Setelah kepergian manusia tak beradab itu, Nagara dan Bintang meluapkan kekesalannya dengan memukul dinding di belakang mereka. Ada saja manusia yang tak merasa bersalah setelah apa yang ia lakukan, benar-benar pantas untuk di hilangkan dari muka bumi.
Tak ingin berlama-lama tenggelam dalam emosi yang mengesalkan, akhirnya Nagara dan bintang pun berusaha keras mengendalikan emosinya dan ikut memasuki kelas mereka. Daripada meladeni titisan dajjal satu itu, lebih baik menyibukkan diri dengan pelajaran saja.
Pelajaran pun kembali di mulai dengan cukup serius hingga berjam-jam akhirnya pelajaran telah usai, membuat murid-murid berlarian meninggalkan kelas tapi tidak dengan Nagara yang masih menatap jendela dengan tatapan kosong.
Bintang yang melihat Nagara sedih pun memilih mengajaknya mengobrol, sementara Nagara yang di ajak ngobrol malah mempertanyakan hal yang tidak Bintang pahami. Setelah melihat perdebatan siang tadi, Bintang mengerti Nagara pasti terbebani dengan apa yang murid konyol itu katakan.
"Kenapa ngelamun Nagara? Lu mau diem di kelas? Atau lu mau kita ke lapangan? Oh iya game kemaren belum kelar Nagara," tanya Bintang lembut.
"Apa salah gue? Sampe semua yang gue lakuin selalu salah di mata orang, kenapa orang lain bisa ngelakuin apapun semaunya? Kenapa apa yang gue lakuin selalu di bilang gue yang salah? Rasanya gak adil kalo gini," lirih Nagara sedih.
Mendengar pertanyaan Nagara membuat Bintang merasa bersalah atas apa yang harus Nagara terima, Bintang berusaha keras membantu Nagara tetapi masalah lain selalu datang menimpanya. Sebenarnya di manakah keadilan itu berada? Tak pantaskah dirinya hingga apayang ia lalui selalu terasa tak adil, Bintang yang tak tau harus berbuat seperti apa lebih memilih mengalihkan obrolan mereka agar Nagara terhibur.
"Eh Nagara. Lu liat film ini gak katanya ada film horror bagus gitu mau nonton? Atau lu mau nonton film lain boleh aja yuk," ujar Bintang lembut.
Nagara yang mendengar ucapan Bintang membuatnya mengalihkan pandangannya dari jendela jadi menatap Bintang, bagaimana bisa di saat seperti ini Bintang malah memikirkan film padahal kepala Nagara rasanya ingin pecah saat ini.
Bintang yang melihat Nagara kesal pun hanya memasang tampang polosnya, karena Bintang tak tau harus seperti apa dia menanggapi Nagara yang sedang sedih. Nagara mengerti Bintang tak akan memahami menjadi dirinya membuatnya mengalah saja, membiarkan Bintang berfikir sesukanya saja karena Nagara lelah.
Tak ingin melihat Nagara yang terus-menerus menghela nafasnya kasar membuat Bintang membahas persiapan ujian akhir Nagara, sementara Nagara yang mendengar mengenai ujian akhir membuatnya larut dalam obrolan.
"Eh Nagara! Gi mana persiapan ujian akhir lu? Gampang?" tanya Bintang lembut.
"Gak bisa di bilang gampang juga sih. Karena ujian ini kan sekali jadi ya harus serius ngerjainnya kalo Bintang gi mana?" tanya Nagara bingung.
"Iya sih bener. Sama aja gue juga serius lagi belajarnya apalagi ini penentuan akhir juga kan jadi sebisa mungkin gak main-main," ujar Bintang lembut.
Nagara pun menganggukkan kepalanya setuju dengan ucapan Bintang, tak terasa waktu berjalan dengan cepat saat keduanya membahas pelajaran yang tak mereka mengerti. Hingga kini sudah waktunya Naraya pulang dan ia mencari keberadaannya, Nagara yang menyadari langit mulai menguning pun langsung mengajak Bintang pulang karena pasti Naraya sudah selesai ekskulnya.
Bintang yang mengerti pun berjalan mengikuti Nagara dan tak lama mereka berdua melihat Naraya sedang sibuk mencari mereka sepertinya, tak lama Nagara pun memanggil Naraya dan membuatnya menghampiri Bintang dan Nagara.
"Naraya!," panggil Nagara lembut.
Sebelum tertinggal bus untuk pulang, Nagara dan Naraya pun pamit agar bergegas pulang. Begitu juga Bintang, selama di perjalanan Nagara masih saja melamun perihal hal yang di dengarnya dari murid tadi. Tapi Nagara tak bisa mengatakan apapun kepada Naraya karena tak ingin membuat Naraya sedih, sesampainya di rumah Nagara dan Naraya langsung memeluk mamahnya erat.
Begitu juga Gioraya yang memeluk putra-putrinya, tak lama Gioraya terdiam hingga membuat Nagara dan Naraya khawatir karena tak biasa mamahnya seperti ini.
"Mamah? Mamah gak apa-apa? Kok wajah mamah pucet?" tanya Naraya khawatir.
"Mamah sakit? Mamah baik-baik saja kan, mah? mamah kalo cape istirahat mah jangan dipaksain terus biar Nagara yang kerjain sisanya," ujar Nagara khawatir.
Mendengar putra putrinya yang khawatir, membuat Gioraya tersenyum lembut. Dirinya memang tidak baik-baik saja tapi Gioraya tidak bisa mengatakan hal yang nantinya membuat Nagara dan Naraya bersedih, dia tidak sanggup melihat putra-putrinya merasakan apa yang ia pendam selama ini.
Akan lebih baik jika dirinya menenangkan Nagara dan Naraya, sementara Gioraya yang tak ingin membuat putra-putrinya semakin khawatir pun mengalihkan pembicaraan dan meminta anak-anaknya istirahat setelah lelah sepulang sekolah pasti mereka lelah.
"Mamah gak apa-apa kok sayang, oh mungkin mamah kecapean aja. Iya lain kali mamah gak akan maksain lagi kalo mamah lagi kecapean eh iya kalian pasti cape ya sekolah tadi istirahat sana mamah siapin makanan kesukaan kalian nih," ujar Gioraya lembut.
Nagara dan Naraya yang mendengar mamahnya yang terlihat tegar membuat si kembar mengangguk patuh, tapi tak lama saat Gioraya sedang menyiapkan makanan Naraya menghampirinya mamahnya kembali.
Melihat putrinya menghampiri dirinya membuat Gioraya tersenyum lembut, Gioraya merasa tak memiliki waktu yang banyak nantinya dan ia perlu mengajari Naraya untuk memasak makanan bila nanti dirinya tak lagi ada dunia ini.
"Eh sayangnya mamah bantuin mamah ya? Naraya mamah ajarin masak mau gak biar nanti jadi wanita hebat yang bantuin Nagara," ujar Gioraya lembut.
"Hehehe ... Iya mah, mau mah Naraya mau belajar masak oh iya mamah bisa bilangin ke ayah gak buat beliin Naraya alat memasak biar kalo Naraya udah jago masak nanti Naraya bisa membantu mamah mencari uang mah. Bolehkan mamah sampein ke ayah?" pinta Naraya.
Gioraya yang mendengar keinginan putrinya pun menganggukkan kepalanya tanda Gioraya menyetujui permintaan putri kesayangannya, sementara Naraya yang melihat mamahnya menganggukkan kepala membuat Naraya tersenyum senang dan Naraya langsung semangat belajar memasak untuk bisa membantu mamahnya.
Setelah acara masak-memasak selesai, mereka bertiga pun menikmati makan malamnya dengan hangatnya canda tawa hingga tak terasa seluruh makanan telah habis di santap dengan lahap. Melihat hal ini membuat Gioraya senang dan ia mengingatkan putra-putrinya untuk belajar terlebih Nagara sekarang di kelas akselerasi, sementara Gioraya bergegas merapihkan alat makan dan akan menghubungi mantan suaminya untuk menyampaikan pesan Naraya padanya.
Tak lama Gioraya menghubungi Tama demi Naraya, meski dirinya tak menginginkan hal ini tapi sebagai seorang ibu dirinya hanya ingin mengabulkan permintaan anak-anaknya. Telfon pun tersambung tapi bukan suara Tama yang Gioraya dengar, tak penting siapa yang menjawab telfonnya setidaknya keinginan Naraya sudah tersampaikan.
"Halo mba Gioraya ada apa ya nelfon suami saya malem-malem gini?" tanya Dayunda sebal.
"Cuma mau nyampein pesan Naraya aja ke Tama ... bisa tolong panggilin dia," ujar Gioraya datar.
"Nyampein apa nanti saya sampein. Mas tamanya lagi di kamar mandi taulah suami-istri itu gi mana mba," ujar Dayunda memanasi.
"Itu Naraya bilang dia minta ayahnya beliin alat masak buat ...," ujar Gioraya terhenti.
"Beli sendiri bisa kan mba. Ngapain minta sama mas Tama! gak usah ngerepotin orang lain bisa kan mba toh berapa sih harga alat masak?! Mba yang beliin dong kan mba ibunya gi mana sih masa gitu aja minta ke mas Tama," sahut Dayunda kesal.
"Denger ya Dayunda! Kalo bukan karena Naraya yang minta saya gak akan mau ngomong sama kamu. Kamu lupa siapa duri dalam kebahagiaan anak-anak saya! Kamu lupa gara-gara siapa Naraya gak bisa beli apapun! Apa yang kamu punya itu milik anak-anak saya. Bukan milik kamu jadi kamu gak usah bilang saya ngerepotin toh Tama ayah kandung Nagara dan Naraya! Kamu siapa ngelarang anak-anak saya minta ke ayahnya. Kamu cuma orang luar jadi gak usah ikut campur atau saya sendiri yang bilang ke Tama," balas Gioraya kesal.
Dayunda mengeraskan rahangnya saat mendengar balasan Gioraya yang memang benar adanya tapi karena Dayunda tak ingin kalah ia pun menutup telfon, sementara Gioraya yang tak terima pun kembali menelfon Tama.
Tak butuh waktu lama Dayunda melihat Tama keluar dari kamar mandi dan ia menghampirinya sambil menangis, dirinya ingin agar Tama terlihat membelanya di depan Gioraya hingga Dayunda membuat cerita lain dan menyalahkan Gioraya yang tak salah apapun di sana.
"Mas tadi mba Gioraya nelfon terus marah-marah ke aku mas. Dia bilang dia stress sama anak-anaknya sampe malah aku yang kena lampiasannya padahal aku gak tau apa-apa kan mas? Udah gitu dia bilang kalo dia iri liat aku sama mas sedangkan dia gak, dia iri hidupnya lebih susah dari apa yang aku punya mas. Salah aku apa sampe di giniin sama dia mas," ujar Dayunda sambil menangis.
Mendengar cerita Dayunda yang menangis sampai sesegukkan, membuat Tama khawatir karena minggu lalu dokter baru saja berpesan padanya agar Dayunda jangan sampai stress selama masa kehamilannya, tak lama suara telfon terdengar membuat Tama mengambil Ponselnya dan saat melihat nama Gioraya disana amarahnya tak bisa lagi ia tahan.
Meskipun Gioraya belum mengatakan apapun dirinya sudah di marahi Tama, hingga membuat Gioraya mengerutkan dahinya bingung kenapa malah dirinya yang di marahi. Padahal ia tak melakukan hal yang salah bukan, merasa tak terima dengan ucapan Tama membuat Gioraya balas memaki Tama dengan kesal.
"Kamu ngapain Dayunda sih Gioraya! Dia sampe nangis sampe segitunya. Dia lagi hamil gak boleh stress! kamu kalo marah sama anak-anak kamu gak usah lampiasin ke Dayunda bisa kan! atau kamu iri sama apa yang dia punya sedangkan kamu gak," maki Tama kesal.
"Kamu ngomong apa Tama! Buat apa aku iri sama pelakor kayak dia. Kamu gila ya?! Aku gak perduli dia hamil atau gak karena itu urusan dia! Aku nelfon kamu karena Naraya minta alat masak sama kamu kenapa aku harus iri setelah di sakitin kalian! Denger ya! anak-anak gak pernah bikin aku marah atau stress! Kamu aja yang lupa tugas kamu sebagai ayah Tama! Mereka juga butuh kamu bukan cuma pelakor gila itu," balas Gioraya semakin kesal.
Tama terdiam mendengar kemarahan Gioraya yang memang benar bahwa dirinya bahkan melupakan Nagara dan Naraya yang membutuhkan dirinya sebagai ayah, belum sempat Tama menjawab perkataan Gioraya. Gioraya sudah lebih dulu mengatakan hal yang membuatnya tertampar dan semakin merasa bersalah atas apa yang ia katakan, karena ternyata apa yang di katakan Dayunda adalah kebohongan.
"Bagus ya! kamu lebih percaya pelakor itu daripada aku yang gak pernah sekalipun bohong ke kamu! Tau gini aku gak akan nelfon kamu! Aku nelfon karena permintaan Naraya tapi aku salah! Aku salah karena nelfon orang yang udah ngebuang keluarganya. Gak masalah Tama! Selama aku hidup aku gak akan nerima bantuan apapun dari kamu bahkan ketika aku harus mati aku akan tetep ngejagain anak-anakku! Anak-anak yang gak pernah sekalipun kamu tanyain. Asal kamu tau aja kamu terbiasa denger kebohongan dia sampe kamu gak tau dia bohong! Buat apa aku ngelampiasin marah aku ke dia kalo kemarahan aku berasal dari diri dia sendiri. Karena dia kamu kehilangan aku, Nagara dan Naraya!" maki Gioraya kesal.
Telfon pun di tutup membuat Tama terpaku dan semakin merasa bersalah, tapi tak lama Tama meninggalkan kamarnya menuju ruang kerjanya. Sementara Gioraya menangis saat teringat makian Tama dan ucapan Dayunda, bukankah selama ini dirinya telah cukup sabar bertahan sendirian bahkan tak pernah sekalipun Gioraya meminta bantuan pada Tama.
Mengapa dirinya di salahkan seperti ini, jika bukan karena permintaan Naraya dirinya tak akan melakukan ini. Tiba-tiba rasa sakit Gioraya kembali terasa hingga membuat Gioraya meringis kesakitan tapi Gioraya berusaha keras untuk menahannya lalu tak lama Nagara menghampiri Gioraya dengan wajah khawatir, melihat putranya khawatir membuat Gioraya menghapus air matanya dan menyapa putranya yang terlihat sedih.
"Mamah kenapa? Kenapa mamah nangis? Ada masalah apa mah?" tanya Nagara khawatir.
"Gak apa-apa sayang. Nagara kenapa sedih? Ada apa nak?" ujar Gioraya lembut.
"Beneran mah? Nagara sedih aja liat mamah nangis gini? Nagara ada salah ya sama mamah? Maafin Nagara yang belum bisa bantuin mamah ataupun Naraya ya mah," ucap Nagara sedih.
"Beneran kok. Kamu jangan sedih ya mamah gak apa-apa, Nagara gak ada salah apapun sama mamah kenapa harus minta maaf? Selama ini Nagara udah banyak bantu mamah mulai dari jadi anak yang baik, anak yang kuat, anak yang sabar sampe jadi kakak yang hebat buat Naraya. Tetep jadi Nagaranya mamah ya sayang karena mamah seneng punya Nagara sama Naraya di samping mamah," ujar Gioraya lembut.
"Iya mah ... tapi Nagara selalu buat mamah banyak pikiran mah, oh iya katanya tadi siang mamah dapat telfon dari sekolah ya mah? Itu gak bener mah Nagara gak ngelakuin hal yang salah mah," ujar Nagara sedih.
"Mamah mikirin Nagara karena Nagara sama Naraya itu segalanya buat mamah, mamah tau kok Nagara gak seperti itu. Mamah percaya Nagara mamah anak baik," ujar Gioraya lembut.
Mendengar ucapan mamahnya membuat Nagara tersenyum lembut, tak lama ia berlutut di hadapan mamahnya lalu menggenggam lembut tangan yang telah merawatnya selama ini. Nagara berjanji akan melakukan apapun agar membuat mamahnya senang, Gioraya pun berpesan untuk kebaikan Nagara kelak.
"Setelah semua hal berat yang udah dilewatin sama-sama, Nagara janji bakal ngelakuin apapun biar mamah seneng," ujar Nagara lembut.
"Mamah cuma pesen sama Nagara buat selalu jagain Naraya apapun yang terjadi. Kedepannya Nagara harus selalu kuat bahkan ketika Nagara gak mau buat jalan terus mamah mohon Nagara jangan berhenti ok," ujar Gioraya lembut.
Nagara yang tak mengerti maksud mamahnya hanya mengangguk saja tanda ia akan menepati janji yang telah ia buat, apapun yang nanti akan terjadi Nagara hanya bisa berharap mamahnya selalu baik-baik saja dan selalu menemani Nagara dan Naraya.
Tapi jauh dari itu semua kita tidak pernah tau apa yang menanti di depan sana, bahkan ketika kita tau akan ada hal yang terjadi tak ada jalan lain selain melewatinya dengan hati yang tangguh. Meskipun tak ingin menjalaninya tapi tak ada pilihan lain untuk kembali selain mencari akhir yang tak pernah kita tau, setidaknya jangan berhenti ketika orang lain ingin menghentikan perjalanan kita.
|Bersambung|