menurunkan layar ponselnya dari hadapannya. Menatap siapa yang baru saja masuk ke kamarnya. Lagi, ia menghela napas panjang. "Aku nungguin kamu dan kamu malah santai-santai begini?" tegur Davin. Yup. Orang yang keluar-masuk seenaknya di kamar Wanda itu tak lain adalah Davin. "Salah siapa nungguin? Aku masuk siang, kok. Kamu duluan aja! Nanti aku pesen ojek online, kayak biasanya," balas Wanda dingin. Gadis itu hendak melanjutkan aktivitasnya yang tertunda. Namun sayang, ponselnya sudah lebih dulu berpindah tangan dalam sekejap. Wanda sontak bangkit berdiri. Menatap tajam pria di hadapannya. "Kamu kenapa, sih? Annoying banget, tahu nggak?" kesal Wanda. "Tahu. Aku sengaja biar kamu ilfeel. Baik kan aku? Mau bantu kamu supaya kamu bisa cepat move on," jawab Davin. "Tenang aja. Udah berhasil, kok. Aku udah ilfeel sama kamu. Jadi jangan bahas itu lagi, dan berhenti bersikap annoying!" ujar Wanda. Davin tersenyum miring. "Oh ya?" Wanda menyerit tak mengerti. Apalagi saat menyadari jika Davin mulai melangkah maju. Mengikis jarak di antara mereka. Wanda menelan salivanya dengan susah payah saat merasakan di belakangnya ada sofa yang tadi ia duduki. Membuatnya tak bisa menghindar dari Davin yang sudah semakin dekat. "Dav!" tegur Wanda. Davin mulai menundukkan wajahnya. Semakin rendah, hingga membuat Wanda harus menahan napasnya. Davin meletakkan kepalanya di depan d**a Wanda. Ia memiringkan kepalanya. Dan Wanda tidak tahu apa yang sebenarnya sedang laki-laki itu lakukan. Setelah beberapa saat dalam posisi itu, Davin bangkit dengan senyuman aneh. "Suara detak jantung kamu nggak bisa bohong. Kamu masih berdebar saat bersamaku," ujar Davin. Jadi, Davin tadi sedang berusaha mendengar detak jantung Wanda? Gila! Dasar laki-laki aneh. "Man- mana mungkin? Kam- kamu halu! Mana bisa detak jantung manusia kamu dengar padahal-" "Saking kencangnya sampai aku bisa dengar walau kepalaku nggak nempel. Memang kalau sampai nempel, aku nggak akan kamu tampar?" potong Davin. Wanda menelan salivanya kasar. Setelah kesadarannya benar-benar sudah kembali, Wanda mendorong Davin menjauh. "Udah sana kamu ke kantor aja! Ke mana pun deh. Asal jauh-jauh dari aku!" usir Wanda. "Justru aku mau mengajakmu berangkat bersama," ucap Davin. "Ya ampun, Dav, beneran aku masuk jam kedua. Aku nggak ada kelas pagi," kesal Wanda. "Ya udah kamu ikut aku dulu! Ada hal penting yang harus aku katakan padamu." "Nanti aja setelah aku pulang kuliah. Aku lagi-" "Nggak ada bantahan, Wanda! Masalah ini tidak akan selesai kalau kamu hanya terus-terusan kabur seperti ini," tegas Davin. Wanda terdiam. Ia tahu perasaannya salah. Tapi, kenapa rasanya tetap saja sesak setiap ia mendengar dari mulut Davin sendiri yang mengatakan jika perasaannya adalah sebuah permasalahan? "Aku lagi nggak mood," jawab Wanda. Ia hendak duduk kembali ke sofa miliknya. Tapi Davin sudah lebih dulu menahan lengannya. Ia menarik Wanda, kemudian menyabet tas milik gadis itu dan membawa keduanya pergi. "Dav! Ish, lepas! Kamu kenapa suka banget maksa aku, sih? Aku kan udah bilang, aku nggak mau ikut kamu!" sentak Wanda. "Diam! Kalau Mama dengar, pasti Mama akan tanya apa yang terjadi," ujar Davin. "Ya bagus lah. Tante Mia pasti akan bantuin aku dan ngomelin kamu," balas Wanda. Wanda menghentikan langkahnya saat merasa Davin tak lagi menariknya. Pria itu juga berhenti tepat di depan Wanda. Laki-laki itu menoleh. Menatap Wanda dengan tatapan dingin. "Lalu kalau Mama tanya, aku harus jawab apa? Jujur, soal alasanku membawamu pergi itu untuk memberimu pengertian agar kamu tidak lagi cinta sama aku?" Tapi kalau Davin menjawab begitu, bukannya Wanda sendiri yang akan rugi? Secara tidak langsung, mereka sama saja akan memberi tahu Mia kalau Wanda memiliki perasaan terlarang pada Davin, kan? Wanda menggeleng. Wajahnya sudah sangat pasrah. Ia menyerah. Masalah ini memang terlalu rumit untuk ia hadapi. Pada akhirnya, ia hanya menurut saat Davin kembali menarik tangannya. * Kali ini, Wanda sudah berada di dalam mobil Davin. Ia memegangi sabuk pengaman yang melingkari tubuhnya, sembari menatap lurus ke depan. 'Ting' Entah sudah berapa kali ponselnya berdenting, menandakan jika ada banyak pesan masuk. Tapi ia seolah tak menghiraukannya. "Buka ponsel kamu! Aku mengirim sebuah file yang harus kamu baca sekarang," ujar Davin. Wanda mulai bergerak mengambil ponselnya. Membuka kunci layarnya, kemudian menuju ruang obrolan dirinya dengan Davin. "Apa ini?" tanya Wanda kebingungan saat melihat isi file yang Davin kirim. File itu berisi biodata-biodata beberapa orang. Mulai dari nama, alamat, usia, hingga pekerjaan. Apakah Davin salah mengirimkan file pada Wanda? "Sepertinya kamu salah kirim file. Nanti saja nggak apa-apa. Bahaya kalau lagi nyetir kamu-" "Nggak salah. Memang itu yang mau aku tunjukkan ke kamu," ujar Davin. "Ya?" kaget Wanda. Memangnya apa hubungannya Wanda dengan biodata orang-orang ini? Davin melirik ke arah Wanda untuk memastikan ekspresi gadis itu. Benar-benar gadis yang polos. "Itu biodata beberapa temanku, juga orang-orang di kantor yang masih single. Kamu pilih saja beberapa yang cocok, nanti aku bantu buat pendekatan sama mereka," ujar Davin. Kerutan di kening Wanda semakin bertambah. Bukannya menjadi jelas, semuanya malah tampak semakin membingungkan untuk Wanda. "Nggak paham juga?" Wanda menggeleng. "Beberapa dari mereka bisa membantumu move on. Tenang saja, aku nggak asal masukin list, kok. Semua yang ada di situ bisa dipastikan single, mapan dan secara penampilan juga di atas rata-rata. Pokoknya-" "Tunggu tunggu! Di depan mini market itu berhenti sebentar, ya!" potong Wanda dengan nada santai. Davin menoleh ke arah Wanda. Berusaha membaca gerak-gerik gadis itu. Tapi, gadis itu tampak terlalu santai untuk ia curigai. Akhirnya, Davin pun melakukan apa yang diminta Wanda. Seperti yang Davin duga, Wanda keluar dari mobil. Awalnya, Davin kira Wanda akan masuk ke mini market untuk membeli sesuatu. Tapi ternyata ia salah. Wanda berjalan lurus dengan begitu santai seolah tak melakukan kesalahan apa-apa. Davin menyeritkan alisnya. "Dia marah?" gumamnya. Davin kembali menjalankan mobilnya. Ia mengejar Wanda. Setelah berhasil menyamai langkah Wanda, ia membuka jendela kaca samping. "Kamu marah?" tanya Davin. Namun, Wanda tampak tak berniat menanggapinya. Gadis itu malah sibuk memainkan ponselnya. Hal itu membuat Davin kesal bukan main. Ia pun segera turun dari mobilnya. Mengejar Wanda, dan menghalangi langkah gadis itu. Mau tak mau Wanda pun harus mengangkat kepalanya hingga keduanya menjadi saling berhadapan. "Bisa minggir nggak, sih?" usir Wanda. "Enggak. Masuk mobil sekarang!" suruh Davin. Wanda tersenyum miring, lalu melewati pria itu. Tak mau kalah, Davin menahan lengan Wanda dengan satu tangannya. "Naik lagi ke mobil, Wan!" "Aku bilang enggak ya enggak! Udah sana kamu duluan aja!" "Kamu kenapa, sih?" Wanda terhenyak. Setelah apa yang ia lakukan, Davin malah bertanya seperti itu pada Wanda? Seolah-olah tak ada yang salah dengannya, dan melimpahkan semua kesalahannya pada Wanda? Wanda menghela napas panjang sebelum mulai bersuara. "Jangan ikut campur lagi soal perasaanku!" "Tapi karena itu melibatkan aku di dalamnya, tentu saja aku harus ikut campur," balas Davin. "Kamu cuma harus pura-pura nggak tahu. Aku nggak akan membebani kamu dengan apapun, kok. Aku-" "Dan membiarkan kamu terluka sendirian? Kamu sepupuku, Wan. Aku nggak akan membiarkan kamu terluka, apalagi itu karena aku. Aku sayang banget sama kamu, Wanda." DEGGGG Kenapa dunia menjadi selucu ini? Kini, Wanda tahu jika pria yang ia cintai ternyata menyayanginya. Tapi ia jelas tahu jika rasa 'sayang' itu berbeda dengan yang ia harapkan. Kenapa dunia seolah sedang mengolok-olok perasaannya? Kenapa semua menjadi sejahat ini pada Wanda? Wanda menggigit bibir bawahnya. Dan Davin menyadari itu. "Berhenti nyakitin diri kamu sendiri, Wan! Jangan siksa aku dengan rasa bersalah ini!" ujar Davin lirih sembari menyentuh bibir Wanda. Rasanya, jantung Wanda seperti akan meledak. Ia tak pernah berniat menjadi beban untuk siapapun. Apalagi membebankan perasaannya pada pria yang ia cintai. Ia tahu perasaannya ini salah. Dan sejak awal, ia memang berniat untuk memendamnya sendiri. Tapi siapa sangka jika semuanya akan menjadi serumit ini? *** Bersambung ... Nah... bab ini lumayan panjang, nih. Lebih dari 1800 kata. Kira-kira, Wanda akan berubah pikiran dan mau kenalan sama teman-teman Davin, nggak? Pusing juga ya, jadi Wanda? Jadi serba salah. Terus nantikan kelanjutannya, ya! Jangan lupa masukkan ke pustaka agar kalian tidak ketinggalan update-nya. Terima kasih sudah mampir. Semoga terhibur dengan ceritanya. See you next chapter :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN