Bab 12. Dia Bukan Saudaraku 1

1263 Kata
# Maira terdiam selama beberapa saat ketika dia memasuki gedung kantor Narendra grup. Dia kemudian mengalihkan tatapannya ke sekeliling dan mendesah pelan. Seumur hidupnya, Maira sama sekali tidak menyangka kalau suatu hari dirinya akan berdiri di sini, di gedung kantor pusat Narendra grup sebagai anak kandung dari Sudjarko Narendra. Sejak dirinya dan ibunya meninggalkan rumah keluarga Narendra, Maira tidak pernah berpikir untuk kembali menyandang nama belakang Narendra meski kenyataannya seluruh berkas yang berkaitan dengan kelahirannya jelas-jelas menyebut dirinya dengan nama belakang ayah kandungnya, Sudjarko Narendra. Ponsel di tangan Maira berbunyi, pertanda ada sebuah pesan yang baru saja masuk. Diraihnya ponsel miliknya itu dan selama beberapa saat Maira tampak menatap nama dan nomor ponsel yang tertera di pesan masuk ponselnya sebelum akhirnya dia memutuskan untuk membuka pesan yang diterimanya tersebut. “Kudengar Sudjarko belum memberikan semua yang seharusnya menjadi hakmu meski dia sudah mengakui dirimu sebagai putri kandungnya. Ingat penderitaan Mamamu Maira. Ingat bagaimana kau menjalani hidup tanpa pengakuan dan dikucilkan bahkan oleh keluarga ibumu sendiri. Jangan beri mereka kesempatan untuk merampasnya lagi. Aku akan datang ke Jakarta ketika urusan di Eropa sudah selesai. Aku selalu mendukungmu. Manfaatkan keluarga Prasetya sebisa mungkin tapi jangan terikat pada mereka. Kau hanya perlu terikat pada tujuanmu. Ingat itu baik-baik Maira.” Maira membaca pesan pada ponselnya itu dengan alis mengerut selama beberapa saat sebelum akhirnya raut wajahnya kembali normal seperti semula. Dia mengetikkan balasan pada pada ponselnya. “Aku mengerti Paman.” Lalu mengirimkannya. Dimasukkannya lagi ponsel itu ke dalam tasnya tepat di saat seorang pria dan wanita muda tampak menghampirinya dengan terburu-buru. “Ibu Almaira Narendra?” tanya salah seorang dari keduanya. Maira mengangguk pelan. Dia sudah tahu kalau dua orang ini pasti adalah orang yang diatur oleh Jeremy atau Tuan Prasetya untuk menjadi asisten dan sekretarisnya. “Salam kenal Bu, saya Rina yang akan menjadi asisten pribadi Ibu dan ini adalah Kenny yang akan menjadi sekretaris Bu Maira. Kami akan mengurus semua hal berkaitan dengan pekerjaan, khusus untuk saya, Ibu bisa mempercayakan saya untuk urusan lain juga,” ucap Rina memperkenalkan dirinya sekaligus rekannya. “Salam kenal Bu Maira.” Kenny mengangguk pelan sambil menyapa Maira dengan sopan. Maira hanya menatap keduanya dingin. Bagaimanapun pengalaman membuatnya selalu mewaspadai tujuan orang lain. Bahkan sekalipun kedua orang di depannya ini diatur oleh tunangannya dan Tuan Prasetya yang sudah sangat dia kenal, tetap saja untuk benar-benar memercayai keduanya bukan sesuatu yang bisa dilakukan Maira dengan mudah. “Tunjukkan padaku di mana ruanganku berada,” perintah Maira. Dia memutuskan untuk bertindak mengikuti alur yang sudah ada. Ini hari pertama perangnya dengan Galand untuk memperebutkan posisi CEO dimulai. Maira tidak akan pernah menerima posisi hanya sebagai wakil CEO yang sebelumnya sudah ditempati Galand ketika ayahnya masih hidup. Rina dan Kenny membimbing Maira untuk menggunakan lift khusus namun saat mereka berada di depan lift, seorang pria paruh baya menyerobot masuk dengan arogan dan membuat Maira tergeser ke samping. “Bu Maira!” ucap Kenny sambil buru-buru menahan sisi tubuh Maira yang nyaris limbung. Meski begitu, Kenny tidak sampai menyentuh sisi lengan Maira karena Maira sendiri bisa mempertahankan keseimbangannya. Maira melirik Kenny sebentar sambil mengangguk, tanda kalau dia tidak apa-apa. Baru setelah itulah Kenny kembali ke posisinya semula. Berdiri diam di samping Maira. “Oh, kau Maira? Benar-benar kejutan kau berani muncul di kantor ini setelah membuat keributan di pemakaman ayahmu sendiri,” sindir pria itu. Karena dia menggunakan lift untuk para petinggi perusahaan, baik Rina maupun Kenny sudah jelas tidak berani menegurnya. Pria paruh baya bertubuh tambun itu sudah jelas merupakan salah satu orang atas, sementara mereka berdua hanyalah asisten dan sekretaris dari anak pemilik perusahaan yang bahkan belum benar-benar memiliki jabatan pasti di perusahaan itu. Namun Maira dengan tenang memasuki lift setelah pria itu masuk. Maira sebenarnya tidak ingat melihat pria itu saat pemakaman ayahnya tetapi saat mendengar kata-kata sindiran pria itu, dia menduga kalau pria itu mungkin adalah salah satu kenalan dekat yang hadir saat ayahnya dimakamkan. Selain itu, dia tahu siapa pria itu. “Om Randy Lomban, apa kabar? Tidak kusangka bisa bertemu Om di hari pertama aku masuk kerja. Lama tidak bertemu Om,” sapa Maira ramah seakan dia tidak peduli dengan apa yang sudah terjadi beberapa saat lalu. Randy Lomban melirik Maira yang berdiri di sebelahnya dengan tatapan tajam. “Tidak searogan saat kau berada di makam Papamu. Apa kau sedang berusaha mencuri simpatiku Maira? Kalau aku harus jujur, satu-satunya kelebihanmu saat ini adalah kau datang lebih dulu dari saudaramu,” ucapnya. Maira tersenyum tipis. “Kami tidak bersaudara. Sekadar mengingatkan kalau Om Randy lupa. Aku anak Papaku dan dia anak istri Papa. Dengan kata lain, Galand Aditya Richard sama sekali tidak ada hubungannya denganku,” sanggah Maira. Tuan Randy Lomban tertawa. “Nah sikap arogan itu memang mirip dengan Papamu. Tapi Maira, arogan saja tidak berguna kalau kau tidak memiliki kemampuan. Sebagai pemegang saham, aku melihat orang yang memiliki potensi paling besar bagi perusahaan. Kalau kau tidak mampu, jauh lebih baik kalau dirimu mundur dan menjadi pemegang saham pasif sambil menikmati keuntungan perusahaan dengan tenang seperti kami,” balas Tuan Lomban. Maira masih tetap menampilkan senyuman di wajahnya. “Aku akan mengingat nasihat Om Randy dengan baik. Dan aku juga melakukan ini murni karena aku memiliki ingatan masa kecil yang baik dan menyenangkan tentang Om Randy, bukan untuk mencuri simpati. Aku akan merasa terhormat kalau Om memberi suara Om kepadaku setelah menilaiku dengan baik terlebih dahulu. Aku tidak datang ke sini hari ini untuk dipermalukan di rapat darurat pemegang saham,” ucap Maira. Dia kembali menatap Tuan Randy Lomban kali ini dengan senyuman yang tulus. Maira sadar betul kalau tindakannya saat pemakaman ayahnya sudah pasti akan memberinya citra buruk, tidak terkecuali di hadapan semua pemegang saham. Sesuatu yang bisa saja merugikannya. Namun Maira adalah seorang yang percaya diri dengan kemampuannya dan kali ini senyuman yang dia berikan pada Tuan Lomban adalah senyuman tulus untuk seseorang yang memiliki kesan baik pada masa kecilnya. Tuan Randy Lomban menarik napas panjang. Dia sebenarnya kecewa saat melihat bocah kecil menggemaskan yang dia kenal baik hati dan polos saat kecil dahulu bisa tumbuh menjadi wanita yang bersikap lancang saat pemakaman dari orang yang bagaimanapun adalah sahabat lamanya itu. Meski dia tahu alasan Maira melakukan itu dan tidak mengerti apa yang mungkin sudah membuat Maira tumbuh menjadi seperti itu, tetapi dia sebenarnya merasa sedih karena anak sahabatnya tumbuh menjadi wanita yang tidak memiliki empati dan terlampau kasar sampai melupakan adab kesopanan seperti yang terjadi saat pemakaman. “Aku tidak ingin memihak siapa-siapa saat ini Maira. Apa kau kecewa karena aku menganggap rendah posisimu barusan?” tanyanya. “Tidak. Om punya alasan melakukan itu dan aku memakluminya,” balas Maira. Pintu lift terbuka dan Randy Lomban menepuk bahu Maira. “Selamat berjuang Maira. Biar Papamu bisa melihat dari atas sana kalau kau memang putrinya. Aku tidak bisa menjanjikan dukungan untukmu tetapi aku jelas ingin melihat seperti apa dirimu sebenarnya nanti. Aku menantikan kejutan yang bisa kau tunjukkan, kalau memang ada,” ucap Tuan Lomban. Nada suaranya tidak lagi terkesan kasar meski kalimatnya masih terdengar sinis. Maira mengangguk pelan. “Aku akan berusaha untuk tidak mengecewakan di rapat nanti,” ucap Maira saat Tuan Lomban sudah berada di luar lift. Pintu lift menutup dan Tuan Lomban melihat sosok Maira yang masih tersenyum ke arahnya hingga akhirnya menghilang saat pintu lift sudah benar-benar tertutup. Tuan Lomban hanya menarik napas panjang saat seorang wanita yang bertugas menyambut para pemegang saham menghampirinya untuk mengantarnya ke tempat para pemegang saham berkumpul. Dia tersenyum miring saat menyadari kalau lagi-lagi dirinya adalah orang pertama yang datang. Tuan Randy Lomban selalu menjadi orang yang datang paling pertama di setiap pertemuan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN