Mistake - 13

1792 Kata
Wanda bangun dengan wajah lebih ceria setelah hampir semalaman menumpahkan tangisnya. Alasannya tak lain adalah, karena ayahnya mengizinkannya ngekos. Sayangnya, hari ini Wanda ada jam kuliah pagi. Jadi ia belum bisa packing pagi ini. Mungkin ia akan cari kos-kosan dulu sepulang kuliah nanti. Soal Davin dan Mia, lebih baik Wanda bicara pada mereka nanti siang saja agar keduanya tidak punya waktu untuk menggagalkan rencana Wanda. "Selamat pagi, Tante, Davin," sapa Wanda dengan senyum cerah di bibirnya. Mia dan Davin saling menoleh satu sama lain. Keduanya ingat jelas jika semalam Wanda tampak tak bersemangat. Dan kini, tiba-tiba ia muncul dengan senyum cerah di bibirnya. Apakah suasana hati perempuan bisa berubah pesat secepat itu? "Pagi, sayang. Gimana tugasnya? Udah selesai? Terus kok matanya sembab? Kenapa?" tanya Mia, yang duduk tepat di hadapan Wanda. Hal itu membuat Davin yang ada di antara mereka pun sontak menoleh ke arah Wanda, menatap mata gadis itu lamat-lamat. "Kamu habis nangis semalam?" tanya Davin cepat. Wanda mengejapkan matanya beberapa kali. "Ada apa, Wanda? Sembabnya parah gitu loh," imbuh Mia. "Ah i- ini, tadi malam kesusahan bikin tugas sampai frustrasi. Tapi sekarang tugasnya udah selesai kok. Hehe," bohong Wanda. Setelah itu, Mia mengajak anak dan ponakannya untuk sarapan. Sesekali Davin masih melirik ke arah Wanda, berusaha membaca situasi tentang apa yang terjadi pada gadis itu semalam. 'Apa mungkin dia cemburu karena ada Isabell semalam?' batin Davin. Selesai sarapan, Wanda membantu Mia di dapur. Sementara Davin mengambil peralatan kantornya di kamar. Setelah membantu Mia, Wanda naik ke lantai dua untuk mengambil tasnya. Saat di tangga, ia berpapasan dengan Davin. "Udah mau berangkat, ya?" tanya Wanda. Davin menyerit. Ia masih merasa aneh dengan gadis yang semalam sempat ribut dengannya itu. "Aku tunggu kamu di bawah," ujar Davin. Karena biasanya Wanda akan menolak, makanya Davin tidak mau berbasa-basi menawarkan tumpangan atau semacamnya. Langsung saja ia akan menunggu Wanda seperti biasa. "Oke! Aku nggak akan lama!" seru Wanda cukup keras, karena Davin yang sudah lebih dulu berjalan melewatinya. Davin sempat menghentikan langkahnya saking terkejutnya mendengar jawaban Wanda. Ia menoleh, menatap gadis yang tampak bersemangat menaiki tangga itu. Perasaan curiga semakin menderanya. Ia yakin, telah terjadi sesuatu yang tidak ia sukai semalam. Dan Wanda berusaha menyembunyikan hal itu darinya dan Mia. "Apa yang sebenarnya sedang berusaha ia sembunyikan dariku?" gumam Davin. Saat di mobil, Wanda menyalakan musik dengan volume sedang. Sesekali ia menggoyangkan kepalanya mengikuti iringan lagu. Ia berpura-pura tidak menyadari jika sedari tadi Davin sering memperhatikannya. Mereka sampai di sebuah lampu merah. Wanda masih asyik menikmati alunan musik yang ia hidupkan. Sementara itu, Davin merasa kian tersiksa dengan rasa penasarannya. "Wan," panggil Davin. "Eh udah hijau, Dav!" seru Wanda sambil menunjuk lampu lalu lintas yang sudah kembali berwarna hijau. Davin menghela napas panjang. Ia pun terpaksa harus menunda pertanyaannya. Menyadari itu, Wanda tersenyum miring. Memang lebih baik jika ia tidak meladeni pertanyaan-pertanyaan Davin untuk terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. 'Sebentar lagi, Dav. Aku yakin aku akan segera bisa move on darimu. Kamu cukup duduk diam dan jangan merusak rencanaku!' batin Wanda sembari menatap lurus pada jalanan di depannya. Selang beberapa menit, mereka sampai di depan gerbang kampus Wanda. Wanda pun bersiap untuk segera turun, namun Davin menahan lengannya. Wanda menoleh secara refleks. "Ada apa?" "Apa yang sedang kamu sembunyikan?" tanya Davin to the point. "Hah?" Wanda berpura-pura bodoh, seakan dia tak mengerti apa yang sebenarnya sedang Davin tanyakan. "Kamu nyembunyiin sesuatu kan, dari aku sama Mama?" selidik Davin. Wanda tersenyum tipis. "Setelah nuduh aku yang enggak-enggak kayak kemarin, sekarang sudah mau mulai lagi?" tanya Wanda. Davin terdiam. Perlahan, pegangan tangannya pada Wanda mulai melemah. "Salah ya, aku maafin kamu secepat ini?" tanya Wanda lagi. Ia sengaja membuat Davin merasa semakin terpojok dan tidak berani macam-macam lagi. Dan rencana itu berhasil. Gadis yang cerdas! Wanda melebarkan senyumnya saat merasakan pegangan tangan Davin di lengannya sudah benar-benar terlepas. Dan pria itu tampaknya sudah tidak mendesak Wanda lagi untuk menjawab pertanyaannya. "Aku duluan ya, Dav! Kamu semangat kerjanya," pamit Wanda. Setelah itu, ia benar-benar keluar dari mobil Davin. Wanda berjalan dengan langkah lebarnya memasuki area kampus. Namun, ia tidak langsung ke kelas begitu saja. Ia pergi ke toilet terlebih dahulu untuk menghapus segala keraguan di hatinya saat ini. Wanda menatap pantulan dirinya di depan cermin. Dengan wajah dan penampilan seperti itu, tampaknya tidak mungkin jika tak ada seorangpun di dunia ini yang mencintainya. Bisa dibilang, penampilan Wanda masih di atas rata-rata. Nilai kuliahnya juga tidak ketinggalan dari teman-temannya. Secara latar belakang keluarga, layak untuk bersaing dengan teman-temannya. Wanda tidak seburuk itu untuk ditakdirkan sendiri. Tapi kenapa di antara miliyaran laki-laki di muka bumi ini, Wanda hanya bisa terpikat dengan satu orang saja? Bahkan satu orang itu adalah orang yang harusnya tidak ia cintai. Wanda menyeka air matanya yang baru saja menetes. "Nggak. Kamu nggak boleh lemah seperti ini, Wanda! Kamu harus yakin kalau kamu bisa bangkit!" ujar Wanda menyemangati dirinta sendiri. Setelah merasa suasana hatinya sudah cukup stabil, Wanda pun keluar dari toilet. Namun, baru dua langkah ia berjalan keluar, ia bertabrakan dengan seorang gadis hingga gadis itu terjatuh. "Eh, Kak, maaf," ungkap Wanda yang ternyata baru saja menabrak seorang kakak tingkat yang dulu pernah menjadi panitia ospeknya. "Ish resek banget sih pagi-pagi!" kesalnya. "Amara, lo nggak apa-apa?" tanya teman gadis itu, yang segera membantu kembali berdiri. "Maaf aku nggak sengaja," ulang Wanda lagi. "Mata tuh dipakai! Jangan cuma jadi pajangan aja, sial!" omel Amara. Tidak mau membuat suasana hatinya kembali buruk, Wanda memilih pergi. Toh ia sudah meminta maaf, kan? 'Braakkk' Kini, giliran Wanda yang meringis saat merasakan lututnya bergesekan dengan lantai. Ia menoleh ke arah Amara dan temannya yang tampak tersenyum puas. "Kenapa lihat-lihat?" sentak Amara. "Azab datangnya cepet banget ya sekarang, Ra?" sambung teman Amara. Wanda dapat merasakannya. Ia tadi dijegal sehingga bisa jatuh seperti ini. Dan bukannya menolong, mahasiswa lain yang berlalu lalang memilih untuk pura-pura tidak melihat. Wanda pun bangkit dengan sendirinya. "Padahal aku udah minta maaf karena bener-bener nggak sengaja. Eh ini malah masih aja nggak terima. Bukan aku yang kena azab. Azab datangnya nggak dari manusia. Kalian tuh yang siap-siap aja kena azabnya!" semprot Wanda. "Wah, mau sok berani sama kating?" tantang teman Amara. "Lah kenapa mesti takut? Memang kalian kanibal?" balas Wanda yang masih tak gentar. Wanda menatap malas dua kakak tingkatnya yang tampak emosi itu. Padahal mereka duluan yang mulai. Eh akhirnya mereka sendiri juga yang merasa terdzolimi. Wanda memilih abai. Ia berjalan meninggalkan Amara dan temannya yang masih tampak murka itu. Sampainya di kelas, Wanda membersihkan roknya yang sedikit kotor akibat terjatuh tadi. "Wih... keren, sohib gue udah datang pagi-pagi gini," seru Melisa yang baru saja datang. Wanda menoleh, menatap geli ke arah sahabatnya itu. "Apaan sih aneh-aneh aja omongannya," ejek Wanda. "Wah kenapa tuh rok kamu pagi-pagi udah kotor gitu?" tanya Melisa. "Jatuh tadi dijegal orang gabut," jawab Wanda seadanya. Melisa terkekeh mendengar penuturan Wanda. Namun, belum sempat ia menimpali, dosen mereka pun masuk. Kegiatan belajar mengajar pun dimulai dengan khidmad seperti biasanya. Saat jam istirahat, Melisa buru-buru mengajak Wanda ke kantin, karena pagi tadi ia belum sarapan. Melisa sedang memesan makanan untuk keduanya. Sementara Wanda menunggu di meja agar tidak ditempati mahasiswa lain, mengingat kantin sering kali penuh saat jam istirahat. "Hay, adek tingkat. Boleh gabung, nggak?" Wanda mendongak, menatap seorang gadis yang baru saja mengajaknya bicara. Amara dan temannya. Wanda tampak malas menanggapi. Ia yakin, dua gadis itu masih ingin membuat masalah dengannya. "Ya udah sih ya, duduk aja. Lagian bukan kampus dia juga ngapain pakai izin?" Amara menyahuti ucapan sahabatnya. "Lah bener juga, ya?" Keduanya pun duduk di hadapan Wanda. Keduanya segera makan dengan santai, karena memang tadi sudah memesan makanan terlebih dahulu. Tak lama berselang, Melisa kembali membawa sebuah nampan berisi dua mangkuk bakso dan dua gelas lemon tea. "Ini, Wan!" Melisa menyodorkan seporsi bakso ke hadapan Wanda. "Wah enak tuh!" seru teman Amara. "Mana enak bakso kalau tidak pedas?" sahut Amara. "Benar juga, Ra. Oh iya, sebagai balas budi karena sudah diizinkan gabung, nih, Dek gue bantu," ujar teman Amara sambil menuangkan sewadah sambal begitu saja ke mangkuk Wanda. Melisa mendelik kaget dengan apa yang baru saja ia lihat. "Wan, kamu-" "Wah makasih ya, Kak atas bantuannya! Tahu aja aku suka pedas," sambar Wanda dengan ekspresi bahagia yang sengaja ia buat-buat. Wanda tahu keduanya berniat mengerjainya. Untuk itu, Wanda tidak mau mereka merasa berhasil karena melihat ekspresi kekesalannya. Wanda mulai mengaduk-aduk mangkuk baksonya lalu menyantap makanan itu tanpa banyak bicara. Amara dan temannya saling melirik satu sama lain. Sementara Melisa menatap sahabatnya dengan ngeri. "Wan, apa nggakpapa makan pakai sambel sebanyak itu?" tanya Melisa. "Lah, dari dulu-dulu juga aku penginnya gini. Cuma nggak enak aja sama ibu kantin karena cabai kan mahal," jawab Wanda seenaknya. Amara dan temannya menelan salivanya kasar. "Nggak usah bohong, wajah lo merah gitu!" ujar Amara. Wanda berhenti untuk menyeruput lemon tea-nya sejenak. Ia juga mulai menyeka keringat di keningnya. "Mana ada orang makan kepedesan tapi wajahnya nggak merah? Tapi nggakpapa. Enak kok," sahut Wanda santai. Ia pun segera melahap makanannya kembali. Amara dan temannya kembali saling melirik satu sama lain. Mereka mulai ngeri melihat sosok Wanda yang aneh. Teman Amara menyenggol lengan Amara. Memberinya kode untuk mengajaknya pergi dari sini. "Thanks ya udah dibolehin gabung. Karena kita udah kenyang, kita duluan," pamit Amara. Wanda mengangguk. Namun enggan bersuara. Ia ingin menunjukkan pada Amara dan sahabatnya kalau rencana mereka membuat Wanda kesal gagal total. Setelah kedua iblis itu pergi, Melisa merebut garpu dan sendok milik Wanda dan menatap sahabatnya itu tajam. "Wan-" "Gila, Mel!!! Minuman kamu buat aku, ya?" pinta Wanda. "Wan, kamu nggakpapa?" tanya Melisa khawatir. Ia tahu sahabatnya itu paling tidak tahan dengan pedas. "Tolong pesenin taksi online! Aku harus pulang sekarang!" ujar Wanda. Melisa bergerak cepat memesankan taksi untuk Wanda. Setelah itu, ia membantu Wanda berjalan ke depan hingga bertemu dengan taksi yang sudah ia pesankan. Di sepanjang perjalanan, Wanda meremat perutnya yang perlahan mulai terasa sakit. Rasa sakit itu semakin menjadi. Ingat, kan? Wanda memiliki riwayat penyakit lambung sehingga ia sangat sensitif terhadap rasa pedas. Dan dengan bodohnya ia barusan melakukan hal yang sama saja membunuh dirinya sendiri. *** Bersambung ... Bukan tokoh ceritaku kalo nggak barbar :') Gimana nih kalau Wanda jadi sakit, pindahannya apa kabar? Bisa-bisa ditunda kepindahannya nanti :') Ada yang kayak Wanda? Kalo tahu ada yang ngerjain dikerjain balik dengan cara ekstrim gitu? Jangan deh! Bahaya! :) Bagaimana? Ada yang ingin disampaikan untuk Wanda atau tokoh lainnya? Silakan tulis di komentar! Terima kasih sudah mampir. Semoga terhibur dengan ceritanya. See you next chapter :) Ohiya, jangan lupa follow ig riskandria06 untuk tahu update info seputar cerita-ceritaku. Feel free buat yang mau bertegur sapa lewat dm. Aku akan balas saat aku free :D
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN