Bab 6. Pewaris Sebenarnya 6

1189 Kata
# Rinaldi Prasetya menarik napas panjang sebelum dirinya melanjutkan apa yang sudah diamanatkan oleh almarhum Sudjarko Narendra kepadanya. Dia bisa melihat dengan jelas kalau hal yang terakhir ini adalah yang paling ditunggu-tunggu oleh semua orang. “Untuk rumah yang sekarang menjadi rumah utama keluarga Narendra dan yang bernilai total 210 milliar, kepemilikannya akan dibagi kepada istri dan semua anak-anak sama rata,” ucap Rinaldi Prasetya. Nyonya Gea dan Ayunda tampak menarik napas lega, Galand tidak menunjukkan reaksi apa-apa sementara Gina kembali menunduk, tidak berani menatap ibu dan semua kakaknya. Maira tersenyum tipis. “Benar-benar tipikal Papa sekali. Rumah yang dibangun untuk Mamaku diberikan pada orang asing?” Kali ini Maira melayangkan pandangannya langsung ke arah ayah dari kekasihnya itu tanpa merasa segan sedikit pun. Dia tahu kalau kalau Tuan Rinaldi Prasetya hanya bertugas membacakan wasiat dari almarhun ayahnya tapi dia tetap tidak bisa tidak protes dengan hal itu. “Om tahu kan alasan aku ada di tempat ini? Aku ingin mengubah rumah itu menjadi kuburan untuk Mama,” lanjut Maira kemudian. Kedua tangannya terkepal. Terlihat jelas kalau dia memang ingin mendapatkan rumah yang menjadi obsesi almarhum ibunya itu. Rumah yang membuat ibunya begitu tersiksa karena tidak terima harus menyingkir dari apa yang seharusnya adalah hadiah dari suaminya itu. “Nona, saya tahu apa yang Anda rasakan tapi Anda tetap harus mendengarkan isi wasiat Tuan sampai selesai sebelum Anda memutuskan semuanya,” usul Rinaldi Prasetya. Maira menatap penuh dendam ke arah Nyonya Gea. Dia tidak menyembunyikan kebenciannya pada wanita paruh baya itu. Di sisi lain, Galand tidak terima ibunya diperlakukan seperti seorang wanita yang sudah merebut suami orang lain padahal dia jelas tahu kalau ibunya dan Sudjarko Narendra menikah setelah pria itu bercerai dari Amberly Hana, ibu kandung Maira. “Kuburan seharga 210 milliar, benar-benar kesombongan seorang Narendra sepertimu memang tidak memiliki batasan,” sergah Galand tajam. Nada suaranya memang rendah tapi efek dari kalimatnya jelas membuat Maira mengalihkan pandangan ke arahnya. Mereka saling menatap dengan sorot merendahkan satu sama lain. “Ehem.” Rinaldi Prasetya kembali berdehem memecah ketegangan. Dia harus melakukan itu atau pembacaan surat wasiat ini tidak akan pernah selesai sampai kapan pun. “Saya akan melanjutkan. Ini adalah wasiat penting dari almarhum dan juga penentu segalanya,” ucapnya. Suasana kembali hening. “Pemilik rumah adalah Nyonya Gea, Nona Maira, Nona Gina, Tuan Galand, Nona Ayunda, semua mendapat bagian sama rata dan juga hak yang sama untuk tinggal di rumah itu selama dua tahun. Dalam artian, semua yang ingin mendapatkan hak atas rumah itu harus tinggal bersama di rumah tersebut. Rumah tidak boleh dijual hingga masa dua tahun habis dan siapa pun yang pertama kali meninggalkan rumah apa pun alasannya akan kehilangan semua haknya, baik hak kepemilikan rumah itu, maupun saham dan aset yang sudah dibagi sebelumnya. Ini adalah wasiat terakhir dari Tuan Sudjarko Narendra.” Rinaldi Prasetya menarik napas lega begitu dirinya akhirnya selesai menyampaikan isi dari wasiat itu. Dia berpura-pura tidak peduli pada berbagai reaksi yang sekarang ditunjukkan oleh semua orang yang hadir di ruangan tersebut kecuali Gina yang tampaknya sama-sama merasa lega begitu surat wasiat itu selesai dibacakan. Gina satu-satunya yang tidak merasa keberatan dengan seluruh isi surat wasiat sang ayah, sementara Maira yang menampilkan senyuman tipis jelas memiliki rencana di otaknya untuk membuat semua orang meninggalkan rumah itu. Bahkan Rinaldi Prasetya sendiri pun tidak bisa membayangkan bagaimana jika rumah termahal di Indonesia itu benar-benar berhasil diubah oleh Maira menjadi kuburan ibunya. Hanya saja dilain pihak, Rinaldi Prasetya juga tahu kalau Maira benar-benar akan melakukannya jika semua orang pada akhirnya menyerah pada kekacauan yang akan diciptakan oleh Maira. Lebih tepatnya, Rinaldi Prasetya tahu kalau kedua kubu akan mencoba mengacaukan satu sama lain di rumah itu hingga salah satunya menyerah dan angkat kaki. “Tante Gea, sudah menerima barang-barangku bukan? Aku yakin Tante akan meletakkannya di gudang,” sindir Maira. Nyonya Gea menarik napas panjang. Dia tahu kalau mulai sekarang dirinya harus belajar bersabar pada anak tirinya ini jika dia tidak mau dirinya dan anak-anaknya terusir keluar dari rumah itu. “Aku tidak sejahat yang kau pikirkan Maira. Rumah itu adalah rumahmu juga dan kau bisa menempati kamar tamu,” ucap Nyonya Gea. Dia menatap Maira dengan tatapan lurus seakan lelah karena terus menerus berdebat dengan Maira dan menerima kalimat tajam Maira sejak tadi. Maira tersenyum. “Pemilik rumah yang ditempatkan di kamar tamu? Benar-benar pemikiran yang menakjubkan,” sindirnya lagi. “Cukup semuanya. Kita memiliki hak yang sama atas rumah itu. Kalau kau tidak suka kamar tamu, kau bisa memilih kamarmu sendiri. Ada begitu banyak kamar di rumah yang bahkan akan tetap cukup sekalipun kau membawa satu tim sepak bola menginap.” Kali ini Galand yang menengahi. Dia heran dengan Maira yang seakan tidak pernah lelah untuk menyindir semua orang. “Aku bukan tipe orang seperti Tante Gea yang membawa serta anak-anak dari orang lain ke dalam rumah keluarga Narendra dan menempatinya,” ejek Maira terang-terangan. Dia jelas-jelas tengah memancing Galand. Rahang Galand mengeras menatap Maira, tapi gadis itu malah tersenyum mengejek. “Kau boleh menghina aku dan adik-adikku, tapi berhentilah menghina Mamaku,” geramnya. Maira membuat stok kesabarannya benar-benar berada di ambang batas. “Kalau aku tidak mau?” tantang Maira. Galand mengepalkan tangannya. Dia baru akan membalas Maira tapi Rinaldi Prasetya sekali lagi memotong di antara keduanya. “Saya merasa harus mengingatkan kalau ini saatnya kotak dibuka dan ditanda-tangani. Selain itu, ada hal yang sangat pribadi untuk kalian masing-masing di dalam lapisan kedua kotak itu jadi saya sangat menyarankan kalau bagian itu dibuka di rumah,” cetusnya tiba-tiba. Suasana hening untuk sesaat namun mereka tahu kalau mereka hanya memiliki waktu yang tidak banyak sesuai dengan peringatan Rinaldi Prasetya di awal. Semua orang kini membuka lapisan pertama kotak itu dan semuanya tampak tercengang saat mereka membuka kotaknya masing-masing. Sudjarko Narendra menyelipkan sebuah foto dirinya dalam kotak milik semua orang di dalam ruangan itu yang dibingkai berukuran kartu pos, cukup untuk menjadi pajangan meja atau rak. Itu adalah sebuah foto keluarga, menandakan betapa dia sangat menghargai keluarganya. Di sisi lain, Maira mendapati foto kedua orang tuanya dengan dirinya yang masih kecil. Dia sama sekali tidak menyangka kalau ayahnya masih menyimpan foto keluarga itu. Dia bahkan sudah tidak memilikinya sama sekali ketika almarhum ibunya membakar semua yang berhubungan dengan ayahnya tersebut. Untuk sesaat Maira merasakan matanya memanas namun dia menekan kuat-kuat air matanya meski matanya memerah “Cantik sekali. Itu Mamanya Kak Maira dan Kakak ya?” Pertanyaan Gina yang mengintip dari sampingnya membuat Maira sontak membalik foto itu dengan suara keras, membuat semua orang kini menengok ke arahnya. “Ini foto yang sudah lama hilang, tidak aku sangka Papa masih menyimpannya. Hanya foto usang tidak berguna padahal kukira Papa akan memberiku kejutan yang lebih menyenangkan. Sayang sekali, harapanku pada kejutan yang almarhum Papa persiapkan terlalu tinggi.” Sinisnya. Maira kemudian menggeser foto itu sebelum akhirnya memutuskan untuk menandatangani semua dokumen yang dibutuhkan. Galand mengamati dalam diam bagaimana sikap dan reaksi Maira saat itu. Di matanya, Maira benar-benar wanita dingin yang tidak memiliki perasaan. Dia tidak habis pikir, bagaimana bisa ayah tirinya memiliki anak perempuan seperti Maira yang sama sekali tidak bisa menghargai kenangan yang dia tinggalkan khusus untuk Maira yang merupakan anak perempuannya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN