Mistake - 04

1798 Kata
Setelah pulang kuliah, Wanda tidak langsung kembali ke rumah. Ia pergi ke cafe bersama Melisa untuk mengerjakan tugas kelompok. Wanda bertugas mencari bahan, sementara Melisa bagian perekapan. Namun keduanya membahas secara bersama. Setelah hampir dua jam mengerjakan, akhirnya tugas mereka selesai juga. Wanda menyeruput gelas milkshake keduanya. Di luar masih hujan. Ia malas untuk pulang sekarang. "Biasanya kamu semangat banget kalau udah mau pulang. Bisa rebahan, nonton film, nikmatin wifi Tante Mia. Tapi kok sekarang loyo gini? Tumben," ucap Melisa sembari mematikan laptopnya. "Aku belum bilang, ya?" tanya Wanda tiba-tiba. Membuat Melisa menyerit. Ah... sepertinya Wanda memang belum cerita pada Melisa. "Di rumah ada alien," ujar Wanda. "Hah? Bercanda? Memangnya alien benar-benar ada? Lagian ngapain alien main ke rumah Tante Mia? Memang di rumah Tante Mia ada apanya?" berondong Melisa. Wanda memutar bola matanya malas. Lagian bisa-bisanya Melisa percaya begitu saja? "Bukan alien yang kayak gitu, Mel. Tapi-" Ucapan Wanda terhenti saat merasakan ponselnya bergetar. Ada nomor tak dikenal menelponnya. Ia meletakkan ponsel itu di atas meja. Meliriknya sesekali tanpa berniat untuk mengangkatnya. "Kok nggak diangkat, Wan? Siapa tahu aja penting, kan?" Melisa. "Nomor asing. Takut kena gendam nanti tiba-tiba transfer duit kan bahaya," jawab Wanda seadanya. "Lah emang di ATM kamu ada duitnya banyak, sampai takut ketipu?" "Seratus enam puluh ribu. Kan lumayan yang seratus ribu masih bisa ditarik," balas Wanda. Melisa menatap malas ke arah sahabatnya. Barusan, getar ponsel Wanda sudah berhenti. Dan kini, ponsel itu kembali bergetar. Layarnya masih menunjukkan tampilan yang sama dengan sebelumnya. "Angkat aja sih, Wan! Siapa tahu penting. Risikonya juga cuma kehilangan duit seratus kan, kalau benar itu tukang gendam? Toh kamu masih sama aku. Nggak akan lah aku biarin kamu transfer-transfer sembarangan," usul Melisa. Wanda menyimak ucapan sahabatnya itu. Benar juga. Toh ada Melisa yang bisa melarangnya untuk transfer atau berbuat sesuatu yang aneh kalau benar ia kena gendam nanti. Wanda pun mengangkat telepon itu. "Halo, maaf saya cuma manusia biasa yang tabungannya nggak banyak. Tinggal seratus ribu dan nggak bisa transfer-transfer. Jadi kalau mau nipu mending mundur daripada-" 'Halo, Wan ini aku.' Wanda membulatkan matanya. Melisa yang melihatnya pun mulai khawatir. Ia menepuk bahu sahabatnya itu. Berniat menyadarkan Wanda jika memang kini ia sedang dihipnotis. "Wan, sadar, Wan! Hey! Awas jangan mau kalau disuruh transfer!" ucap Melisa. "Aku di Cafe Merindu, habis ngerjain tugas kelompok," ujar Wanda. "Hah? Hey! Jangan bilang lokasi kita. Kalau dia nyamperin gimana? Bahay-" "Ngapain, sih? Nggak usah. Aku-" "..." "Ah iya iya ya udah oke buruan kalau mau datang!" Melisa membulatkan matanya. Ia segera menarik tangan Wanda agar menjauhkan ponsel gadis itu dari telinganya. "Apaan sih, Mel? Kok kamu-" "Wan, gila ya? Ngapain coba ngasih tahu lokasi kita? Kalau dia ke sini gimana? Firasat aku nih, setelah tahu ATM kamu nggak ada duitnya, dia akan ke sini buat ngambil alat elektronik kita dan apapun yang kita-" "Lagi ngomongin siapa, sih? Kok ngelantur gitu ngomongnya?" potong Wanda. Nah kan benar. Keyakinan Melisa semakin besar. Wanda sudah seperti orang linglung. Tidak! Melisa tidak boleh diam saja. Ia harus segera menyelamatkan dirinya sendiri dan Wanda. "Udah balik bareng aku aja yuk!" ajak Melisa sambil bangkit berdiri dan langsung menarik lengan Wanda. Wanda tetap bertahan di tempatnya. Ia menatap aneh ke arah Melisa. "Kamu kenapa, sih? Horor tahu nggak?" "Wan, sadar! Kamu kehipnotis. Please nurut aja ayo!" Melisa lebih keras menarik lengan Wanda. Pokoknya, ia dan Wanda harus segera pergi dari tempat ini. "Mel-" "Ayokkkk!" Melisa menarik Wanda sekuat tenaga. Daripada harus menahan malu karena jadi pusat perhatian, Wanda memutuskan untuk ikut sahabatnya itu. "Gila ya, Mel. Dia mau ke sini. Kalau aku nggak ada nanti dipikir aku bohongin dia lagi. Nanti dia ngomel," ucap Wanda setelah mereka keluar dari cafe. "Blokir aja nomornya! Percaya sama aku? Wan! Kita udah dua tahun sahabatan," balas Melisa. "Hah?" Wanda melongo mendengarnya. "Kita mau ke mana? Ini hujan," tanya Wanda saat Melisa terus menariknya. Keduanya berjalan melewati teras-teras toko. Membuat keduanya terkena cipratan air hujan yang memang cukup deras. "Jangan di sini pokoknya. Cari taksi online di tempat lain. Nanti dia bisa ngenalin kamu kalau-" Ucapan Melisa terhenti saat sebuah mobil berhenti tepat di hadapan mereka saat mereka hendak menyebrang. 'Brak' Sang pengemudi turun sebelum Wanda dan Melisa sadar dari lamunan mereka. "Bukannya aku sudah bilang untuk menunggu di cafe? Kenapa malah kabur?" tanya sopir itu sambil menatap Wanda tajam. Untung saja lelaki itu membawa payung, sehingga bisa membantu Wanda dan Melisa terhindar dari derasnya air hujan. Sementara di satu sisi, Melisa bengong menatap sosok rupawan di hadapannya. "Wah duh, Wan. Kayaknya aku juga ikut terhipnotis," ucap Melisa, membuat Wanda dan pria itu kompak menatap Melisa. "Dia memang kayak gitu," ceplos Wanda, membuat pria itu- Davin, kembali fokus padanya. "Cepat masuk! Pakai payungnya!" Davin memberikan payungnya pada Wanda. Dan Wanda pun menerimanya. Saat Wanda mulai melangkah, ia menyadari ada sesuatu yang aneh. Seseorang menahan lengannya. "Apa lagi sih, Mel? Buruan, nanti dia ngomel!" "Gila? Kamu mau menyerahkan diri ke tukang gendam?" tanya Melisa. Wanda melongo. Membuat Melisa semakin kelabakan. "Wan, please pulang aja, yuk!" "Coba kamu bilang dia tukang dendam di depan dia kalau berani!" tantang Wanda. Melisa menggeleng. Ia menatap Wanda sembari memasang wajah memelas. "Buruan! Jangan cari penyakit, Wanda!" teriak Davin dari dalam mobil. "Ck. Ayo ah! Dia bukan tukang gendam," ajak Wanda sambil menarik paksa lengan Melisa. Akhirnya, Melisa hanya menurut. Namun ia bingung saat Wanda menutup pintu bangku belakang setelah mengantarnya masuk. Setelah itu Wanda tampak berjalan memutar. Melisa takut ditinggal. Ia berniat membuka pintu. Namun, terdengar sebuah suara yang mengintrupsinya. "Mau apa?" Melisa tergagap. Ia mengurungkan niatnya dan segera menatap lurus ke depan dengan begitu kaku. Namun, ia bernapas lega saat melihat Wanda masuk ke kursi depan. Tunggu! Tapi kok- "Alamat rumah teman kamu di mana?" tanya Davin sambil menyalakan mesin mobilnya. "Tanya sendiri, gih! Dia duduk tepat di belakang kamu. Pasti bisa dengar kok kalau kamu ngomong," usul Wanda dengan nada malas. Davin menghela napas panjang. Sementara itu, gadis di bangku belakang tiba-tiba menggeser duduknya menjadi tepat di belakang Wanda. "Rumah kamu di mana?" tanta Davin sambil melirik Melisa dari spion. Melalui spion, tatapan keduanya bertemu. Melisa sempat terpana dengan pahatan nyaris sempurna yang ada di wajah pria itu. Namun ia segera menggeleng dan memasang ekspresi horor. "Ke- kenapa harus tanya alamat rumah?" tanya Melisa dengan polosnya. Wanda dan Davin saling melirik satu sama lain. Mengerti arti tatapan Davin, Wanda menghela napas panjang kemudian menutar tubuhnya menghadap ke arah Melisa. "Melisa sayang, kan sudah aku bilang dia bukan tukang gendam. Dia sepupu aku, namanya Davin," terang Wanda. "Hah?" Melisa melongo. Seperti kesulitan mencerna ucapan Wanda. Ia masih tampak ketakutan dan khawatir. "Dia sepupuku. Anak Tante Mia. Jadi kamu nggak perlu takut," ulang Wanda. "Dia mikir aku tukang gendam?" selidik Davin yang mendengar obrolan Wanda dan Melisa. "Kurang lebih seperti itu," jawab Wanda seadanya. Davin terkekeh. Ia mengerti. Pasti awal mula permasalahannya karena Wanda. Karena ia ingat betul apa yang Wanda ucapkan saat bicara lewat telepon tadi. "Besok aku antar kamu tes IQ," ucap Davin sambil melirik ke arah Wanda. "Lah kok aku?" protes Wanda. "Karena kamu yang pengaruhin dia. Dengan kata lain, kamu yang awalnya berpikiran kalau aku tukang gendam," jawab Davin santai. "Lah tapi kan-" "Tadi Mas nanya alamat aku kan? Itu, Jalan Cendrawasih nomor 27. Nggak jauh kok dari sini," potong Melisa. "Oh. Oke," jawab Davin kemudian mulai menginjak pedal gasnya. Davin mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. "Jadi kalian tadi pergi karena mikir kalau aku tukang gendam?" tanya Davin mengisi kekosongan. "Bukan aku, tapi dia," jawab Wanda sambil menunjuk Melisa. "Kan awalnya kamu yang parno duluan, Wan. Kok aku?" protes Melisa. Davin menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan Wanda dan Melisa. Tak berselang lama, mereka sampai di depan rumah Melisa. "Mau mampir nggak, Mas?" tawar Melisa. Wanda melirik sinis ke arah sahabatnya yang kini sudah berada tepat di samping mobil Davin. Menengok ke jendela Davin. "Davin doang ditawarin? Aku enggak?" protes Wanda. Davin melirik ke arah Wanda. Sementara Wanda masih tak gentar menatap sahabatnya yang ada di luar mobil. "Ya kan tanpa aku tawarin, kalau mau pun kamu pasti langsung ikut. Kalau Mas Davin kan-" "Davin aja panggilnya!" potong Davin. "Eh? Emang nggak apa-apa?" tanya Melisa. "Justru aneh kedengarannya kalau kamu manggil dia 'Mas', sementara dia habis balik dari London. Lidah sama gayanya udah kebule-bulean sekarang," sambung Wanda. "Kita nggak mampir. Sudah malam. Kalau begitu kami pamit, ya," pamit Davin. "Iya. Makasih sudah diantar," ujar Melisa. Davin mengangguk, kemudian menutup kembali kaca mobilnya sebelum kembali menjalankan kendaraan roda empat itu. Di sepanjang perjalanan, Davin tak bersuara. Membuat Wanda mulai dilanda bosan. 'Krrruuukkk' Wanda memegangi perutnya yang baru saja berbunyi. Bodoh. Tadi saat di cafe, kenapa ia tidak beli camilan sekalian? Wanda melirik ke arah Davin yang masih memasang ekspresi datarnya. Memangnya dia tidak mendengar suara rintihan perut Wanda barusan? "Dav, jajan yuk!" ajak Wanda. "Nggak," tolak Davin. Wanda berdecak kesal. Semudah itu Davin menolak ajakannya makan di luar? "Tapi aku lapar. Nanti asam lambungku naik lagi, gimana?" ucap Wanda dengan nada memelas. Ia tidak bohong. Ia memang lapar sekarang. Ia juga ingin beli sesuatu di luar. Seafood kayaknya enak juga dimakan malam-malam pas hujan begini. Plakkk Wanda terkejut saat Davin melempar kantung plastik berwarna putih, bergambar logo salah satu mini market terkenal ke arahnya. "Ada roti di dalamnya. Makan itu dulu aja!" suruh Davin. "Tapi aku mau jajan. Seafood enak deh, Dav," rengek Wanda. "Pakaian kamu basah. Mana bisa kita mampir-mampir?" "Dikit doang. Orang-orang juga nggak akan merhatiin. Lagian aku juga nggak malu begini doang," sahut Wanda. "Kalau sakit gimana, Wanda? Kamu tuh kena hujan. Kalau nggak buru-buru mandi air hangat dan berganti pakaian nanti sakit," ujar Davin. Wanda melipat tangannya di depan d**a. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil menggerutu. Davin melirik ke arah sepupunya. Ada rasa khawatir yang muncul melihat Wanda yang kondisinya seperti itu. Toh, kalau Wanda sampai sakit akhirnya pasti ia juga yang kerepotan. "Di belakang ada jaket aku. Pakai gih! Rotinya dimakan!" suruh Davin. "Nggak mau," jawab Wanda. Davin mengecilkan AC mobilnya. Ia tidak bisa mematikannya karena khawatir kacanya akan mengembun. "Nurut aja sih, Wan! Nanti sakit!" desak Davin. Tapi Wanda tetap pada pendiriannya. Ia tidak mau menuruti ucapan Davin, membuat laki-laki itu frustrasi. "Mama masak cumi saus tiram di rumah. Dan Mama nyuruh aku jemput kamu tuh karena khawatir kamu kehujanan. Makanya-" "Serius kamu?" "Ya iyalah, Mama khawatir kamu kehuj-" "Bukan bukan. Maksud aku, serius Tante masak seafood?" ulang Wanda. Davin menghela napas kemudian mengangguk. Lagian kenapa sih Wanda tiba-tiba ngidam seafood sampai segininya? *** Bersambung ... Masih pengenalan karakter, jadi belum ada konflik. Ada yang bisa nebak konfliknya nanti seperti apa? Kalau di tempat kalian, hubungan antar sepupu tuh gimana? Dianggap tabu atau tidak? Sharing skuy! :) Terima kasih sudah mampir. Semoga terhibur dengan ceritanya. Jangan lupa ramaikan kolom komentar biar aku semangat ngetiknya :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN