Mistake - 09

1517 Kata
"Dan membiarkan kamu terluka sendirian? Kamu sepupuku, Wan. Aku nggak akan membiarkan kamu terluka, apalagi itu karena aku. Aku sayang banget sama kamu, Wanda." DEGGGG Wanda menggigit bibir bawahnya. Dan Davin menyadari itu. "Berhenti nyakitin diri kamu sendiri, Wan! Jangan siksa aku dengan rasa bersalah ini!" ujar Davin lirih sembari menyentuh bibir Wanda. Wanda menurunkan tangan Davin dari bibirnya. "Aku butuh waktu buat sendiri," ucap Wanda. "Aku nggak bisa biarin kamu berkeliaran sendirian di jalan begini. Bahaya, Wan," balas Davin. Wanda menghela napas jengah. "Sudah dua tahun aku di Jakarta tanpa kamu. Dan aku biasa aja kok. Aku nggak pernah kenapa-kenapa tanpa penjagaan dari kamu. So? Apa yang berbeda sekarang?" Davin mengacak-acak rambutnya frustrasi. Dulu, ia dan Wanda sangat dekat. Saking dekatnya, mereka bahkan sering meributkan hal-hal kecil. Tapi, setelah dewasa, ternyata berdebat dan mempermasalahkan hal kecil seperti ini sudah tidak seasyik dulu. "Wan, aku cuma mau jagain kamu," ucap Davin frustrasi. "Justru sikap kamu yang begini yang bikin aku merasa nggak baik-baik aja, Dav. Kamu tahu nggak sih? Kamu seakan mengajakku terbang, namun detik berikutnya kamu menghempaskan aku dengan sangat keras saat kamu menyadarkan hubungan di antara kita," jelas Wanda. Ia tak bisa menutupinya lagi. Ia rasa, Davin tidak akan mengerti jika ia tidak mengatakannya secara gamblang. "Jadi bisa nggak kamu biarin aku sendiri? Bisa nggak kamu bantu aku buat jaga jarak dari kamu? Itu yang bisa bantu aku buat melupakan perasaan ini, Dav," pinta Wanda dengan nada melemah. "Tapi aku mau jagain kamu. Aku mau selalu ada di sisi kamu, begitupun sebaliknya," ujar Davin. "Dan membiarkanku semakin terluka?" tantang Wanda. Davin terdiam. Wanda menggunakan kesempatan itu untuk pergi. Meninggalkan Davin yang kini tengah mengepalkan tangannya erat dalam diam. Wanda berjalan sangat cepat. Ia hanya ingin menghindar dari Davin sejauh yang ia bisa. Ia menahan tangisnya, agar tidak jatuh sebelum ia memastikan jika dirinya sudah berada jauh dari Davin. "Wan!! Hey, itu kamu, kan!" Wanda menghentikan langkahnya secara mendadak, nyaris membuatnya terjatuh. Ia menoleh ke samping, dan mendapati Gery yang merupakan teman SMA nya di atas motor. "Kamu ada kelas pagi? Kok jalan?" tanya Gery. "Ah... eng- enggak. Aku masuk jam sembilan. Ak- aku cuma-" "Kamu kenapa, sih? Gugup gitu ketemu aku?" canda Gery. Wanda menghela napas jengah. Gery adalah teman sekelasnya waktu SMA. Sama seperti Wanda, ia merantau ke Jakarta karena berhasil diterima di kampus impiannya. Lebih tepatnya, kampus Wanda juga. Hanya saja sekarang keduanya berbeda jurusan, meski masih berada di fakultas yang sama. "Bareng aku aja, yuk! Masa cantik-cantik ngampusnya jalan. Jauh, Wan, nanti keburu keringetan kamu," tawar Gery. Bisa dikatakan, Gery ini anaknya cukup urakan. Bahkan saat SMA ia juga playboy dan mata keranjang. Tapi, sejauh yang Wanda kenal, Gery masih tergolong sopan dan tidak pernah macam-macam padanya. "Beneran boleh, nih?" tanya Wanda untuk memastikan. "Boleh dong... ini helmnya!" Wanda menerima helm yang disodorkan Gery sembari menyerit. 'Ternyata dia masih belum berubah. Dasar penebar jala,' batin Wanda sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelah memakai helm, Wanda segera naik ke jok belakang motor Gery. "Nggak mau pegangan apa?" tanya Gery dengan nada menggoda. "Udah gini aja! Enak di kamu kalau aku pegangan nanti," balas Wanda. Gery tertawa mendengarnya. Setelah itu, Gery kembali menyalakan mesin motornya dan membawa Wanda pergi menuju kampus. Di sepanjang perjalanan, Wanda lebih banyak terdiam. Sesekali bicara pun dengan nada yang tak bersemangat, sangat berbeda dengan sosok Wanda yang Gery kenal saat SMA. "Kenapa, sih? Lagi sakit gigi, ya? Malas banget ngomong doang," tanya Gery. "Enggak. Lagi badmood aja nih," balas Wanda. "Oh, butuh moodboster dong?" Wanda menjauhkan kepalanya dari Gery. Ia mulai merasa tidak enak. Pasti Gery punya rencana macam-macam. "Jangan macam-macam ya, Ger! Ingat, kita teman seperjuangan dari SMA," ujar Wanda. "Dih... ke mana sih mikirnya? Orang aku cuma mau beliin kamu es krim. Gimana? Mau nggak?" tawar Gery. Wanda menyerit. "Bukannya kamu ada kelas pagi?" "Ada." "Ya terus ngapain malah nawarin aku es krim segala? Buang-buang waktu, nanti kamu telat," ujar Wanda. "Lah iya juga ya? Aku belum datang bulan juga nih. Jangan-jangan memang udah telat," ucap Gery ngaco. "Serius, Geryyyy... maksudnya telat masuk kelas. Kamu nggak takut telat apa?" "Ya takutlah. Dosennya killer," jawab Gery sambil cekikikan. "Ya udah, makanya-" "Makanya bolos aja. Udah paling bener emang kalau bolos tuh. Udah ah ayok aku tahu mini market yang esnya lengkap!" seru Gery sembari mempercepat laju motornya. Sementara Wanda di belakang masih menatap helm di depannya dengan horor. Otak Gery konslet apa gimana? Semangat banget mau bolos. Tak berselang lama, Gery memarkirkan motornya di depan sebuah mini market dekat kampus. "Ger, serius mau bolos? Udah deket kampus juga ini," tanya Wanda saat Gery membantunya melepas helm. "Serius lah. Enakan makan es daripada ngadepin dosen killer," jawab Gery santai. "Ya kalau bahas enak mah iya. Cuma kan-" "Ssstt... udah kamu tenang aja! Bolosnya cuma di jam pertama aja kok. Nanti jam kedua kita balik ke kampus. Oke?" "Lah emang habis beli es kita mau ke mana? Nggak langsung ke kampus?" "Aku ajak kamu ke tempat yang bisa buat healing!" seru Gery dengan nada penuh semangat. Setelah membeli beberapa buah es krim dan kripik kentang, Gery mengajak Wanda memasuki sebuah gedung pencakar langit di pinggir Kota Jakarta. "Nggak apa-apa emang kita asal masuk gini?" tanya Wanda. "Nggak apa-apa. Percaya deh!" Wanda hanya menurut. Yang jelas, saat ini ia dan Gery berada di sebuah apartemen di Jakarta Utara. Tapi Wanda tidak tahu, mau ke mana tepatnya Gery membawanya. 'Ting' Wanda menatap angka yang terpampang di lift. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mau ngapain di lantai paling atas?" tanya Wanda. "Ikut aja udah!" ajak Gery. "Serius kamu nggak akan macam-macam kan, Ger?" tanya Wanda sekali lagi untuk memastikan. "Mana sanggup aku nyewa kamar di sini, Wan? Kalau mau macam-macam, nggak akan di sini juga kali," ujar Gery yang berhasil membuat Wanda tertawa. Setelah itu, tanpa keraguan, Wanda kembali mengikuti Gery yang menggiringnya menuju sebuah tangga. "Kita mau naik lagi?" "Akhirnya, udah balik jadi Wanda yang dulu kan kamu," ucap Gery membuat Wanda menyerit bingung. "Hahaha... Wanda yang bawel dan banyak tanya maksudnya. Habis dari tadi kamu diem mulu," lanjut Gery. Wanda mendengus kesal. Tapi ia masih harus menurut pada Gery, kalau tidak, ia harus merogoh kocek dalam untuk kembali ke kampus nanti. Gery membuka pintu rooftop bangunan itu. Dan entah dorongan dari mana, Wanda menerobos punggung Gery begitu saja. Ia keluar lebih dulu, dan berjalan menuju salah satu tepian rooftop. "Wah... kamu tahu tempat ini dari mana?" tanya Wanda. Gery tak langsung menjawab. Ia memberi kode pada Wanda untuk duduk di sampingnya. "Setahun lalu orang tuaku datang, dan mereka nginap di sini. Aku ikut, ya udah sekalian aja jalan-jalan," jawab Gery seadanya. "Tapi kok gampang banget kita ke sini? Nggak ada penjaga yang-" "Kebetulan yang punya tempat ini tuh temen Bapak, dan aku juga udah terang-terangan minta izin kalau aku bakalan sering main ke sini," potong Gery. Wanda mengangguk mengerti. Ia tidak menyangka jika Gery mengetahui tempat seindah ini. Rooftop bangunan itu menghadap langsung ke laut. Letaknya yang cukup tinggi juga membuat Wanda bisa melihat dengan jarak yang lebih jauh. Semilir angin yang cukup kencang membuat Wanda harus menyipitkan matanya. Untung saja, matahari belum bersinar terik sehingga tidak menambah deritanya. "Suka nggak? Cocok kan, buat healing?" tanya Gery. Wanda mengangguk. Tempat ini sangat menenangkan untuknya. Sejenak, ia bisa sedikit melupakan masalahnya dengan Davin. "Kamu masih simpan nomorku, kan? Kalau kamu lagi pengin ke sini, telepon aja! Nanti aku temenin kamu ke sini," ujar Gery. Wanda menoleh ke arah Gery. Sebelumnya, ia tidak merasa sedekat ini dengan Gery. Tapi, kenapa tiba-tiba Gery tampak sangat peduli pada Wanda? "Ger, kenapa tiba-tiba kamu peduli?" tanya Wanda to the point. "Aneh aja aku melihat kamu kayak nggak ada semangat hidup, Wan. Risih tahu nggak? Makanya pengin coba buat balikin tawa kamu lagi," balas Gery sembari cengengesan. Bolehkah Wanda terharu mendengarnya? Ia pikir tidak akan ada orang yang memperhatikannya hingga seperti ini. Terlebih itu Gery si penebar jala. Benar-benar tak terduga. "Es krim kita!" seru Gery sambil mengangkat kantong plastik di tangannya. Dan benar saja, ternyata es krim mereka sudah mulai mencair. Meskipun begitu, keduanya tak tampak kecewa. Justru mereka malah mentertawakannya dan meminumnya dengan sesegera mungkin sebelum suhu dinginnya benar-benar hilang. Soal Davin, apakah ia sekarang sudah berada di kantornya? Sayang sekali jawabannya adalah tidak. Ia tadi mengikuti Wanda. Bahkan hingga ke apartemen ini. Ia kelabakan saat melihat Wanda masuk ke apartemen bersama pria asing. Ia hendak menyusul, namun dilarang oleh para penjaga. Di saat bersamaan, ponselnya berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari kantor yang memintanya untuk segera datang. Dan kini, laki-laki itu masih berada dalam perjalanan menuju kantor sambil uring-uringan sendiri. *** Bersambung ... Tim Gery atau Davin? Kira-kira apa yang akan terjadi setelah ini? Apakah Davin akan mengamuk dan kembali berulah? Lalu langkah seperti apa yang akan Wanda lakukan untuk menghindar dari amukan Davin? Penasaran? Jangan lupa masukkan ke pustaka biar tidak ketinggalan setiap update-an nya. Oh iya, Bridesmaid sudah dilanjut juga. Jadi silakan dibaca sampai ke pengumumannya di bawah. Terima kasih sudah mampir. Semoga terhibur dengan ceritanya. Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN