Bab 10. Si Cantik Yang Jahat 3

1409 Kata
# Maira kecil menatap ibunya yang terlihat tengah melamun menatap siaran TV. Saat Maira mendekat, barulah dia sadar kalau siaran TV itu sedang memberitakan skandal ayahnya bersama wanita lain. Maira bergegas mengganti saluran TV. Dia tidak mengerti kenapa ibunya terus menerus menonton berita tentang ayahnya yang tidak peduli lagi pada mereka. “Mama, aku ingin menonton siaran kartun,” ucap Maira dengan gugup. Dia takut dimarahi karena sudah lancang mengganti siaran TV dengan tiba-tiba. Maira kemudian berbalik dan menatap ibunya yang sekarang menunduk dengan tangan menutupi wajah. Kini terdengar isak tangis ibunya dan Maira hanya bisa berdiri diam tanpa tahu harus berbuat apa. “Maira, Mama harus bagaimana? Apa yang harus Mama lakukan agar Papamu kembali? Mama mau mati rasanya.” Maira kecil hanya bisa berdiri dalam diam mendengarkan setiap keluhan dan tangisan ibunya sampai dirinya sendiri pada akhirnya juga mulai merasakan kesakitan yang sama dengan yang ibunya rasakan karena tidak berdaya. Dia tidak tahu bagaimana caranya membantu sang Ibu. Sejujurnya, Maira juga merindukan sang Ayah tapi dia sadar kalu sepertinya sang Ayah tidak merindukan dirinya dan ibunya sama sekali. Perlahan Amberly Hana menarik anaknya mendekat dan menatapnya lekat-lekat. “Kenapa kau harus mirip denganku, Maira? Kalau kau mirip dengan Papamu ... Tidak! Kau masih memiliki mata yang sama dengannya. Kenapa dia tidak percaya? Andai saja dirimu sepenuhnya mirip dengannya maka dia tidak akan pernah meragukanmu! Maira kenapa kau tidak mirip dengan Papamu? Kenapa kau tidak lebih mirip dengan Papamu?!” Kali ini Amberly mengguncang-guncangkan tubuh mungil Maira. Tangannya memegang bahu ringkih Maira dengan semakin erat hingga Maira meringis kesakitan. “Sa─sakit Mama,” rintih Maira. Dia mulai menangis. Bukan hanya karena rasa sakit di bahunya yang saat ini dicengkeram sang Ibu tapi karena ketakutan dengan ekspresi ibunya yang menggelap. Ibunya seakan kehilangan dirinya sendiri saat itu dan Maira semakin takut kalau Ibunya akan benar-benar menghilang karena apa yang mereka alami saat ini. * Tersentak bangun dari tidurnya dengan tiba-tiba. Peluh membasahi wajah Maira dan napasnya terengah-engah. Dia hanya diam termenung untuk beberapa waktu sebelum akhirnya menyadari kalau dirinya tertidur begitu saja masih dengan pakaian yang sama dengan yang dia kenakan sebelumnya. Maira melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul enam pagi. “Kenapa aku harus kembali memimpikan masa lalu seperti itu? Membuat suasana hatiku jadi buruk saja,” keluhnya pada diri sendiri. Dengan perlahan Maira bergerak turun dari tempat tidur dan bersiap untuk membersihkan tubuhnya. Dia sudah melewatkan makan malam karena tertidur dan tentu saja dirinya tidak akan melewatkan sarapan yang sudah pasti akan menjadi sedikit panas untuk penghuni rumah ini dengan kehadirannya. Membayangkan hal itu membuat sebuah senyuman jahat tersungging di sudut bibir Maira. Dia merasa sangat tidak sabar untuk memberikan rasa tidak nyaman kepada seluruh penghuni rumah tersebut di sarapan pagi kali ini. Suasana hati Maira yang tadinya sempat memburuk karena mimpi masa kecilnya kini mulai sirna saat menyadari betapa Nyonya Gea dan anak-anaknya pasti sangat tidak mengharapkan kehadiran dirinya di meja makan dan merusak pagi mereka. Maira kemudian melangkah ke kamar mandi, mengabaikan keadaan kamarnya yang masih berantakan karena dia memang belum sempat membereskan barang-barang sejak datang kemarin. Di sisi lain, Galand melewati kamar Maira saat akan menuju ke ruang makan di bawah. Dia berdiri sejenak di depan pintu kamar Maira dan menatap pintu kamar itu tajam. Kamar ini sampai kemarin adalah kamar dari adiknya Ayunda tapi sekarang kamar tersebut ditempati oleh orang lain. Dan orang lain itu adalah saudara tirinya yang juga akan menjadi rivalnya untuk posisi CEO di kantor. Galand terpaku beberapa saat di depan pintu kamar itu, seakan tampak seperti tengah memikirkan sesuatu. Ketika Gina yang kamarnya terletak tidak jauh dari kamar Maira keluar untuk sarapan, dia sedikit kaget melihat Galand berdiri di depan kamar Maira dan akhirnya gadis muda itu memutuskan untuk mendekati kakaknya. “Kakak sedang apa?” tanya Gina. Galand mengalihkan pandangan pada adik bungsunya itu. “Aku hanya penasaran kapan wanita jahat ini akan keluar dari dalam kamar,” ucap Galand. Gina melihat hidung Galand yang diperban dan sedikit bengkak. “Jangan-jangan Kakak ingin balas dendam pada Kak Maira?” tebak Gina. Galand menaikkan sebelah alisnya sambil menatap Gina. “Memangnya kau pikir aku akan mematahkan hidungnya juga?” Galand balik bertanya. Gina mengangguk jujur. “Kakak kan marah sekali pada Kak Maira semalam. Bahkan Kak Galand mengancam akan mematahkan rahang kak Maira,” balas Gina. Galand menarik napas panjang. Dia baru ingat kalau dirinya memang mengatakan hal itu. “Gina, apa kau pernah melihat aku, kakakmu ini menyakiti perempuan?” tanya Galand. Gina tahu, Galand bukan tipe pria yang pernah bersikap kasar pada dirinya, Ibu mereka dan juga Ayunda, tapi ia tidak tahu dengan orang lain. Bagaimanapun Gina banyak mendengar rumor tentang betapa kakak laki-lakinya itu tidak hanya disegani tapi juga ditakuti banyak orang. Melihat adik perempuannya yang hanya terdiam, Galand sedikit merasa bersalah karena semalam telah menunjukkan sisi arogannya di hadapan adik bungsunya itu dan semua ini karena wanita jahat pembuat masalah tersebut. Semua karena kemunculan Maira. “Sudahlah, kau akan terlambat ke sekolah. Ayo turun sarapan. Maira akan turun untuk sarapan kalau memang dia ingin meski kalau boleh jujur, aku berharap dia tetap diam di kamarnya dengan tenang daripada kembali membuat masalah dengan Mama dan Ayunda,” ucap Galand. “Kalau Kakak, Mama dan Kak Ayunda tidak menanggapi Kak Maira, kurasa suatu saat Kak Maira akan menerima kalau kita juga keluarganya,” ucap Gina dengan wajah polos. Galand hanya bisa menarik napas panjang mendengar pemikiran Gina yang terlalu naif. Bagaimanapun semua orang kecuali Gina tahu kalau Maira tidak datang untuk sekedar menjadi sebuah keluarga bersama mereka. Si jahat itu datang untuk membuat kekacauan dan kalau bisa mengusir mereka semua ke jalanan tanpa belas kasihan. “Lebih baik kita turun sekarang untuk sarapan. Mama pasti sudah menunggu,” ujar Galand akhirnya. Galand tahu kalau Gina tidak akan bisa mengerti sekalipun dia menjelaskan tentang niat Maira yang ingin mengacaukan keluarga mereka. Jadi lebih baik kalau dia bisa segera mengajak adik bungsunya itu untuk turun sarapan serta melupakan pembahasan tentang sebuah keluarga bahagia bersama Maira, wanita iblis yang sudah membuat hidungnya cedera semalam. Gina mengangguk patuh pada Galand. Dia mengekor di belakang Galand menuju ke ruang makan. # Maira mematut penampilannya di cermin. Penampilannya memang terlihat anggun tapi di sisi lain dirinya terlihat sangat mengintimidasi dengan sengaja. Dia bahkan memang sengaja mengenakan pemerah bibir dengan warna menyala untuk membuatnya terlihat semakin dominan. Hari ini adalah hari perdana Maira diperkenalkan sebagai salah satu kandidat CEO selain Galand. Posisi yang sampai saat ini masih kosong karena Galand sendiri secara teknis hanya menjadi wakil CEO untuk menggantikan almarhum Sudjarko Narendra. Dengan senyum di wajahnya, Maira melangkah masuk menuju ruang makan dan menyadari kalau semua anggota keluarga sudah berkumpul untuk sarapan. “Kak Maira, selamat pagi,” sapa Gina riang begitu melihat sosok Maira. Maira menatap Gina sejenak sebelum memilih tempat duduk di seberang Gina yang saat itu duduk di samping Ayunda. Dengan kata lain, dia memilih tempat duduk tepat di sebelah Galand. Dia juga mengabaikan Gina. Galand melirik Maira dengan senyuman sinis, diam-diam mengagumi keberanian Maira yang memilih tempat duduk di sampingnya setelah semalam membuatnya cedera. “Apa kau tidak pernah di ajarkan untuk membalas saat orang lain menyapamu?” tanya Galand. Dia sedikit kesal saat melihat bagaimana Maira mengabaikan Gina padahal di rumah ini justru hanya Ginalah yang tetap bersikap baik pada Maira. Selain itu, kenyataannya Gina memiliki hubungan darah dengan Maira. “Adik kecil, apa kau tidak pernah di ajarkan untuk tidak menyapa orang yang jelas-jelas tidak menyukaimu?” tanya Maira pada Gina. Kali ini dia mengabaikan Galand. Gina mengigit bibirnya pelan. Jelas dia paham kalau Maira sedang mengatakan bahwa Maira bahkan tidak menyukai dirinya. “Tidak apa. Aku menyukai Kak Maira, sama seperti aku menyukai Kak Ayunda dan Kak Galand. Kakak tidak harus menyukaiku. Aku menghormati perasaan Kak Maira,” ucap Gina. Maira sedikit tertegun dengan sikap yang ditunjukkan Gina. “Baiklah. Kalau begitu aku juga tidak punya pilihan selain menghormati sikapmu. Tampaknya kau punya kepribadian yang cukup baik. Yang paling penting, kau tidak merengek dan tantrum seperti seseorang. Anak kecil yang tantrum bisa dimengerti, tapi orang dewasa yang tantrum rasanya cukup mengganggu,” balas Maira. Dia melirik Ayunda penuh makna. Ayunda berusaha keras mengabaikan Maira yang jelas-jelas ingin memancingnya juga pagi ini. Galand sudah memberi isyarat kepadanya sejak tadi untuk tidak terpancing dengan apa pun yang akan dilakukan oleh Maira. “Gina, memang terlalu baik. Aku masih tidak percaya kalian sama-sama anak Om Sudjarko karena kau sama sekali tidak terlihat memiliki kepribadian yang baik.” Singgung Galand.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN